Pena Lebih Tajam dari Pedang: Aktivis Perempuan Asli Papua, Esther Haluk, Melawan dengan Karya Sastra

“Pena menjadi senjata saya. Puisi-puisi yang saya tulis berisi refleksi pribadi atas persoalan kemanusiaan dan peristiwa pembunuhan yang terjadi di Papua.”

Esther memandang kontrasnya hidup sebagai perempuan Papua di tanah leluhurnya daripada di luar Papua seperti air dan minyak dalam gelas kaca. Pengalaman hidup yang berbeda mulai ia rasakan saat kembali ke tanah Papua setelah ia menghabiskan masa kecil di Makassar.   

Di usia belia Esther sangat meresapi Pancasila, bahkan ia sering mewakili sekolahnya di perlombaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dulu pada masa pemerintahan Orde Baru, P4 dibuat untuk mengajarkan kepada masyarakat tentang nilai-nilai Pancasila. Sayangnya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang yang semasa kecil ia pelajari sama sekali tak tercermin dalam kehidupan masyarakat Papua.   

Di Papua, Esther menyaksikan diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, dan kekerasan yang terus berulang. Orang Papua hidup bersama trauma dan rasa takut yang selalu mengintai mereka. a pada rumah. 

Kecintaannya pada bahasa dan sastra menjadi ruang aman bagi Esther untuk menyuarakan keresahan dan pilu yang dialami masyarakat Papua melalui puisi dan cerita-cerita pendek yang ia tulis. Esther percaya bahwa ia dapat dengan bebas menyuarakan kebenaran melalui tulisan.  

“Pena menjadi senjata saya. Puisi-puisi yang saya tulis berisi refleksi pribadi atas persoalan kemanusiaan dan peristiwa pembunuhan yang terjadi di Papua,” tutur Esther. Buku kumpulan puisi pertamanya yang berjudul “Nyanyian Sunyi” telah terbit di pasaran pada Februari 2022 lalu.  

Ini wawancara kami dengan Esther Haluk.

Q: Bagaimana perjalanan hidup sampai akhirnya bisa memilih untuk menyuarakan hak-hak asasi manusia terutama dan hak asasi perempuan? 

Saya tumbuh besar bukan di Papua tetapi di Sulawesi karena orang tua saya mengenyam pendidikan di Sulawesi. Awalnya saya tidak banyak tahu tentang persoalan-persoalan hak asasi manusia pada saat saya masih kecil karena orang tua kami menutup semua informasi itu. Mereka tidak mau mewariskan trauma itu kepada kami jadi saat mereka bercerita selalu berbisik-bisik. Jadi tumbuh besar saya tidak punya pengalaman mendengar persoalan HAM karena saya tidak dibesarkan di Papua.   

satu hal yang cukup aneh bagi saya itu setiap keluarga saya bertemu dengan kerabat dari Mama di kampung kalau saling bercerita di tengah malam itu kok ceritanya sambil bisik-bisik, lalu diakhiri dengan menangis.

Dulu saya hafal tentang Undang-undang, Undang-undang 1945, dan pasal-pasalnya. Bahkan saya selalu ikut mewakili sekolah untuk perlombaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah. Saya percaya dengan nilai-nilai yang ada di Undang-undang dan Pancasila. Sekitar tahun 1990 atau 1992 kami kembali ke Papua di mana saya mulai menemui situasi yang agak berbeda dari pengalaman saya sebelumnya. Nah satu hal yang cukup aneh bagi saya itu setiap keluarga saya bertemu dengan kerabat dari Mama di kampung kalau saling bercerita di tengah malam itu kok ceritanya sambil bisik-bisik, lalu diakhiri dengan menangis.

Saya jadi penasaran lalu saya tanya orang tua saya boleh tidak saya ikut mendengarkan, tapi kemudian mereka bilang “ah ayo masuk tidur, cerita-cerita ini tidak boleh anak kecil dengar.” Jadi saya besar seperti itu bertahun-tahun dan saya penasaran tapi keingintahuan saya tidak terjawab.

Setelah lulus SMA saya memilih untuk kuliah di Jawa. Saat keluarga dari Mama saya mendengar kalau saya akan meninggalkan Papua untuk berkuliah di Jawa, mereka semua datang ke rumah untuk melepas keberangkatan saya. Hubungan di antara keluarga kami, dengan om-om saya sangat dekat.  

