Laporan HAM Amnesty International: 2024 Tahun Menguatnya Praktik Otoriter di Indonesia dan Dunia   

Laporan tahunan Amnesty International berjudul Situasi HAM di Dunia 2024/2025 mencatat menguatnya praktik-praktik otoriter yang diadopsi oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Di seantero dunia, praktik-praktik otoriter kian menyerang jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam hukum nasional maupun hukum internasional. 
 
Fenomena global tersebut terlihat dalam serangan-serangan terhadap supremasi hukum (rule of law), serangan terhadap kebebasan berekspresi dan perbedaan pendapat, penyalahgunaan teknologi yang melanggar hak-hak asasi manusia, diskriminasi terhadap kaum minoritas, hingga ketidakadilan iklim dan ketimpangan sosial ekonomi yang menajam.   

Fenomena ini terlihat di berbagai negara, mulai dari rasisme sistemik di Israel dan Myanmar, kejahatan perang di Etiopia, Sudan, dan Yaman, hingga kejahatan sangat serius (most serious crimes) di Gaza dan Ukraina. Bahkan, setidaknya 21 negara mengajukan undang-undang atau rancangan undang-undang yang bertujuan untuk menekan kebebasan berbicara, berekspresi hingga pelarangan terhadap media. 
 
Fenomena serupa terlihat di tingkat nasional seperti di Indonesia. Amnesty mencatat menguatnya praktik otoriter berupa serangan terhadap aturan hukum, termasuk aturan pemilu, serangan terhadap kebebasan berekspresi, pers, dan pelanggaran HAM yang berlanjut termasuk di Papua, pengawasan di luar hukum termasuk melalui penyalahgunaan teknologi yang melanggar HAM, diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan proyek-proyek pembangunan tanpa partisipasi masyarakat, khususnya masyarakat adat. 

“Jika penggunaan praktik-praktik otoriter tidak segera dihentikan, maka kita bisa menuju pada epidemi pelanggaran HAM, sesuatu yang kita tidak inginkan,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat peluncuran laporan tahunan Amnesty International terkait situasi HAM di tahun 2024 hari ini di Jakarta.

(Laporan Amnesty International berbahasa Indonesia dapat diakses pada tautan ini)

Serangan terhadap aturan hukum, termasuk aturan elektoral  

Jika di tingkat global serangan terhadap aturan hukum tercermin pada kasus Gaza dan Ukraina, maka di tingkat nasional serangan itu tercermin pada kasus Papua.  

“Dari Aceh hingga Papua pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan seakan menjadi norma hukum karena berulangnya kekerasan tersebut selalu diikuti dengan impunitas yang mengakar. Pembunuhan di luar hukum seakan menjadi endemi yang merata di banyak wilayah setiap tahunnya,” kata Nurina Savitri, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia. 
 
“Otoritas negara harus dengan segera menginvestigasi semua pembunuhan di luar hukum baik oleh aparat maupun aktor-aktor non negara dan membawa pelaku ke pengadilan untuk diadili,” kata Nurina. 

Pembunuhan di luar hukum baik oleh aktor negara maupun non-negara sangat masif terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia.   

Dokumentasi Amnesty International menunjukkan bahwa dari Januari hingga Desember 2024 terdapat 39 kasus pembunuhan di luar hukum yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dengan total 39 korban. Pelakunya mayoritas berasal dari Polri maupun TNI. Data tersebut belum mencakup pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua, di mana dari Januari hingga akhir Agustus 2024 Amnesty International mencatat sebanyak 17 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah 19 korban yang pelakunya berasal dari berbagai aktor seperti TNI/Polri (5),Polri (1),TNI (2) OPM (10) dan OTK (1). 

Pembunuhan di luar hukum terus berlanjut di 2025. Amnesty mencatat setidaknya sembilan kasus dari Januari hingga 2 April. Data tersebut belum mencakup kasus-kasus serupa yang terjadi di Papua di tahun 2025. 

Selain serangan terhadap warga yang berulang dan seolah menjadi norma hukum baru, tahun 2024 diawali oleh reaksi berlebihan aparat terhadap berbagai ekspresi kekhawatiran akan netralitas aparat dan lemahnya integritas pemilu Indonesia. Ada berbagai tindakan pengawasan dan pembatasan ekspresi mahasiswa, aktivis, dan akademisi yang terkait netralitas negara dalam menyelenggarakan pemilu. 

Ini tampaknya dipicu oleh perubahan aturan elektoral yang dilakukan Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023, saat-saat di mana tahapan pemilu telah dimulai. Untuk pertama kalinya, integritas dan independensi pemilu Indonesia dipertanyakan. Kritik bukan hanya datang dari akademisi, aktivis, jurnalis, dan mahasiswa di dalam negeri. Tapi juga datang dari berbagai pihak di luar negeri, termasuk Komite HAM PBB, sebagaimana tertuang dalam sesi resmi observasi penutup pada Maret 2024. 

