Bebaskan empat aktivis politik Papua di Sorong yang ditangkap atas tuduhan makar

Menanggapi penangkapan dan penetapan tersangka kasus makar atas empat aktivis politik anggota Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) oleh Kepolisian di Kota Sorong dan jatuhnya korban sipil dalam kekerasan bersenjata di Intan Jaya, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan:

“Kriminalisasi empat aktivis politik Papua tersebut menunjukkan negara terus merepresi hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul orang asli Papua. Mereka ditangkap hanya karena menyampaikan aspirasi politik secara damai dengan mendatangi kantor-kantor pemerintah Papua Barat Daya tanpa penggunaan kekerasan.

Ekspresi damai dijamin oleh Konstitusi dan bukanlah merupakan tindak pidana. Aspirasi politik damai juga bukan merupakan ujaran kebencian sebagaimana dituduhkan oleh polisi. Aparat hukum juga kembali menggunakan tuduhan makar untuk membungkam ekspresi politik orang Papua, padahal mereka seharusnya paham bahwa ekspresi tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28E.

Kepolisian di Kota Sorong harus segera membebaskan empat orang tersebut tanpa syarat. Setiap warga negara, termasuk orang Asli Papua, tidak boleh dikriminalisasi hanya karena mengungkapkan pendapat atau mengajukan tuntutan politik yang sah, termasuk menyuarakan kekecewaan kepada negara terkait konflik di wilayah mereka.

Tidak hanya itu, kami juga mengecam adanya korban jiwa dan luka-luka dari warga sipil, serta ratusan orang mengungsi, setelah operasi yang dilakukan oleh aparat keamanan di Intan Jaya pada 13 Mei 2025. Harus ada investigasi yang mendalam atas jatuhnya korban sipil dalam insiden tersebut. Begitu pula harus ada refleksi tajam atas penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua yang selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban, baik Orang Asli Papua, non-Papua, termasuk aparat keamanan sendiri.”

Latar belakang

Kepala Kepolisian Resor Sorong Kota, Papua Barat Daya, pada 5 Mei lalu mengumumkan penangkapan dan penetapan tersangka kasus makar atas empat orang berinisial AGG, PR, MS, dan NM. Mereka diketahui sebagai pengurus Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB).

Laporan media menyebut para tersangka diduga mendatangi Kantor Wali Kota Sorong, Kantor Gubernur Papua Barat Daya, Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, Ditpolairud Polda Papua Barat Daya, serta Polresta Sorong Kota pada 14 April lalu untuk menyampaikan surat dari presiden NRFPB terkait ajakan perundingan damai. Dalam kunjungan itu, mereka juga diduga menyerukan ‘Papua merdeka.’

Kepolisian juga telah memeriksa lima saksi dan mengamankan 18 dokumen terkait organisasi NFRPB, termasuk pakaian dinas menyerupai atribut kepolisian dan militer, serta identitas keanggotaan organisasi.

Empat tersangka dijerat dengan pasal-pasal makar dan ujaran kebencian, yaitu pasal 106 KUHP Junto Pasal 187 KUHP junto Pasal 53 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 45 Huruf A ayat (2) junto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 dan atau Junto Pasal 56 ayat (1 )ke 1 KUHP. Atas jeratan pasal-pasal itu, para tersangka terancam hukuman 20 tahun penjara atau bahkan penjara seumur hidup.

Sedangkan terkait kekerasan terkini di Tanah Papua, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mendapat laporan dari pihak Gereja Kemah Injil bahwa telah terjadi operasi militer pada Selasa dini hari, 13 Mei 2025, di tiga kampung di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah. Operasi militer itu disebut menyasar perkampungan masyarakat sipil dan berdampak pada adanya korban jiwa dan luka-luka di antara warga.

Setidaknya tiga warga sipil dilaporkan meninggal dunia. Selain itu seorang anak kecil berusia tujuh tahun dan seorang perempuan dewasa menderita luka-luka akibat terkena serpihan peluru. Lalu sebanyak 950 warga jemaat dari 13 gereja dilaporkan telah mengungsi sesaat setelah terjadi penembakan.

Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun tentang status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, menurut kami, kebebasan berekspresi termasuk hak untuk secara damai mengekspresikan pandangan atau solusi politik seseorang.