Melawan Tabu dan Membangun Resiliensi: Cerita Komunitas Feminis Queer Qbukatabu

Seni menjadi hal yang sangat lekat dengan pemaknaan dan pemulihan diri yang penting untuk individu dan komunitas queer.”

Sejak kecil kita terbiasa dengan identitas yang biner. Orang tua dan keluarga kita berekspektasi bahwa anak yang lahir kelak akan menjadi laki-laki atau perempuan. Konstruksi heteronormatif yang mengakar di masyarakat ini menumbuhkan persepsi bahwa LGBTQI+ adalah kelompok yang “lain,” “penyakit,” “tidak normal dan harus disembuhkan.” Maka tidak heran jika LGBTQI+ sering kali mendapat tekanan dari lingkungan sosialnya. Mereka  kerap diremehkan, dikucilkan, dan dilanggar hak-haknya.

Menjadi LGBTQI+ berarti telah melalui perjalanan panjang mengeksplorasi karakteristik seks, ekspresi gender, identitas gender dan orientasi seksual yang dipenuhi berbagai pertanyaan, kemungkinan, dan ketidakpastian hidup karena banyaknya tekanan di masyarakat yang membuat kelompok ini semakin rentan dan individu-individu di dalamnya merasa terisolasi. Di samping itu, masih terbatasnya wadah yang bisa membuka cakrawala mereka tentang pengetahuan, layanan, maupun ruang aman untuk berdialog tentang seksualitas dan tantangan sosial yang mereka hadapi.

Keterbatasan pengetahuan dan ruang aman ini ditangkap oleh Yulia Dwi Andriyanti, yang biasa disapa Edith, seorang non-biner bersama dengan kedua kawannya queer yang sama-sama merasa bahwa perlu adanya komunitas alternatif yang mampu menciptakan ruang aman untuk berdialog tentang diskursus seksualitas yang progresif dan melawan tabu melalui ekspresi seni dan budaya. Menurut Edith, “seni menjadi hal yang sangat lekat dengan pemaknaan dan pemulihan diri yang penting untuk individu dan komunitas queer.” 

Ini wawancara kami dengan Edith dari Qbukatabu

Q: Bagaimana inisiatif Qbukatabu muncul?

Jadi (konteks) waktu itu lagi ada judicial review tentang pasal di RKUHP tentang upaya kriminalisasi hubungan seksual sesama jenis antar orang dewasa serta situasi politik pasca kasus penodaan agama yang menjerat Ahok pada tahun 2017. Itu jadi latar keresahan-keresahan saya bersama teman yang sama-sama mengidentifikasi diri sebagai queer. Cara media memotret queer dengan sangat merendahkan juga membungkam ruang-ruang kami. Setidaknya ruang untuk ngobrol jadi lebih terbatas, termasuk untuk bahas topik queer. Coming out (mengungkapkan identitas gender maupun orientasi seksual) juga malah memunculkan penghukuman atau persekusi. Waktu itu aku dan temanku mulai berpikir untuk bikin sesuatu yang alternatif di kalangan komunitas queer ketika informasi-informasi susah didapetin. Misal bikin konten supaya narasinya berimbang. Kami mulainya di media sosial, terus mulai berkembang sampai kami punya situs sendiri.  

Cara media memotret queer dengan sangat merendahkan juga membungkam ruang-ruang kami. Setidaknya ruang untuk ngobrol jadi lebih terbatas, termasuk untuk bahas topik queer

Kami berbagi peran untuk produksi konten. Aku lebih suka teks dan temanku yang lain lebih suka visual, jadi nyambung saja kita di kolaborasi. Kemudian pelan-pelan di bulan Oktober atau November tahun 2017 kita mulai buka layanan konseling. Kenapa buka layanan konseling? Karena konseling bisa jadi wadah untuk tanya-tanya dulu. Misal mereka sudah dapat informasi lewat konten-konten kami lalu mereka punya pertanyaan lanjutan atau ada hal-hal yang ingin diceritain makanya kami buka layanan yang dapat diakses lewat WhatsApp dan email.

