Bebaskan 11 orang masyarakat adat pemrotes tambang nikel di Halmahera Timur

Menanggapi penangkapan aparat terhadap warga masyarakat adat Halmahera Timur, Maluku Utara, yang menolak kegiatan tambang nikel, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Penangkapan warga masyarakat adat yang menolak tambang terlihat sebagai bagian dari upaya menekan kritik atas kebijakan ekstraktif yang tidak ramah lingkungan. Cara ini melemahkan peran masyarakat adat dalam menjaga lingkungan dan membela tanah ulayat mereka.

Mereka tidak diajak konsultasi awal sebelum negara melaksanakan proyek pembangunan, termasuk tambang, yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Belum lagi dampak negatif operasi tambang di wilayah mereka, seperti masalah kesehatan, kehilangan akses air bersih karena sungai tercemar, dan kehilangan mata pencaharian.

Menolak tambang bukan kriminal. Membela tanah, hutan, dan sumber kehidupan dari eksploitasi adalah hak dasar masyarakat adat yang dijamin oleh Konstitusi dan hukum internasional. Itu sebabnya para mahasiswa hari ini menduduki Polda Maluku Utara untuk menuntut pembebasan mereka.

Jajaran Kepolisian Daerah Maluku Utara harus segera dan tanpa syarat memulangkan semua warga adat yang ditangkap. Pihak berwenang juga harus menghentikan semua kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi atas masyarakat adat Halmahera Timur.

Pemerintah pusat dan daerah juga harus menjamin perlindungan atas hak masyarakat adat atas tanah, budaya, dan sumber daya alamnya.

Negara harus menyelesaikan konflik yang melibatkan korporasi dengan adil, partisipatif dan tuntas, tanpa kekerasan dan paksaan. Pemerintah pun harus tegas dan aktif untuk menghentikan pelanggaran HAM dan mengevaluasi izin tambang yang merusak wilayah adat.

Penyalahgunaan sistem hukum pidana untuk mengkriminalisasi dan merepresi masyarakat mencapai level yang sangat menghawatirkan di Indonesia. Dari total 88 pembela HAM yang menjadi korban serangan selama Januari-Mei 2025, ada 40 orang di antaranya yang merupakan warga masyarakat adat. Angka ini telah melebihi jumlah masyarakat adat yang mendapat serangan selama 2024 yaitu 22 orang masyarakat adat dari total 287 pembela HAM yang mengalami serangan di tahun tersebut.

Jelas negara gagal melindungi pembela HAM di Indonesia. Namun, jauh dari upaya negara untuk mengatasi dan mencegah serangan ini, aparat penegak hukum malah terus memilih pendekatan represif, bukan persuasif, termasuk stigmatisasi masyarakat adat sebagai ‘preman’. Penggunaan kekuatan berlebihan terhadap sekitar 300 anggota masyarakat adat yang melakukan aksi damai menolak tambang di Halmahera Timur sulit dibenarkan. Aparat harus mendengarkan aspirasi mereka bukan malah meresponnya secara berlebihan dengan menembakkan gas air mata.

Tidak hanya kerusakan lingkungan, hak-hak masyarakat adat juga terlanggar oleh kebijakan ekstraktif pemerintah. Mereka harus kehilangan tanah akibat perampasan lahan yang sering dilakukan oleh korporasi dengan bantuan penegak hukum.”

Latar belakang

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkapkan terjadi rangkaian serangan dari aparat kepolisian berupa kekerasan fisik, penembakan gas air mata, pemanggilan polisi, penangkapan, hingga kriminalisasi dalam waktu yang berdekatan terhadap masyakat adat di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yang menolak aktivitas pertambangan nikel oleh pihak korporasi di wilayah adat mereka.

Salah satunya terjadi pada 28 April 2025 saat sekitar 300 warga Desa Wayamli dan Yawanli dari Kecamatan Maba Tengah berjalan menuju kantor perwakilan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Desa Baburino, Maba, untuk berunjuk rasa menuntut penghentian aktivitas pertambangan nikel STS di tanah adat mereka karena merusak lingkungan dan menuntut pemulihan hak-hak warga.

Namun mereka dihadang oleh puluhan personel Polres Halmahera Timur dengan dukungan 20-30 anggota Brimob. Setelah terlibat adu mulut dan saling dorong dengan aparat kepolisian, sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob melepaskan tembakan gas air mata ke kerumunan warga sebanyak 10 kali tanpa peringatan terlebih dahulu. 

Sedikitnya tiga warga mengalami luka-luka, ada yang terkena tiga tembakan di bahu dan lengan atas, ada yang terkena tembakan di kaki dan seorang lagi luka-luka di jemari tangan. Penembakan gas air mata tersebut juga menyebabkan trauma psikologis bagi ibu-ibu dan anak-anak yang ikut dalam aksi, yang sebelumnya belum pernah mengalami kekerasan seperti ini. 

Sebelumnya, pada 26 April 2025, polisi juga merepresi warga Desa Wayamli. Warga dipaksa pulang, bahkan sampai ada yang diborgol polisi, saat sedang berjaga di lokasi wilayah adat mereka yang telah digusur PT STS.

Lalu pada 10 Mei 2025, 14 warga yang tersebar di Desa Yawanli, Babasaram, Beringin Lamo, dan Desa Wayamli, Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, menerima surat panggilan dari Polda Maluku Utara. Mereka dimintai klarifikasi atas laporan dari PT STS yang menuduh warga melakukan tindak pidana membawa senjata tajam, penghasutan, perampasan, dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan ketika melakukan aksi pada 21 April 2025. Para warga saat itu menuntut penghentian operasi tambang perusahaan yang diduga telah menyerobot lebih dari 25 hektare lahan adat Wayamli dan merusak lingkungan. 

Tindakan represif berikutnya terjadi pada 16 Mei 2025, saat polisi menangkap 27 warga Maba Sangaji yang sehari sebelumnya berangkat ke lokasi penambangan PT Position di Hutan Maba Sangaji untuk melakukan protes atas aktivitas tambang nikel yang merusak Hutan Adat Maba Sangaji dan Sungai Sangaji di Kabupaten Halmahera Timur.

Mereka lalu ditahan di Markas Polda Maluku Utara di Ternate. Polda Maluku Utara mengklaim para warga saat itu membawa senjata tajam dan melakukan tindakan premanisme.

Tiga hari kemudian,19 Mei, dari 27 orang yang ditangkap, 11 warga di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Laporan media menyebut, para tersangka dijerat dengan sejumlah pasal. Di antaranya, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang membawa senjata tajam tanpa izin. Lalu,Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara karena merintangi kegiatan pertambangan yang telah berizin dengan ancaman pidana penjara 1 tahun. Selanjutnya, tersangka juga dijerat Pasal 368 ayat (1)  juncto Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena diduga memeras dan mengancam.

Rentetan peristiwa tersebut menambah jumlah serangan atas masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka oleh aparat penegak hukum. Amnesty International Indonesia mencatat, selama periode 2019-2024, terdapat setidaknya 16 kasus serangan terhadap 111 korban dari masyarakat adat di Indonesia.