Bolehkah negara “mengesampingkan” HAM di Papua untuk sementara?

Baru-baru ini, setidaknya lima anggota TNI tewas diduga akibat baku tembak dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). 

Apakah HAM hanya berlaku untuk masyarakat? Gimana dengan aparat keamanan?

Setiap orang, tak terkecuali aparat keamanan, berhak dihormati, dilindungi, dan dipenuhi hak asasinya.

Hak asasi manusia melekat pada siapa pun. Jika terjadi pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penyiksaan, dan perlakuan buruk yang tidak manusiawi terhadap siapa pun, terlepas dari jabatan maupun status sosialnya, harus diadili dengan segera melalui peradilan yang adil, independen dan efektif.

Negara, melalui aparatnya, punya peran sebagai pemangku kewajiban yang wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM setiap orang sebagai pemegang hak. 

Maka, selain memiliki hak yang sama, aparat keamanan juga punya kewajiban menghormati dan melindungi HAM. Ini termasuk mencegah kekerasan dan tidak menggunakan kekuatan berlebihan yang bisa membahayakan warga.

Negara punya mekanisme hukum berdasarkan Undang-Undang untuk melakukan investigasi dan mengadili mereka yang terbukti bersalah. Negara, dengan segala wewenangnya untuk menegakkan hukum, wajib melindungi warga dari kekerasan, dan mencegah terjadinya lebih banyak kekerasan dan berulangnya pelanggaran HAM. 

Kalau aparat berada dalam situasi bahaya seperti baku tembak, apakah mereka tidak boleh melawan?

Saat bertugas, aparat keamanan sangat berhak untuk melindungi diri demi keselamatan mereka. Namun, yang perlu diingat penggunaan kekuatan untuk perlindungan diri harus memenuhi ketentuan yang diatur secara ketat secara hukum dan prinsip hak asasi manusia internasional.

Dalam upaya penegakan hukum dan keamanan, perlu diingat bahwa prinsip melindungi kehidupan dan menghormati HAM harus jadi landasan aparat keamanan dalam bertugas. Setiap penggunaan kekuatan seperti penggunaan senjata api oleh aparat keamanan wajib mengikuti prinsip-prinsip HAM internasional.

Ada setidaknya dua standar internasional yang mengatur penggunaan kekuatan:

  1. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 tentang Prinsip-prinsip Penegakan Hukum (Code of Conduct Law Enforcement/CCLEO).
  2. Prinsip Dasar PBB dalam Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (UN Basic Principles on The Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials/BPUFF) mengatur penggunaan senjata api sebagai alternatif terakhir untuk melindungi nyawa manusia. Penggunaannya pun harus bisa diuji legalitas, keperluan, proporsionalitas, dan pertanggungjawabannya.

Menurut dua standar internasional tersebut, ada empat prinsip yang harus diikuti aparat dalam menggunakan kekuatan:

  1. Asas Legalitas

Aparat hanya boleh menggunakan kekuatan jika tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan hukum.

  1. Asas Nesesitas/Keperluan

Aparat harus menimbang apakah penggunaan kekuatan benar-benar diperlukan, dan apakah ada metode alternatif lain yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan yang sama.

  1. Asas Proporsionalitas

Saat penggunaan kekuatan tidak dapat dihindari, kekuatan yang dilakukan oleh aparat harus proporsional dengan tingkat ancaman.

  1. Asas Akuntabilitas

Pemerintah dan institusi penegakan hukum harus menetapkan prosedur yang jelas untuk penggunaan kekuatan oleh aparat, termasuk pertanggungjawaban saat prosedur tersebut tidak diikuti.

Senjata api hanya dapat ditembakkan ke terduga pelaku kekerasan jika pemberitahuan lisan dan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi telah dilakukan, namun ancaman bahaya tidak kunjung mereda.

Jika harus melumpuhkan ancaman berupa pelaku serangan yang berniat kabur atau menyerang orang lain, tembakan pun dianjurkan menarget bagian tubuh yang tidak menimbulkan akibat fatal atau kematian.

Saat ancaman sudah dinetralkan, aparat tetap harus mengutamakan prosedur hukum yang ada dan menghormati HAM sesuai prinsip-prinsip peradilan yang adil.

Namun, perlu diingat bahwa situasi konflik berkepanjangan di Papua disebabkan oleh siklus kekerasan yang berkelanjutan. Riset LIPI tahun 2011 menemukan empat akar konflik di Papua: kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua. Oleh karena itu, siklus kekerasan harus diakhiri. Penggunaan kekuatan hanya boleh dilakukan sebagai pilihan terakhir untuk tujuan melindungi nyawa.

Kenapa penggunaan kekerasan oleh aparat kepolisian dan militer untuk menyelesaikan konflik di Papua tidak akan menyelesaikan masalah?

Jika negara masih mengedepankan pendekatan kekerasan dan militeristik untuk menyelesaikan konflik di Papua secara umum, maka korban penyiksaan, perlakuan buruk, hingga pembunuhan bisa semakin banyak.

Kekerasan, apa pun bentuknya dan siapa pun pelakunya, adalah pelanggaran HAM. Siapa pun, baik TNI, kelompok pro-kemerdekaan, maupun warga sipil tidak seharusnya menggunakan kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik.

Sejak 2018 hingga 2022, Amnesty International mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil. 

Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.

Sampai sekarang, tidak ada kasus pembunuhan di luar hukum akibat penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat yang diusut tuntas dengan mekanisme independen yang efektif dan imparsial. Akibatnya, korban jadi sulit dapat keadilan, kebenaran, dan pemulihan. Jaminan ketidakberulangan pelanggaran HAM pun nihil.

Selain itu, penambahan pasukan militer juga menyebabkan warga setempat ketakutan dan mengungsi. Misalnya, pengungsi di Nduga yang hidup dalam kondisi tidak manusiawi. Mereka jadi tidak bisa sekolah, sulit mengakses layanan kesehatan, dan lain-lain. Kondisi ini menimbulkan trauma dan ketakutan yang tak berkesudahan.

Satu nyawa yang tewas akibat kekerasan sudah terlalu banyak. Satu kehidupan yang dirusak akibat trauma dan ketakutan sudah terlalu banyak. Siklus kekerasan yang terus berlangsung akibat trauma kekerasan di masa lalu dan kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung dapat keadilan harus diputus sekarang.

Lalu, apa solusi yang lebih baik untuk memutus siklus kekerasan di Papua?

Kekerasan dan pembunuhan terhadap siapa pun tidak bisa dibenarkan dan jelas merupakan pelanggaran HAM. Siapa pun pelakunya, baik aparat keamanan, kelompok pro-kemerdekaan, maupun warga sipil yang terbukti melanggar HAM harus diadili berdasarkan bukti yang cukup dalam pengadilan pidana yang terbuka, efektif, dan independen.

Alih-alih meneruskan pendekatan keamanan yang selama ini tidak pernah berhasil menyelesaikan konflik di Papua, seharusnya negara menyelesaikan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang pernah terjadi sebelumnya secara adil, dan menjamin pelanggaran HAM tidak berulang.

Selama ini, ketidakadilan dan pelanggaran HAM adalah alasan mengapa protes dan konflik masih terus terjadi. Jika ada pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM, korban bisa dapat keadilan, kebenaran, dan pemulihan atas penderitaan yang telah mereka alami. Selain itu, kepercayaan publik terhadap komitmen penegakan HAM oleh negara pun bisa dipulihkan. Keadilan atas kasus pelanggaran HAM dapat mencegah lebih banyak kekerasan, sehingga lebih efektif menyelesaikan konflik.