Q: Cara yang dipakai Qbukatabu untuk menjangkau teman-teman queer ini terlihat lebih soft dengan pendekatan-pendekatan personal seperti konseling. Kenapa begitu? 

Ya secara spesifik Qbukatabu bukan organisasi LGBT. Kami lebih pas disebut sebagai organisasi feminis queer. Kenapa feminis queer? Karena kami percaya dengan nilai-nilainya dan kami ingin membangun organisasi yang berbasis nilai. Bahwa pembebasan itu nggak cuma soal gender dan seksualitas tapi juga ngomongin soal kelas dan identitas interseksional lainnya. Dan ranah juang itu beragam, ada yang di ranah advokasi kebijakan di tataran negara dimana identitas politik ‘LGBT’ menjadi penting dikedepankan.  

Saya memandang Qbukatabu lebih banyak berkontribusi dalam membangun dan memperkuat nilai-nilai feminis dan queer di tatanan masyarakat dan komunitas queer sendiri. Penting untuk melihat persoalan yang ada di masyarakat terkait ide cis-heteronormatif. Salah satu upayanya ketika kami ingin membangun kesadaran kritis maka mesti membangun resiliensi komunitasnya juga, dalam hal ini komunitas queer yang selama ini jadi sasaran dari sistem yang opresif ini. Jadi gak bisa dipisahkan antara membangun kesadaran kritis masyarakat dengan membangun resiliensi komunitas queer-nya.  

pembebasan itu nggak cuma soal gender dan seksualitas tapi juga ngomongin soal kelas dan identitas interseksional lainnya

Advokasi yang kami lakukan memang lebih ke pendekatan psikososial, seni, dan budaya karena melihat situasi masyarakat sekarang ini penting juga untuk dibangun kesadarannya. Caranya nggak harus selalu dilakukan dengan politik coming out. Konstituen Qbukatabu fokus pada para penggerak komunitas dan individu yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan lesbian, biseksual queer, non-biner, trans, interseks, baik yang menjadi konselor komunitas, ilustrator dan penulis. 

Q: Sejak awal berdiri di tahun 2017 dan membuka layanan konseling untuk teman-teman queer, apakah Qbukatabu menemukan pola dari cerita atau narasi-narasi yang mereka alami? 

Kalau terkait pola, kami belum punya laporan tahunan yang bisa mengidentifikasi tren kasus. Buka Layanan menerima konseling tentang proses transisi, proses coming in, serta relasi dengan keluarga, pasangan, dan teman. Konseling yang mengakses juga bukan hanya kelompok queer tapi juga perempuan cis, mengenai kehamilan yang tidak diinginkan. Banyak juga yang mengakses informasi untuk mengetahui lembaga layanan yang ramah dan inklusi.  

Kami juga pernah membuat Joint Report CEDAW bersama sepuluh organisasi lain (dua organisasi anonim) untuk intervensi ke Komite CEDAW. Di laporan itu, Qbukatabu mengangkat pemaksaan pakaian dan jilbab pada individu translaki-laki karena orangtuanya terus menetapkan dirinya sebagai perempuan. Akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkan orangtua. Organisasi lain juga aku ingat mengangkat tentang pemaksaan perkawinan seorang lesbian oleh orang tua. Ada juga yang mengangkat tentang diskriminasi terhadap ekspresi gender di tempat kerja.  

Q: Kalau dilihat dari narasi teman-teman queer saat mereka membagikan cerita tentang diri, seksualitas, dan tantangan yang mereka hadapi, apakah saat ini situasinya semakin mengkhawatirkan atau membaik? 

Jujur kami gak bisa menilai itu karena perubahannya tidak linear. Misalnya ketika ada yang sudah berani coming out ke pasangan atau sudah coming out ke keluarga itu belum tentu semua masalah selesai. Maka kami belum punya kesimpulan dan Qbukatabu juga masih belum punya komparasi tren dari tahun ke tahun seperti apa karena kami masih membangun sistem konselingnya sendiri. 