Kritik Komite HAM tertuju pada tindakan Presiden Joko Widodo ketika itu yang dinilai mengubah aturan elektoral melalui Mahkamah Konstitusi untuk mengupayakan agar anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menduduki jabatan publik yang tinggi. Seperti termaktub dalam aturan pemilu, Gibran tidak memenuhi persyaratan formal berupa usia minimum untuk menjadi peserta pemilu.  

“Ekspresi kritik warga terhadap netralitas pemilu adalah ekspresi yang sah. Wajib dijamin. Partisipasi warga dalam pemilu yang berintegritas juga sangatlah penting. Karena itu Pemilu 2024 menjadi momen ujian besar bagi pelaksanaan kewajiban negara atas hak asasi manusia. Sayangnya Indonesia gagal menjamin integritas elektoral tersebut,” kata Usman. 

“Meskipun negara Indonesia mengalami kegagalan memenuhi HAM di 2024, kami akan tetap terus menyuarakan agar pemerintahan baru menjadikan HAM sebagai kunci dari setiap kebijakan yang negara ambil, baik di tingkat domestik maupun internasional,” lanjut Usman.    

Serangan pada kebebasan berekspresi mencapai level mengkhawatirkan 

Praktik negara masih cenderung terus memenjarakan orang-orang kritis dengan tuduhan menghina, mencemarkan nama baik lembaga, individu maupun pejabat negara atau keluarga mereka di media sosial maupun elektronik.  

Dari Januari hingga Desember 2024 Amnesty mencatat 13 pelanggaran kebebasan berekspresi dengan 15 korban yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Walau sudah direvisi dua kali, UU ITE masih sering digunakan untuk merepresi warga yang menggunakan hak mereka untuk berpendapat. 

Hingga memasuki tahun 2025, kriminalisasi terus terjadi walaupun telah ada aturan hukum yang melindungi warga yang ingin berpartisipasi (Anti-SLAPP). 

Pada 10 Maret 2025 polisi menangkap seorang aparatur sipil negara dan seorang mahasiswa di Bangka Belitung. Kepolisian menetapkan mereka sebagai tersangka pencemaran nama baik karena memuat konten negatif atas seorang pejabat rumah sakit umum daerah Pangkalpinang di media sosial.  

Ada pula Septia Dwi Pertiwi, yang didakwa pencemaran nama baik hanya karena mengkritik pimpinan perusahaan tempat dia bekerja. Dalam putusan 22 Januari 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Septia tidak bersalah. Namun, pada 17 Februari 2025, jaksa penuntut umum yang mendakwanya dengan UU ITE mengajukan kasasi atas putusan bebas Septia ke Mahkamah Agung. 

“Jaksa adalah pengacara negara. Negara seakan ingin mengubah ruang ekspresi menjadi ruang jeruji melalui kriminalisasi ekspresi-ekspresi damai di ruang publik maupun digital,” kata Haeril Halim, Manajer Media Amnesty International Indonesia. 

“Pelaporan pidana, apalagi penghukuman pidana, merupakan taktik yang tidak manusiawi untuk membungkam kritik. Kriminalisasi tidak hanya menghukum si korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis keluarga mereka,” tambah Haeril. 

“Mereka dalam beberapa kasus harus terpisah dari keluarga ketika proses hukum berjalan akibat penahanan dan pemenjaraan. Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil,” kata Haeril. 

Pelanggaran HAM yang terus berlanjut  

Kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan di tahun 2024 mencapai level epidemik. Penggunaan kekuatan berlebihan dan kekerasan yang tidak perlu telah menarget berbagai aksi damai yang merata hampir di seluruh Indonesia. 

Selama Januari-Desember 2024, Amnesty mencatat 40 kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan oleh aparat negara dengan 59 orang korban. Sebanyak 27 kasus dengan 40 orang korban diduga dilakukan oleh anggota Polri, 12 kasus dengan 18 korban diduga dilakukan oleh personel TNI, dan satu kasus dengan satu korban kasus penyiksaan lainnya diduga dilakukan oleh sebuah kampus kedinasan pelayaran di Jakarta. 

Sementara itu dalam rangkaian unjuk rasa #PeringatanDarurat di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus 2024 setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi. 

Siklus ini kembali terulang di tahun 2025 saat demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan revisi UU TNI di berbagai kota di Indonesia pada bulan Maret. Amnesty mencatat setidaknya 24 kasus kekerasan dengan 221 korban dalam rangkaian demonstrasi selama 21-27 Maret yang berlangsung di tujuh provinsi (Sumatra Utara, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara).  

