Menanggapi rangkaian penggunaan kekuatan berlebih dan kekerasan polisi atas mahasiswa, jurnalis serta petugas medis dalam demo memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei di sejumlah kota, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan:
“Sekali lagi aparat memperlihatkan taktik yang brutal, kejam dan tidak manusiawi terhadap peserta aksi damai Hari Buruh Internasional, yang digelar serentak di sejumlah kota. Ini adalah bukti bahwa pemerintah Indonesia terus melakukan praktik-praktik otoriter dalam membungkam kebebasan berekspresi dan berkumpul di Indonesia.
Pelanggaran HAM serius oleh polisi terlihat di beberapa kota seperti di Jakarta dan Semarang. Di antaranya adalah penggunaan kekuatan berlebihan yang tidak sah oleh polisi, kekerasan fisik serta penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, penangkapan semena-mena, intimidasi, pemeriksaan dan penggeledahan tidak sah, pengerahan polisi berpakaian sipil yang tidak sah, serta serangan terhadap jurnalis dan pekerja medis.
Kekerasan polisi terus berlangsung karena tidak adanya penghukuman yang dilakukan oleh Polri terhadap pelaku maupun mereka-mereka yang berada di level komando dalam kejadian-kejadian sebelumnya. Ini membuat lingkaran impunitas terus mengakar kuat di tubuh Polri.
Polri harus segera berhenti menggunakan taktik-taktik otoriter semacam ini dan melakukan investigasi yang segera dan menyeluruh atas semua tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya selama aksi damai hari Buruh Internasional berlangsung. Mereka-mereka yang ditangkap dan ditahan hanya karena berpartisipasi dalam aksi damai kemarin haruslah segera dibebaskan.
Pemerintah, DPR, Komisi Kepolisian Nasional, dan lembaga-lembaga pengawas lain harus segera mengevaluasi kepemimpinan Kepolisian RI yang berulang kali menjadi alat represi terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul warga negara.
Berulangnya kasus-kasus kekerasan polisi seperti ini menjadi alarm bagi Komisi III DPR untuk segera menggunakan hak angket atau hak interpelasi untuk membuka tabir impunitas di tubuh Polri. Apalagi praktik yang dibiarkan menahun tanpa adanya upaya perbaikan dapat dianggap sebagai kebijakan yang perlu disikapi secara kritis oleh DPR RI.”
Latar belakang
Perayaan Hari Buruh Internasional tahun 2025 yang berlangsung serentak di beberapa kota di Indonesia pada 1 Mei lalu diwarnai dengan penggunaan kekuatan berlebihan dan kekerasan aparat kepolisian terhadap para peserta aksi unjuk rasa dan jurnalis peliput.
Di Jakarta, polisi bertindak represif saat menghadapi aksi protes damai di depan kompleks DPR/MPR Senayan. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan bahwa aparat menghadang dan menggeledah perangkat aksi dan barang pribadi mahasiswa yang melakukan aksi di depan Gedung DPR pada pagi hari. Bahkan terdapat mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok anarko tanpa dasar yang jelas.
Aparat kepolisian membubarkan aksi yang sedang berlangsung tanpa peringatan dan alasan yang sah menurut hukum. Sekitar pukul 17:00 WIB, aparat melakukan penangkapan yang disertai dengan kekerasan untuk membubarkan aksi. Pembubaran dilakukan ketika aksi dan hiburan musik masih berlangsung dengan menggunakan meriam air dan gas air mata.
Data TAUD hingga Jumat siang mengungkapkan setidaknya 14 peserta aksi ditangkap dan digelandang ke Polda Metro Jaya. Empat orang di antara yang ditangkap adalah tim medis dan saat itu sedang menjalankan tugas untuk melaksanakan bantuan medis. Tim medis ini juga mendapat penganiayaan berupa pukulan pada bagian kepala dan leher.
Sejumlah 13 dari 14 orang massa aksi yang ditangkap mengalami luka luar dan lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Para korban mengaku dipukul, dipiting, didorong, ditendang, hingga dilindas oleh kendaraan bermotor. Tiga orang ditemukan tim TAUD menderita luka bocor di kepala akibat kekerasan fisik aparat. Aparat kepolisian juga diduga melakukan pelecehan seksual fisik dan nonfisik kepada salah seorang perempuan dari massa aksi yang ditangkap.
Kekerasan aparat juga menimpa seorang jurnalis dari media progreSIP berinisial Y. Dia ketika itu mendokumentasikan aparat keamanan yang memukul mundur massa aksi pada sore hari. Korban lalu dianiaya oleh sekitar sepuluh orang, yang diduga adalah polisi tak berseragam, yang menuduhnya sebagai “anarko,” padahal korban sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis. Tak hanya menganiaya, mereka juga memaksa korban menghapus rekaman video. Korban mengaku mengalami syok dan sempat sesak napas akibat kekerasan yang dia alami.
Di Semarang, aksi protes dalam rangka Hari Buruh Internasional dipukul mundur polisi dengan tembakan meriam air dan gas air mata, bahkan tembakan gas air mata dilaporkan sampai menyasar ke posko medis, ungkap LBH Semarang. Aparat kepolisian juga melakukan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap massa aksi. LBH Semarang mengungkapkan bahwa hingga Jumat siang, polisi masih menahan setidaknya 14 orang peserta aksi di Polrestabes Semarang.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengungkapkan bahwa seorang jurnalis dari media Tempo, berinisial JAN, menerima dua kali serangan dari aparat saat meliput demonstrasi. Pertama, saat meliput aksi demonstrasi di depan pintu gerbang kantor Gubernur Jawa Tengah pada pukul 17.30 WIB. Dia diintimidasi sekaligus mendapatkan kekerasan berupa leher dipiting lalu hendak dibanting oleh aparat.
Lalu serangan berikut terjadi saat korban meliput pengepungan aparat kepolisian dan preman di depan pintu gerbang utama kampus Undip Pleburan, sekira pukul 20.36 WIB. Korban dan para jurnalis lainnya dituding melakukan perekaman oleh sekelompok orang berpakaian sipil yang diduga polisi. Korban lalu dipukul berkali-kali oleh beberapa orang berpakaian polisi yang diduga polisi kendati dia saat itu sudah dirangkul Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Jawa Tengah.
DS, seorang pimpinan redaksi pers mahasiswa, dilaporkan juga mengalami pemukulan, diduga oleh aparat berpakaian sipil, mengakibatkan luka robek di wajah hingga harus mendapatkan jahitan. DS dipukul saat merekam kekerasan terhadap massa dengan ponselnya, meski telah mengaku sebagai wartawan. Tak hanya itu, empat anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), masing-masing dua anggota LPM Justisia Universitas Islam Negeri (UIN) Semarang dan dua anggota LPM Vokal dari Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) juga diduga mengalami kekerasan.