Tapi yang bisa aku bilang sebenarnya kalau untuk menilai sejauh apa kesadaran kritisnya sebetulnya semakin banyak penulis dan ilustrator queer yang aktif memproduksi konten. Itu yang saya rasa signifikan dan bisa dicek di situs Qbukatabu. Kami mulai melibatkan teman-teman penulis dan kontributor lepas untuk ikut menulis topik tentang queer sehingga agensi mereka juga terlihat. Di festival yang pernah Qbukatabu adakan juga pameran karya komik dari kawan-kawan queer dengan pengalaman yang sangat personal. Dalam festival, ada protokol keamanan dalam pameran tersebut untuk menginformasikan pengunjung pameran tentang karya yang sangat personal tersebut.  

Q: Bagaimana Qbukatabu bisa menjangkau teman-teman yang mau membuat konten dan karya seni itu? 

Kami bikin beberapa workshop. Ada workshop cerita bergambar yang mendorong teman-teman queer menggambarkan pengalaman keseharian queer yang mengalami kekerasan dan diskriminasi karena tubuh dan seksualitasnya melalui gambar. Untuk workshop ini, kami sebarluaskan di media sosial, dan juga jaringan para penggerak komunitas feminis queer, dan komunitas queer lainnya. Tim Qbukatabu melakukan seleksi dan mengkurasi gambar tersebut dan menggelar pameran seni di Festival Titik Simpang yang digelar 31 Maret – 2 April lalu.  

Penting untuk membangun strategi antar allies khususnya di ranah seni dan budaya saat kita ngomongin ide-ide feminis dan queer supaya ide tersebut bisa mudah dipahami.  

Kami juga pernah membuat workshop menulis yang khusus diperuntukkan bagi penggerak feminis-queer yang selama ini banyak bekerja di pengorganisasian komunitas maupun advokasi. Workshop menulis ini menjadi ruang bagi para penggerak feminis-queer untuk berjeda sejenak dari aktivismenya dan merefleksikan tentang cerita-cerita di masa lalu atau momen-momen tertentu yang ingin diangkat tentang kesehariannya. Workshop ini menghasilkan sebuah buku antologi para penggerak feminis queer, berjudul Cerita Sehari-Hari Diri dan Semua yang Mengitari yang didistribusikan melalui Patjar Merah. Ini reels ajakan membaca buku dari Reda Gaudiamo, fasilitator workshop dan editor buku Cerita Sehari-Hari Diri dan Semua yang Mengitari.

Q: Bagaimana kita menggambarkan gerakan queer dan dinamikanya di Indonesia saat ini?

Kami pernah melakukan penelitian tentang artivisme (inisiatif pelibatan seni sebagai medium untuk perubahan) queer feminis. Ini menarik untuk diangkat karena kita bisa melihat geliat seni dan budaya dari perspektif feminis dan queer yang berkembang lewat pengkajian di komunitas-komunitas. Penelitian ini kami buat dari bulan November 2022 sampai Maret 2023 untuk memetakan dan menggambarkan artivisme feminis dan queer di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Kenapa menarik bagi kami? Karena artivisme menjadi strategi dalam melakukan aktivisme melalui ekspresi seni. Penting juga untuk membangun strategi antar allies khususnya di ranah seni dan budaya saat kita ngomongin ide-ide feminis dan queer supaya ide tersebut bisa mudah dipahami.  

Artivisme queer itu sebetulnya memiliki berbagai pemaknaan.  Misalnya, ia menjadi ruang bagi pengorganisiran komunitas queer dan ekspresinya di ruang publik. Ruang ini penting yang dilakukan sebagai sarana untuk mengorganisir kekuatan kolektif. Dalam mengorganisir kesadaran publik, komunitas queer juga melakukan cara-cara yang berkaitan dengan seni yang gak terpisahkan dari masyarakat untuk dapat merawat hubungan sebagai sesama warga. Misalnya, menjadi perias pengantin bagi warga sekitar.   