Menjelang larut malam, peristiwa yang sama terulang kembali, orang-orang tua menyuruh kami yang masih muda-muda ini untuk segera tidur saat orang dewasa sedang bercakap-cakap “ayo masuk, tidur.” Lalu saya bilang, “kenapa saya harus masuk tidur Ma?” Mama saya lantas menjawab “Tidak apa-apa kamu dengan adik-adik masuk saja tidur tidak usah gabung dengan orang tua.” Ya sudah [saya] masuk dan berusaha tidur tapi tengah malam saya tetap penasaran jadi saya keluar dari dalam rumah karena mereka ceritanya di dapur. Kebetulan rumah kami di Papua dapurnya tradisional jadi biasa ada semacam api unggun gitu; kemudian kita berkumpul di sekelilingnya dan saling bercerita. 

Saya keluar kamar tapi tidak langsung ke dapur, saya hanya duduk di bagian luarnya dan ikut mendengar semua cerita mereka. Ada saudara jauh saya dari pihak Mama, jadi satu Bapak tapi lain Mama, seusia Mama saya, ia diperkosa secara bergilir oleh TNI di hadapan suaminya sendiri. Dari pengalaman traumatis itu dan adanya operasi militer di kampung Mama saya, akhirnya mereka terpaksa mengungsi. Sekarang mereka tinggal di perbatasan antara Papua Nugini dan Indonesia.  

Mereka juga cerita soal situasi operasi militer saat ada keluarga kami yang dibunuh. Ketika mendengar itu saya langsung masuk dan bilang “apa yang tadi kamu ceritakan? Saya tidak bisa dengar secara keseluruhan, bisa cerita sama saya tidak?” Keluarga saya tahu kalau saya punya rasa ingin tahu yang tinggi. Malam itu akhirnya mendengar cerita langsung dari yang mengalami, mereka cerita secara detail.   

Kebenaran-kebenaran itu mulai terkuak secara perlahan dan itu mengubah saya. Sejak saat itu saya memilih untuk menyuarakan keresahan saya dengan menjadi seorang aktivis yang terus bersuara tentang persoalan hak asasi manusia di Papua. 

Saya kira malam itu menjadi titik balik untuk saya. Nilai-nilai yang saya percayai selama ini, pendidikan yang saya pegang teguh, dan perjuangan  saya tumbuh besar dengan pendidikan di Indonesia itu semua berubah sejak malam itu. Dua hari kemudian saya berangkat ke Jawa untuk berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Saya seperti orang kelaparan yang ingin tahu lebih banyak hal tentang Papua. Saya menjadi pengujung setia perpustakaan UKSW karena saya ingin bongkar semua data dan informasi sebanyak mungkin tentang Papua. Sejak saya punya pengetahuan itu, saya melihat situasi dan realitas dan apa yang tertulis di sumber bacaan yang saya baca dan situasi yang dialami orang Papua tidak beda jauh. Kebenaran-kebenaran itu mulai terkuak secara perlahan dan itu mengubah saya. Sejak saat itu saya memilih untuk menyuarakan keresahan saya dengan menjadi seorang aktivis yang terus bersuara tentang persoalan hak asasi manusia di Papua. 

Ketika saya mahasiswa, saya mulai terlibat berbagai macam organisasi dan aktif bersuara untuk persoalan-persoalan yang terjadi di Papua. Sampai sekarang saya tidak berhenti karena persoalan kemanusiaan bukannya membaik tapi semakin memburuk. Itu artinya, saya masih memiliki tanggung jawab sebagai anak negeri dan sebagai orang asli Papua, untuk terus bersuara.  

Pengetahuan yang saya dapat seperti data-data dan fakta tentang operasi militer, menjadi titik balik bagi saya. Saya juga membaca adanya orang Papua yang terbunuh di operasi militer sampai dengan sekarang. Saya lihat kemarin terakhir kasus penembakan oleh aparat kepada 7 orang Papua yang akhirnya kami kuburkan di area kompleks rumah saya. Itu adalah catatan panjang. Sampai sekarang luka-luka kami tidak pernah disembuhkan oleh negara. Dulu saya hanya tahu itu dari buku-buku, sekarang saya menyaksikan langsung dalam kehidupan sehari-hari saya. Hidup saya dan saudara-saudara saya di Papua bisa menjadi sumber pengetahuan tentang persoalan kemanusiaan yang terjadi di Papua. 

Sampai sekarang luka-luka kami tidak pernah disembuhkan oleh negara

Q: Apa tantangan yang Anda hadapi sebagai seorang perempuan Papua yang memilih untuk melawan? 

Saya merasa berat menjadi perempuan di Papua karena menghadapi kekerasan yang berlapis-lapis –  dalam struktur negara yang sangat represif di Papua. Negara berperilaku sangat represif di Papua, kekerasan terjadi secara terstruktur dari level atas sampai ke bawah. Adanya operasi militer membuat kami sangat rentan menghadapi kekerasan. Patriarki sangat kental di mana perempuan dianggap sebagai warga kelas dua.  Akibatnya, kami perempuan tidak mendapat ruang.