Sebagian besar korban, di antaranya, adalah mereka yang ditangkap sewenang-wenang (8 kasus dengan 114 korban), banyak pula korban kekerasan fisik atau intimidasi (15 kasus dengan 66 korban), bahkan ada pula yang dilaporkan sempat hilang sementara (1 kasus dengan 2 korban). 

“Impunitas adalah bahan bakar utama keberulangan. Tanpa penghukuman pada anggota maupun mereka yang ada di level komando, siklus kekerasan ini akan terus mewarnai pelanggaran HAM di Indonesia setiap tahunnya,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.

Serangan terhadap kebebasan berekspresi pembela HAM 

Serangan terhadap kebebasan berekspresi juga dirasakan oleh para pembela HAM, seperti jurnalis, aktivis, masyarakat adat, petani, nelayan, advokat, akademisi, hingga mahasiswa menjadi korban serangan selama tahun 2024.  

Sepanjang 2024 terdapat 123 kasus serangan terhadap 288 pembela HAM. Bentuk serangan berupa pelaporan korban ke polisi, kriminalisasi, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi dan serangan fisik, bahkan hingga percobaan pembunuhan.  

Di antaranya adalah 12 kasus pelaporan ke polisi dengan 27 orang korban, 11 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan 87 orang korban, 7 kasus kriminalisasi dengan 24 orang korban, 6 kasus percobaan pembunuhan dengan 7 orang korban, 78 kasus intimidasi dan serangan fisik dengan 129 orang korban, dan 9 kasus serangan terhadap lembaga pembela HAM. 

Di kategori pembela HAM, jurnalis menjadi korban paling banyak diserang di tahun 2024. Selama periode Januari-Desember 2024, tercatat 62 serangan terhadap 112 jurnalis. Bahkan, tahun ini jumlah serangan terus bertambah, yaitu 23 serangan atas 26 jurnalis dari Januari hingga 11 April 2025. Ini belum termasuk setidaknya dua kasus serangan digital terhadap tiga jurnalis dari Februari hingga 8 April 2025. 
 
“Rangkaian kekerasan, intimidasi, dan teror tersebut berupaya menciptakan iklim ketakutan bagi jurnalis dan mengancam kebebasan pers. Profesi mereka dilindungi undang-undang. Negara wajib melindungi jurnalis dalam menjalankan tugas mencari dan memberitakan informasi. Negara harus mengusut tuntas para pelaku kekerasan atas jurnalis sampai diadili,” kata Wirya Adiwena.  

Pemilu 2024 juga menjadi katalis atas serangan terhadap pembela HAM. Amnesty mencatat 19 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan 37 orang korban, dengan rincian 5 kasus laporan ke polisi terhadap 8 orang korban, serta 14 kasus intimidasi dan serangan fisik atas 29  korban. 

Pembela HAM mengalami serangan peretasan yang masif di tahun 2024. Selama Januari hingga Desember 2024, Amnesty mencatat 8 kasus serangan peretasan akun milik pribadi milik pembela HAM dan akun milik lembaga pembela HAM dengan 11 orang korban dengan rincian antara lain; 2 kasus Doxxing dengan 2 korban, 4 kasus WhatsApp dengan 7 korban, 1 kasus Twitter dengan 1 korban, 1 kasus akun Instagram dengan 1 korban. 

Orang tak dikenal pada 17 Juli 2024 menembak Yan Christian Warinussy, seorang pengacara dan pembela HAM di Tanah Papua, setelah menghadiri sidang kasus korupsi di Manokwari. Polisi belum mengusut tuntas kasus serangan tersebut. 

Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 16 Oktober dini hari, sejumlah orang melemparkan bahan peledak ke kantor redaksi media Jubi (Jujur Bicara) yang terletak di Jalan SPG Taruna Waena, Jayapura, Papua. Sejumlah area kantor dan dua kendaraan operasional Jubi yang terparkir di halaman kantor rusak akibat terbakar. Kasus ini juga belum diusut tuntas.  

Belakangan ketika mulai terlihat adanya kejelasan pelakunya berasal dari institusi militer, polisi malah menyerahkan kepada militer. Ini fenomena melemahnya aturan hukum dan lembaga penegak hukum ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan personil militer. Kewajiban negara melindungi jurnalis justru tunduk di bawah subordinasi kekebalan hukum personil militer. 