Harapannya juga supaya ada ruang untuk berdialog secara lebih lanjut tentang representasi gender dan seksualitas di ekosistem seni dan budaya yang masih belum banyak diperbincangkan 

Rianto, penari Lengger Lanang Banyumas, salah satu narasumber pada diskusi penelitian Qbukatabu, “Bertahan dalam Perjuangan: Sebuah Catatan Refleksi Artivisme Feminis-Queer di Indonesia”

Kami juga mengenali beberapa filosofi yang muncul dalam gerak tari tertentu, misalnya dalam konteks tari lenger lanang yang menggambarkan kalau ekspresi feminitas dan maskulinitas itu bisa jadi satu.  Tradisi lokal dan queer dengan mencoba memahami makna filosofis tentang peleburan antara batas feminin dan batas maskulin itu bisa didiskusikan di ranah kultural dan menjadi hal yang penting untuk diamplifikasi dalam situasi yang selalu menegaskan pemisahan antara budaya Indonesia dan teman-teman queer. Nah, di sinilah peran para seniman karena mereka bisa menyampaikan pesan dengan cara-cara yang lebih lokal dan lebih kultural.

Seni juga sangat lekat dengan pemaknaan dan pemulihan diri juga buat si individu queer itu sendiri. Misalnya teman-teman yang basisnya di pengorganisiran komunitas dan tidak mengenal seni sebagai suatu aktivitas rutin sebenarnya bisa memanfaatkan seni sebagai pemulihan diri  dan sarana untuk berkomunikasi dan mengenali dirinya sendiri lebih lanjut. 

Dengan adanya laporan ini, harapanya Qbukatabu bisa membuka percakapan tentang bagaimana artivisme feminis dan queer dikembangkan lebih lanjut sebagai strategi budaya yang bisa diadopsi oleh lembaga-lembaga yang secara khusus bergerak di kesenian, misalnya Koalisi Seni. Harapannya juga supaya ada ruang untuk berdialog secara lebih lanjut tentang representasi gender dan seksualitas di ekosistem seni dan budaya yang masih belum banyak diperbincangkan. 

Penampilan Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS) di Festival Titik Simpang, Kampung Katresnan

Q: Harapannya untuk gerakan queer dan Qbukatabu 10 tahun ke depan apa? 

Sejak pertengahan bulan Maret tahun ini Qbukatabu terdaftar dengan nama organisasi, yakni Rumah Seni dan Budaya Feminis di Kementerian Hukum dan HAM. Kami sendiri berharap punya strategi-strategi yang lebih solid lagi untuk ngomongin tentang topik feminis dan queer dari ranah kultural dan seni untuk dapat berkontribusi menggeser pemikiran atau nilai-nilai yang masih sangat cis-heteronormatif misalnya. Juga kami berharap ada organisasi-organisasi yang ranah geraknya di seni dan budaya mulai ngomongin tentang gimana sih memastikan ekosistem seni-budaya yang inklusif.  

kami sudah mulai membangun ruang-ruang belajar bagi penggerak feminis dan queer untuk berlatih self-care atau well-being karena keduanya harusnya jadi bagian yang gak terpisahkan dari kerja-kerja aktivisme

Penting juga untuk membangun kepemimpinan feminis dan queernya sendiri karena di kegiatan-kegiatan kami selama ini kami sudah mulai membangun ruang-ruang belajar bagi penggerak feminis dan queer untuk berlatih self-care atau well-being karena keduanya harusnya jadi bagian yang gak terpisahkan dari kerja-kerja aktivisme. Jadi mungkin 10 tahun ke depan kami berharap makin banyak komunitas atau organisasi feminis dan queer yang lebih akuntabel sama komunitasnya dan organisasinya sendiri karena ketika kita menuntut negara untuk bertanggung jawab, kita juga harus punya mekanisme untuk akuntabel dan mampu berefleksi tentang diri kita dan organisasi kita.  

Harapannya 10 tahun ke depan gerakan queer bisa lebih memiliki resiliensi terutama di dalam gerakannya sendiri karena ketika situasinya makin represif dan negara makin abai atau makin melanggengkan kekerasan terhadap kelompok queer. Yang bisa dilakukan oleh gerakan queer adalah membangun akuntabilitas komunitasnya sendiri ditengah semakin menguatnya persekusi atau opresi dari negara.