Pendapat dan opini kami tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan di tingkat adat. Perempuan kalau menikah akan menjadi anggota suku suaminya. Kalau perempuan punya anak, anaknya yang akan punya marga. Belum lagi di tambah perspektif agama yang semakin menguatkan patriarki di Papua. Perempuan tidak bisa dengan gampang berpendapat di pemerintahan karena ranah publik itu didominasi oleh laki-laki yang tidak punya perspektif gender. Makanya kebijakan yang dihasilkan tidak ramah terhadap perempuan, keputusan yang dihasilkan bias dan tidak mengakomodir kepentingan perempuan. Perempuan Papua hari ini benar-benar termarjinalkan. Misalnya, oh ini otonomi khusus 20 tahun ada dana masuk ke Papua milyaran rupiah, tapi karena yang mengelola di birokrasi tidak peka terhadap isu-isu perempuan maka kebijakan yang dihasilkan tidak mengakomodir kebutuhan perempuan dan anak.   

Operasi militer membuat kami sangat rentan menghadapi kekerasan. Patriarki sangat kental di mana perempuan dianggap sebagai warga kelas dua.  Akibatnya, kami perempuan tidak mendapat ruang.  

Isu-isu perempuan tidak dianggap begitu penting. Padahal, peradaban dan kehidupan kita itu ditentukan oleh perempuan yang berdaya; perempuan yang berdaya menghasilkan generasi yang berdaya pula. Maka saya dan teman-teman melakukan edukasi untuk mendorong adanya perubahan perspektif, supaya pengambilan keputusan di ranah publik bisa berubah dan kepentingan perempuan diakomodasi.

Kita hari ini menghadapi isu lingkungan serius di Papua; tanah dan hutan yang dikelola perempuan adat untuk kebutuhan keluarganya terancam oleh kepentingan investor sedangkan perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah bersama para investor. Sehari-hari perempuan ke hutan untuk mencari bahan pangan bagi keluarganya, tapi mereka sama sekali tidak tahu kalau tanah itu sudah berpindah tangan. Ruang hidup perempuan semakin menyempit sedangkan kita tidak punya akses untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

Q: Isu apa yang penting kita suarakan? 

Untuk saat ini persoalan Hak Asasi Manusia itu penting termasuk persoalan pengungsi, isu lahan dan masyarakat adat yang semakin terpinggirkan oleh adanya investasi dan proyek-proyek negara yang semakin masif. Adanya Omnibus Law UU Cipta Kerja itu sangat berbahaya jika diimplmentasikan di Papua. Produk hukum itu semakin melegitimasi perampasan lahan sedangkan kita yang di sini terutama perempuan dan anak hanya terkena imbasnya saja. 

Persoalan pengungsi di Papua juga harus menjadi perhatian. Ini persoalan serius karena pengungsi jumlahnya semakin banyak dengan adanya operasi militer. Kami tidak punya sumber daya untuk mengurus pengungsi yang jumlahnya terus bertambah. Orang yang tinggal di kampung dan kebunnya sendiri terusir dari tanahnya, bagaimana mereka bisa bertahan hidup? 

Bayangkan kalau ini tidak ditangani dan terus terjadi sampai 10 hingga 20 tahun mendatang, bagaimana nasib generasi muda Papua?

Persoalan yang tak kalah penting juga soal nasib generasi muda Papua. Ketika operasi militer dijalankan di Papua sampai warga-warga harus mengungsi untuk mencari tempat aman, anak-anak terpaksa putus sekolah. Bayangkan kalau ini tidak ditangani dan terus terjadi sampai 10 hingga 20 tahun mendatang, bagaimana nasib generasi muda Papua? Bisa jadi mereka akan bodoh dan terbelakang, tidak paham kalau tanahnya dikuasai orang lain. 

Ditambah kebijakan negara tentang daerah otonomi baru yang mana jumlah penduduk Papua itu sedikit, lalu siapa yang mengisi daerah itu? Kan mau tak mau perlu ada orang dari luar untuk relokasi di daerah-daerah baru itu. Sedangkan persoalan di Papua sendiri sudah sangat kompleks. 

Q: Apa makna ruang kebebasan sipil bagi Kak Esther? 

Kebebasan sipil itu bebas mengutarakan pendapat tanpa rasa takut atau diikat dengan hukum yang dapat mengkriminalisasi. Saya bebas menyuarakan kritik saat ada kebijakan yang merugikan saya. Tapi sayangnya yang terjadi di Papua tidak seperti itu, ruang kebebasan sipil di Papua diberangus. Ada kebijakan yang dikeluarkan oleh Polda di Papua untuk melarang aksi unjuk rasa. Di sini kalau kami mau izin untuk aksi, polisi dan TNI sudah berjaga-jaga dari jam 6 pagi, jalan-jalan [dan] lorong di perumahan warga sudah dipalang. TNI kan tugasnya menjaga di wilayah perbatasan, lha ini aksi demonstrasi aja kok dijaga TNI kan lucu. 

