Putusan MK jadi momentum revisi menyeluruh pasal-pasal bermasalah UU ITE

Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengecualikan lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi dari pihak yang dapat mengadukan pencemaran nama baik, serta menyatakan bahwa keributan/kerusuhan di ruang digital bukan delik pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Putusan MK ini semakin menegaskan bahwa terdapat masalah kronis dalam implementasi UU ITE di masyarakat. Melalui putusan ini, MK telah menjalankan perannya sebagai lembaga yudikatif dengan mengurangi risiko pelanggaran HAM lewat penggunaan sewenang-wenang pasal pencemaran nama baik oleh negara dan korporasi.

Namun ancaman terhadap kebebasan berekspresi akan tetap ada sebelum pemerintah dan DPR merevisi pasal pencemaran nama baik tersebut agar menutup celah bagi siapapun menyalahgunakannya untuk membungkam kritik di masyarakat. Amnesty International menentang undang-undang yang mengkriminalisasi pencemaran nama baik, baik tokoh publik atau pribadi. Masalah tersebut seharusnya diselesaikan melalui gugatan perdata. Lembaga negara sendiri bukanlah suatu entitas yang dilindungi reputasinya oleh hukum hak asasi manusia.

Putusan yang mengecualikan ruang digital sebagai delik pidana dalam UU ITE juga memberikan jaminan kebebasan berekspresi di dunia siber. Patroli siber Polri yang sering menarget ekspresi damai di ruang digital harus segera dihentikan dengan adanya putusan MK ini.

Kebebasan berpendapat adalah hak yang dilindungi baik dalam hukum HAM internasional dan nasional, termasuk UUD 1945. Meskipun kebebasan ini dapat dibatasi untuk melindungi reputasi orang lain, standar HAM internasional menganjurkan agar hal tersebut tidak dilakukan melalui pemidanaan. Pelarangan terhadap himbauan kebencian kebangsaan, ras maupun agama juga diperbolehkan, namun ujaran demikian haruslah dengan jelas menunjukkan maksud untuk memancing orang lain untuk mendiskriminasi, memusuhi atau melakukan kekerasan terhadap kelompok-kelompok tersebut.

Putusan MK ini harus dibaca sebagai momentum bagi negara untuk segera mereformasi kebijakan yang selama ini membungkam kritik. Pemerintah, parlemen, dan aparat penegak hukum memiliki kewajiban konstitusional untuk menindaklanjuti putusan ini dengan mengevaluasi dan merevisi UU ITE secara menyeluruh termasuk pasal-pasal bermasalah lainnya seperti diantarnya ujaran kebencian dan penodaan agama yang sering dijadikan sebagai alat kriminalisasi ekspresi damai baik di ruang fisik maupun digital. Juga aturan-aturan lainnya yang membuka ruang kriminalisasi terhadap ekspresi warga harus dihapus atau diubah agar tidak lagi digunakan sebagai alat pembungkam suara-suara kritis.

Putusan MK ini juga merupakan kesempatan untuk memperbaiki relasi negara dengan warga. Negara harus hadir bukan sebagai pihak yang membungkam, tetapi sebagai pelindung hak-hak warga, termasuk kebebasan berekspresi.

Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019-2024 setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi dengan jerat UU ITE terhadap 563 korban. Pelaku didominasi oleh patroli siber Polri (258 kasus dengan 271 korban) dan laporan Pemerintah Daerah (63 kasus dengan 68 korban).”

Latar belakang

Dalam keterangan di laman resminya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sejumlah putusan penting saat menggelar sidang di Jakarta pada Selasa (29/4).

Salah satunya, mengecualikan institusi pemerintah, korporasi, profesi, dan jabatan dari pihak yang dapat melaporkan dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). MK menyatakan hanya korban individu yang dapat membuat laporan dugaan pencemaran nama baik.

Hal tersebut tertera dalam Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024. Putusan MK itu mengabulkan untuk sebagian terhadap permohonan warga Karimunjawa Kabupaten Jepara bernama Daniel Frits Maurits Tangkilisan dalam uji materiil Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa “orang lain” tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.

Dalam putusan lainnya, yaitu terkait permohonan uji materiil Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), MK menyatakan bahwa kerusuhan atau keributan di ruang digital/siber tidak masuk dalam delik pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024. Permohonan pengujian materi UU ITE ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan perkara tersebut.

MK menyatakan pengaturan tindakan menyebarkan berita bohong dengan menggunakan sarana teknologi informasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di masyarakat, sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah ternyata menciptakan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kerusuhan” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber. (*)