Indonesia makin terjerat siklus pelanggaran HAM sistematis

Indonesia semakin terjerat dalam siklus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sistematis, dengan melibatkan aparat-aparat negara. Upaya untuk memutus rantai pelanggaran tersebut menunjukkan kegagalan dalam menjaga hak-hak dasar warga negara, demikian sebut Laporan Amnesty International “Kondisi Hak Asasi Manusia di Dunia” yang diluncurkan hari ini (24/04).

Laporan tahunan yang menyorot situasi HAM di 155 negara di dunia itu menyoroti penindasan HAM masyarakat sipil dan pelanggaran aturan internasional yang semakin merajalela di tengah meningkatnya kesenjangan global, persaingan antara negara-negara adidaya, dan eskalasi krisis iklim.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyoroti beberapa hal yang menunjukkan semakin buruknya situasi HAM di Indonesia, di mana represi atas kebebasan sipil kian marak terjadi.

“Para pengunjuk rasa sering ditangkap, dan kekerasan digunakan untuk membubarkan protes damai. Pihak berwenang terus mengkriminalisasi individu yang menggunakan hak kebebasan berekspresi, termasuk yang menyampaikan ekspresi politiknya secara damai terkait kemerdekaan Papua, dengan tuduhan kejahatan terhadap keamanan negara,” kata Wirya.

Sebagai contoh, tiga aktivis Papua dihukum penjara dengan tuduhan makar pada 2023 hanya karena menyuarakan pendapat mereka secara damai. Kriminalisasi atas suara-suara kritis masih terus terjadi.

Pada 4 April lalu, aktivis lingkungan hidup Daniel Frits Maurits Tangkilisan divonis bersalah atas ujaran kebencian di Facebook karena mengkritik budidaya udang di perairan Karimunjawa, Jawa Tengah, yang telah mencemari lingkungan. Ia mendapat hukuman tujuh bulan penjara dan denda Rp 5 juta karena melanggar Pasal 45A Jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Negara pun masih menerapkan tindakan-tindakan represif terhadap penolakan warga sipil yang menentang proyek-proyek yang merugikan masyarakat maupun lingkungan.

“Di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, negara tidak melakukan konsultasi yang berarti dengan masyarakat terkait proyek pembangunan yang mengancam akses Masyarakat Adat Tempatan ke tanah leluhur mereka.

Ketika masyarakat Rempang mengekspresikan penentangan mereka terhadap proyek tersebut, aparat keamanan justru merespons dengan kekerasan pada 7 September 2023, menggunakan meriam air, gas air mata, dan peluru karet,” kata Wirya.

Tindakan represif pun terjadi di Padang, Sumatra Barat, pada 5 Agustus 2023 terhadap aksi protes atas rencana pembangunan kilang minyak dan petrokimia di desa Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat. Saat itu aparat menangkap 18 orang, termasuk tokoh masyarakat, aktivis, mahasiswa, dan pengacara, yang memprotes proyek tersebut, karena dikhawatirkan mengancam penghidupan masyarakat dan lingkungan.

Di sisi lain, kekerasan di Tanah Papua terus berlangsung. Operasi militer di Papua tidak mampu menghentikan konflik. Baku tembak aparat keamanan dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua tetap terjadi. Pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) terus bertambah. Aparat keamanan dan kelompok bersenjata non-negara di Papua harus bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum, lanjut Wirya.

Rantai kekerasan di Tanah Papua bahkan masih terus berlangsung. Dua anak-anak ditembak dalam bentrokan antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan pada 8 April 2024 di Intan Jaya. Seorang anak berusia 12 tahun meninggal dunia, sedangkan seorang lainnya berusia 6 tahun mengalami luka parah.

Aparat keamanan pun melakukan penyiksaan terhadap tahanan, seperti yang dialami enam orang asli Papua dari desa Kwiyawagi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan pada 6 April 2023. Satu orang tewas akibat penyiksaan, sementara lima lainnya dibebaskan dua pekan kemudian tanpa tuduhan, namun mengalami kondisi kesehatan yang buruk.

Kasus penyiksaan masih terjadi di Tanah Papua, seperti yang terlihat dalam sebuah video viral pada Maret lalu yang menunjukkan penyiksaan hingga kematian seorang warga Papua setelah diduga terlibat dalam penyerangan terhadap aparat di Kabupaten Puncak, Papua.