Pengawasan di luar hukum, termasuk penyalahgunaan teknologi 

Pada Mei 2024, Amnesty menerbitkan laporan penelitian yang merinci penjualan dan penggunaan perangkat pengintai (spyware) dan teknologi pengawasan yang sangat mengganggu dari tahun 2017 hingga setidaknya tahun 2023. Ada banyak contoh impor atau penggunaan spyware oleh perusahaan dan lembaga negara, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Badan Siber dan Sandi Negara. Peralatan tersebut berasal dari Israel, Yunani, Singapura, dan Malaysia. 

“Penggunaan spyware akan semakin menggerus ruang-ruang sipil yang menyempit selama sepuluh tahun terakhir akibat meningkatnya kebijakan dan praktik-praktik otoriter. Itu sebabnya parlemen dan pemerintah harus segera memberlakukan peraturan yang lebih melindungi privasi warga di ruang digital, termasuk larangan atas spyware yang invasif,” kata Usman Hamid. 

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang disahkan pada tahun 2022, secara resmi mulai berlaku pada tanggal 17 Oktober. Namun, pihak berwenang belum sepenuhnya merumuskan peraturan pelaksanaannya, termasuk membentuk badan perlindungan data khusus seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. 

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama 

Setidaknya masih terjadi 8 kasus diskriminasi terhadap minoritas agama sepanjang 2024, dalam bentuk penolakan rumah ibadah, penyegelan rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, dan intimidasi/larangan beribadah. 

Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, melarang Jemaah Ahmadiyah mengadakan pertemuan tahunan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah Indonesia yang akan dilaksanakan pada tanggal 6-8 Desember 2024, bertempat di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. 

Sejumlah warga suatu perumahan di Cibinong melarang ibadah perayaan Natal yang dirayakan oleh Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) pada 8 Desember 2024. Sebelumnya terjadi juga aksi penolakan sejumlah masyarakat atas pendirian gereja Mawar Sharon di Pegambiran, Cirebon, pada 2 November 2024. 

“Dalam pelanggaran kebebasan beragama pelakunya adalah negara dan aktor non-negara. Negara membiarkan praktik diskriminatif dan intoleran atas kaum minoritas dalam menjalankan agama mereka sesuai keyakinan,” kata Usman Hamid. 

“Negara tidak boleh terus-menerus membiarkan itu terjadi dan harus tegas menentang segala bentuk intoleransi maupun diskriminasi atas dasar keyakinan agama,” lanjutnya. 

Lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi juga bisa memperkeruh permasalahan diskriminasi bagi pemeluk agama dengan memberi interpretasi sempit soal kebebasan beragama dalam putusan MK pada 3 Januari lalu. 

Pembangunan proyek ekonomi tanpa penghormatan hak asasi manusia, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat 

Kebijakan pembangunan pemerintah, seperti di tahun-tahun sebelumnya, terlihat tidak menjadikan HAM sebagai landasan utama. Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) menggerus hak-hak masyarakat adat yang terdampak. Proyek-proyek PSN, dalam banyak kasus, tidak melalui proses persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat setempat. 

Atas nama pembangunan, proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) melanggar hak masyarakat adat, salah satunya komunitas Balik dengan ancaman penggusuran yang menghantui mereka sepanjang tahun 2024.  

Intimidasi dan kriminalisasi juga mewarnai pelaksanaan PSN Rempang Eco City di Kepulauan Riau. Pada September, satu tahun setelah aparat menghadapi protes warga dengan kekerasan, aparat membiarkan sekelompok orang berpakaian preman menyerang warga yang berjaga di sebuah jalan di desa Sungai Bulu. Tiga orang warga terluka ketika mereka dipukul dengan papan kayu dan helm. Poster-poster yang mengekspresikan penentangan terhadap proyek tersebut juga dirusak. 

“Ini ibarat membangun rumah secara fisik namun penghuni awalnya justru diinjak-injak tanpa menghormati kaidah hak asasi manusia. Ini jelas melanggar aturan HAM nasional maupun internasional,” kata Usman. 

Pada September, pemerintah menyiapkan dua kebijakan: Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) dan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Kedua dokumen ini penting untuk membentuk kebijakan energi Indonesia.  

Organisasi masyarakat sipil menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kedua RUU tersebut, dan meyakini bahwa kedua RUU tersebut masih belum memadai untuk transisi menuju emisi nol bersih. Dalam RPP KEN, pemerintah menurunkan target bauran energi terbarukan, menyesuaikan target tahun 2025 dari 23% menjadi sekitar 17-19%, dan untuk tahun 2030 dari 26% menjadi sekitar 19-21%.  

RUU EBET masih mengizinkan pengembangan bahan bakar fosil, asalkan disertai teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon. Selain itu, kedua dokumen tidak memiliki pertimbangan dampak sosial, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan perampasan lahan lebih lanjut untuk proyek-proyek energi dan memperpanjang ketidakadilan bagi masyarakat.