Q: Menurut Kak Esther, bagaimana penyempitan ruang sipil mempengaruhi HAM? 

Kebebasan sipil itu salah satu hak yang fundamental. Hak untuk berbicara, berekspresi, dan berkumpul itu hak mendasar yang dijamin oleh Undang-undang. Ketika seseorang yang mengalami penindasan tidak bisa bersuara, maka totaliter, kekerasan, dan pelanggaran HAM akan terjadi. Kalau hak mendasar saja tidak dipenuhi kan berarti negara ada masalah. 

Q: Bagaimana kita bisa merebut kembali ruang kebebasan sipil? 

Saya ambil contoh di Venezuela ya di mana aparat penegak hukumnya memperoleh Pendidikan tentang aspek-aspek hukum dan HAM. Cara itu berhasil untuk menurunkan represifitas oleh aparat. Saya kira di sini juga penting untuk menerapkan cara yang sama. 

Saya kira pemerintah perlu duduk bersama kami untuk mendefinisikan dan menyamakan persepsi tentang keadilan

Kalau di Papua memang ada permasalahan serius seperti perbedaan perspektif antara orang asli Papua dan pemerintah. Salah satunya yang paling mendasar adalah kalau kami mau mengekspresikan pendapat dianggap makar. Selalu saja kami dilabeli seperti itu. Saya kira pemerintah perlu duduk bersama kami untuk mendefinisikan dan menyamakan persepsi tentang keadilan. Jadi misal kami mendefinisikan keadilan seperti apa gitu [yang] berbeda dengan definisi pemerintah, maka setiap tindakan kami di Papua selalu dilabeli dan dilihat dengan kacamata politik yang berbeda. 

Pemerintah perlu usaha lebih dan seharusnya mereka lakukan dulu di tahun 70an atau 80an saat awal-awal kami menyatu dengan Indonesia sehingga kami tidak merasa seperti warga kelas dua. Tapi bertahun-tahun lamanya persoalan ketidaksamaan perspektif itu dibiarkan saja bahkan tidak diselesaikan. Menurut saya sekarang sudah terlambat jadi entah bagaimana persoalan ini bisa diselesaikan kami juga bertanya-tanya. 

Q: Adakah pesan yang ingin Kak Esther sampaikan ke masyarakat yang belum mengetahui fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi di Papua? 

Selama ini kami terus bersuara dengan cara kami sendiri. Kami dan adik-adik kami berusaha untuk mensosialisasikan persoalan kemanusiaan di manapun di seluruh Indonesia meskipun kami harus mengalami represifitas, pembungkaman, dicap makar ataupun dianggap menyebarkan hoaks. Jadi itu sebabnya hari ini kami lebih memilih panggung internasional untuk menyuarakan aspirasi kami karena kami tidak mendapat keadilan itu di Indonesia.

Rakyat Indonesia perlu berdiri dan perlu kritis melihat persoalan kemanusiaan di Papua. 

Jadi ketika kita berbicara soal hak asasi manusia, ada persoalan kemanusiaan yang serius di tanah Papua hari ini. Saya kira rakyat Indonesia perlu berdiri dan perlu kritis melihat persoalan kemanusiaan di Papua. 

Q: Mengapa Kak Esther menggunakan tulisan sebagai salah satu cara untuk melawan?

Saya lulusan Sastra Inggris sehingga sastra memang bukan hal baru bagi saya. Pengalaman hidup saya sebagai perempuan Papua, sebagai orang Papua yang saat ini berada dalam ketertindasan, dan berada dalam situasi kolonialisme, maka saya pasti akan kreatif memilih cara untuk terus menyuarakan kebenaran ketika ruang-ruang demokrasi ditutup dan ketika kebenaran dibungkam.  

Cara yang saya tahu dan yang bisa saya pakai untuk menyuarakan kebenaran ya melalui tulisan. Pena menjadi senjata. Semua puisi-puisi saya itu berisi perasaan dan refleksi pribadi saya terhadap persoalan dan peristiwa yang terjadi di Papua. Ketika ada persoalan pembunuhan itu saya suarakan di dalam setiap lembar dari 42 puisi saya. Lewat sastra juga saya menggambarkan masyarakat Indonesia dan rakyat Papua hari ini—bagaimana nurani mereka menjadi tumpul saat dihadapkan pada masalah di Papua. Jadi, sebenarnya alasan mendasar seperti itu saja, begitu.  

Artikel ini ditulis dengan bantuan relawan Amnesty International Indonesia: Andi Muhammad, Devi Mustafa Putri, Dedi Setiansah, dan Frederica Nancy.