“Negara harus hentikan segera siklus pelanggaran HAM di Indonesia. Impunitas pelaku tidak boleh dibiarkan, usut secara tuntas lewat penyelesaian hukum yang adil. Lindungi kebebasan sipil, akhiri represi dan penggunaan kekerasan yang berlebihan,” kata Wirya.

Konflik meningkat, mengancam tatanan hukum internasional

Di tingkat global, Laporan Tahunan Amnesty International menunjukkan bahwa dunia menghadapi dampak serius dari meningkatnya konflik dan menurunnya penghormatan atas hukum internasional. Di sisi lain, kemajuan pesat teknologi kecerdasan buatan (AI), yang dikuasai oleh beberapa perusahaan raksasa (Big Tech), kini meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia (HAM) jika regulasi yang ada tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut.

Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, menyebut situasi HAM saat ini mengingatkannya pada film fiksi ilmiah tahun 1980-an, “Back to the Future.” “Dunia ini seakan melintasi waktu, meluncur mundur melewati janji universal hak asasi manusia tahun 1948, lalu berputar semakin cepat menuju masa depan yang dikuasai oleh raksasa teknologi dan kecerdasan buatan generatif yang tidak diatur,” ujar Callamard dalam laporan tersebut.

Kemunduran HAM itu bisa dilihat dari praktik-praktik otoritarianisme yang telah meresap di banyak pemerintahan dan masyarakat. Dari Amerika Serikat, Polandia, Iran, hingga Afghanistan, kebijakan-kebijakan otoriter merongrong kebebasan berekspresi dan berkumpul, menyerang kesetaraan gender, dan mengikis hak-hak seksual dan reproduksi.

Di berbagai tempat, seperti Inggris, Hungaria, dan India, para pembela hak ekonomi dan sosial menjadi salah satu kelompok aktivis yang paling banyak menjadi sasaran. Aktivis iklim ditandai sebagai “teroris” karena menentang pemerintah yang memperluas produksi dan investasi bahan bakar fosil. Kalangan pengritik pemerintah di Timur Tengah dan serikat pekerja di Asia-Pasifik direpresi dan ditahan secara sewenang-wenang, begitu juga mereka yang memerangi korupsi di Afrika Barat.

Laporan Amnesty juga menyebut bahwa pada tahun 2023, terjadi penyebaran luas pelanggaran hak asasi manusia. Negara dan kelompok bersenjata secara rutin melakukan serangan dan pembunuhan di luar batas hukum seiring dengan eskalasi konflik bersenjata.

Warga sipil dianggap sebagai pihak yang bisa dikorbankan dalam konflik tersebut, yang sebagiannya berkaitan dengan diskriminasi ras dan etnis. Pelanggaran hukum humaniter internasional, yang juga dikenal sebagai hukum perang, telah memiliki dampak yang merugikan bagi warga sipil.

Salah satu contohnya, konflik Israel-Hamas telah membawa situasi HAM kembali mundur puluhan tahun ke belakang. Serangan sporadis Hamas 7 Oktober lalu, yang dibalas oleh pengeboman masif Israel di Gaza hingga akhir 2023 telah merenggut nyawa lebih dari 22.600 warga sipil (sebagian besar warga Palestina di Gaza) dan 1,9 juta lainnya kehilangan tempat tinggal.

Situasi di Gaza kini melambangkan kegagalan moral yang dilakukan oleh banyak arsitek sistem pasca-Perang Dunia Kedua. “Mereka gagal menegakkan komitmen mutlak terhadap universalitas dan kemanusiaan kita bersama, serta komitmen untuk “tidak akan pernah lagi”. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB, Konvensi Jenewa, Konvensi Genosida, dan hukum hak asasi manusia internasional telah diabaikan,” ucap Callamard.

Selain krisis di Timur Tengah, agresi Rusia yang terus berlanjut terhadap Ukraina, meningkatnya jumlah konflik bersenjata, dan pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran yang terjadi di tempat-tempat lain, seperti di Sudan, Etiopia, dan Myanmar, juga menyebabkan tatanan dunia yang berbasis aturan kian terancam.