Pada 16 Juni 2025, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bersama sejumlah peserta Aksi May Day 2025 yang menjadi korban kriminalisasi polisi di Jakarta membuat Laporan Polisi (LP) kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas adanya tindak pidana kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. TAUD turut melaporkan dugaan pelanggaran ke pengawasan internal Polri, yaitu Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik) terkait prosedur penyidikan, dan Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) terkait pelanggaran kode etik. Namun laporan tersebut sejak diterima oleh Bareskrim Mabes Polri malah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Tindakan pelimpahan suatu laporan pidana bukan saja menunjukkan bahwa Bareskrim Mabes Polri tidak profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tapi menjauhkan imparsialitas penanganan laporan dan mematahkan akses terhadap keadilan korban kriminalisasi.
Lebih mendasar dari itu pasca upaya ditempuh oleh TAUD dan para korban, beberapa korban mengalami intimidasi berupa tindakan kekerasan, penguntitan dan ancaman kekerasan fisik. Sejak melaporkan dugaan kriminalisasi, 20 Juni 2025-30 Juli 2025 para korban kriminalisasi telah mengalami 17 aktivitas intimidasi, penguntitan, ancaman dan serangan fisik. Terhadap adanya intimidasi dan tindakan Mabes Polri, kami berpandangan sebagai berikut:
Pertama, pelimpahan LP dan pengaduan oleh Mabes Polri ke Polda Metro Jaya perlu dipandang sebagai bentuk undue delay (tindakan memperlama proses perkara) dan impunitas dalam penegakan hukum terhadap anggota Polri yang melakukan kekerasan dan pelanggaran etik. Sehingga, bertentangan dengan prinsip hak korban untuk mendapatkan keadilan secara efektif dan kewajiban anggota Polri untuk menunjukkan kesungguhan dalam memberikan pelayanan serta bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia dalam UU HAM.
Padahal, terlapor/teradu yang dilakukan oleh TAUD dan sejumlah korban turut diduga melibatkan anggota Polda Metro Jaya. Contohnya, apa yang dilakukan oleh Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya dalam pernyataannya, pertama, menyebut bahwa belum ada penetapan tersangka terhadap 13 orang peserta aksi dan kedua, mangkirnya para korban dalam panggilan tersangka tanpa alasan yang patut dan wajar, yang sebelumnya diberikan alasan penundaan untuk melakukan pemeriksaan psikologis. Hal tersebut merupakan pelanggaran Etika Kemasyarakatan Pejabat Polri sebagaimana Pasal 12 Perpol 7/2022.
Tindakan Kabareskrim, Kadiv Propam, dan Karowassidik juga harus dipandang sebagai tindakan yang tidak profesional dan tidak mematuhi hierarki atasan dalam pelaksanaan kewenangan sehingga melanggar ketentuan etika kelembagaan dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negeri Republik Indonesia.
Kedua, adanya intimidasi yang dialami korban menunjukkan belum adanya perlindungan atas keamanan para korban dan para saksi secara memadai. Padahal, para korban selain melakukan LP dan pengaduan ke pengawas internal Polri, juga telah menempuh pengaduan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kompolnas, Komnas HAM, dan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Hal ini menunjukkan adanya bentuk pengabaian tanggung jawab konstitusional oleh pemerintah dan aparat penegak hukum terhadap pola kekerasan dan intimidasi yang berlanjut—tanpa penyelidikan menyeluruh, akuntabilitas, dan pemulihan korban.
Ketiga, masalah yang dialami oleh para tersangka merupakan bukti nyata adanya permasalahan struktural mengenai hukum acara pidana di Indonesia. Ketidakseimbangan posisi antara warga negara dan negara dalam sistem peradilan pidana serta tidak adanya mekanisme pengawasan yang cukup memadai dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menyebabkan tersangka mengalami kerugian yang berkali-kali dan tidak bisa mendapatkan remedy atau pemulihan terhadap apa yang mereka alami. Rangkaian penyiksaan, ketidakjelasan proses acara pidana, serta ruang-ruang intimidasi yang terjadi tidak akan pernah ditindak sebab tidak ada mekanisme yang dapat memberikan sanksi tegas terhadap pihak yang melanggar maupun konsekuensi terhadap berjalannya perkara. Hal ini menjadi penanda penting dibutuhkannya reformasi hukum acara pidana yang sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Oleh karenanya berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Kami mendesak agar:
- Kapolri untuk melakukan supervisi dan memerintahkan Kabareskrim, Kadiv Propam, dan Karowassidik Mabes Polri untuk menarik kembali pelimpahan LP dan pengaduan dari Polda Metro Jaya;
- Kabareskrim, Kadiv Propam, dan Karowassidik Mabes Polri untuk menindaklanjuti LP dan pengaduan demi menegakkan keadilan bagi korban;
- Kompolnas untuk menindaklanjuti sepenuhnya aduan dan melakukan klarifikasi terhadap pihak-pihak yang terlibat;
- Komnas HAM dan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk memastikan perlindungan dan jaminan penegakan hukum terhadap laporan yang diajukan korban kriminalisasi yang diduga kuat dilakukan aparat polisi;
- LPSK untuk segera memberikan jaminan perlindungan hukum bagi korban kriminalisasi dan mengupayakan pencegahan terhadap intimidasi agar tidak berlanjut.
Jakarta, 5 Agustus 2025
Hormat kami,
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)