Bebaskan sebelas warga Maba Sangaji dari hukuman penjara

Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji mengecam keras putusan Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, yang hari ini (16/10) menjatuhkan hukuman penjara terhadap sebelas (11) warga masyarakat adat Maba Sangaji dari Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Mereka divonis hanya karena mempertahankan tanah leluhur dan memprotes aktivitas pertambangan nikel oleh PT Position yang telah merusak lingkungan, sumber air, dan ruang hidup masyarakat adat.

Dalam sidang putusan yang digelar hari ini, majelis hakim menjatuhkan hukuman lima (5) bulan dan delapan (8) hari penjara terhadap sepuluh terdakwa: Sahrudin Awat (Udin), Jamaludin Badi (Jamal), Alaudin Salamudin (Udin), Indrasani Ilham (Akes), Salsa Muhammad (Merek), Umar Manado (Umar), Nahrawi Salamudin (Nawi), Julkadri Husen (Jul), Yasir Hi. Samar (Yasir), dan Hamim Djamal. Mereka dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana “perintangan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat,” berdasarkan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Sebelumnya, para terdakwa dijerat pasal berlapis, yakni Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin, serta pasal dalam UU Minerba terkait perintangan kegiatan pertambangan. Tuduhan tersebut dibantah keras oleh para warga dan kuasa hukum karena tidak ada bukti kuat yang menunjukkan adanya kekerasan maupun ancaman terhadap pihak perusahaan.

Dalam sidang terpisah yang digelar pada hari yang sama, majelis hakim juga menjatuhkan hukuman penjara kepada Sahil Abubakar (Ilo) selama lima (5) bulan delapan (8) hari, dan masing-masing dua (2) bulan penjara kepada Indrasani Ilham (Akes), Alaudin Salamudin (Udin), dan Nahrawi Salamudin (Nawi) dengan tuduhan melakukan tindak pidana “perintangan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat.”

Mereka sebelumnya juga didakwa dengan Pasal 368 ayat (1) dan (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang pemerasan, serta Pasal 162 UU Minerba, tuduhan yang dinilai Koalisi mengada-ada dan digunakan untuk membungkam perlawanan masyarakat adat terhadap tambang.

Vonis terhadap masyarakat adat Maba Sangaji ini menambah jumlah serangan atas masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka. Amnesty International Indonesia mencatat, selama periode 2019-2024, terdapat setidaknya serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat di Indonesia, termasuk di antaranya dalam bentuk kriminalisasi maupun intimidasi fisik

Kriminalisasi ini bermula pada 18 Mei 2025, ketika 27 warga Maba Sangaji menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap aktivitas tambang nikel PT Position yang telah menggerogoti hutan adat, mencemari sungai, dan merusak kebun warga. Ritual tersebut merupakan ekspresi budaya dan spiritual masyarakat adat, namun aparat kepolisian justru menangkap seluruh peserta dan membawa mereka ke Direktorat Kriminal Umum Polda Maluku Utara di Ternate.

Polisi menuduh para warga melakukan tindakan “premanisme” dan membawa senjata tajam. Dalam proses interogasi, para warga tidak didampingi penasihat hukum, sidik jari mereka diambil secara paksa, satu orang dipukul, dan dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan. Mereka bahkan dipaksa menjalani tes urin secara non-prosedural. Sehari kemudian, 19 Mei 2025, sebanyak 16 warga dibebaskan, sementara 11 lainnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan hingga akhirnya divonis hari ini.

Koalisi menilai proses hukum ini penuh kejanggalan dan bentuk nyata kriminalisasi terhadap rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya. Negara justru berdiri di pihak perusahaan, menggunakan hukum sebagai alat untuk menindas warga yang menolak tambang. Vonis terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji menjadi simbol betapa jauh keadilan berpihak pada modal, bukan pada manusia dan lingkungan.

Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, hutan, sungai, dan tanah bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup. Dengan demikian, protes terhadap tambang adalah bentuk pembelaan terhadap kehidupan, bukan tindakan kriminal. Namun hari ini, pengadilan justru mengirimkan pesan sebaliknya, bahwa menjaga alam dianggap kejahatan, sementara merusaknya dibenarkan atas nama pembangunan.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menegaskan bahwa Pasal 162 UU Minerba yang digunakan untuk menjerat warga adat telah lama dikritik karena bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia. Pasal ini mengkriminalisasi masyarakat yang menolak tambang dan menghalangi mereka mengekspresikan haknya untuk menyampaikan pendapat secara damai. Vonis di PN Soasio hari ini menunjukkan bahwa pasal ini masih menjadi senjata untuk membungkam suara-suara kritis rakyat terhadap kepentingan korporasi tambang yang dibela negara.

Hukuman yang dijatuhkan hari ini bukan hanya ketidakadilan bagi sebelas warga Maba Sangaji, tetapi juga tamparan bagi kemanusiaan di Indonesia. Negara seharusnya melindungi, bukan menghukum rakyat yang menjaga hutan dan air di wilayah mereka.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi lingkungan, advokasi hukum dan HAM, serta pembela hak masyarakat adat menuntut:

  • Pembebasan tanpa syarat bagi seluruh warga adat Maba Sangaji dari segala bentuk hukuman dan tuduhan pidana.
  • Pemulihan nama baik dan hak-hak hukum sebelas warga yang dikriminalisasi.
  • Penghentian segala bentuk intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan tanah dan lingkungannya.
  • Peninjauan kembali Pasal 162 UU Minerba yang terbukti menjadi alat represi terhadap kebebasan berekspresi.
  • Tanggung jawab negara dan perusahaan tambang untuk memulihkan kerusakan lingkungan dan menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat Maba Sangaji.

Jakarta, 16 Oktober 2025

Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji