Tetapkan anggota dewan pengurus baru, Rapat Umum Tahunan 2025 Amnesty International Indonesia serukan perlawanan atas praktik-praktik otoriter

Otoritarianisme, militerisme, dan melemahnya kontrol sipil telah berimplikasi serius pada hak-hak asasi manusia baik hak-hak sipil politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, kata Amnesty International Indonesia saat menggelar Rapat Umum Tahunan 2025 pada 18-19 Juni di Jakarta.

Rapat Tahunan tersebut dihadiri berbagai wakil dan anggota yang tersebar di 22 provinsi dan universitas baik negeri maupun swasta. Rapat yang juga mengesahkan dua anggota dewan pengurus baru tersebut kembali menegaskan pentingnya gerakan akar rumput dan pelibatan kaum muda untuk melawan praktik-praktik otoriter.

Sebanyak 25 anggota awal beserta lima anggota dewan pengurus aktif berpartisipasi dalam musyawarah tahunan anggota tersebut sebagai wujud nyata partisipasi masyarakat dalam gerakan hak asasi manusia Amnesty International di Indonesia.

Amnesty International Indonesia menggelar rapat umum tahunan anggota 2025 di tengah meningkatnya tekanan atas ruang-ruang sipil akibat maraknya penggunaan praktik-praktik otoriter di Indonesia, termasuk proyek pembangunan yang tanpa partisipasi rakyat, kata Ketua Dewan Pengurus Marzuki Darusman.

“Aksi damai dibungkam, jurnalis diintimidasi, dan impunitas masih menjadi norma. Di Papua, pelanggaran HAM masih terjadi. Penuntasan kasus masa lalu seperti tragedi 1965, pembunuhan Munir, atau kekerasan 1998 masih stagnan,” kata Marzuki.

Di tengah kenyataan-kenyataan tersebut, Marzuki menegaskan bahwa kehadiran Amnesty Indonesia kini bukan hanya penting, tetapi mendesak.

Maka, Amnesty Indonesia dituntut berperan lebih signifikan sebagai penghubung solidaritas, dari komunitas lokal yang mencari keadilan, menuju panggung internasional yang lebih luas.

“Dan kita tahu, satu-satunya cara melawan otoritarianisme adalah dengan mempererat barisan masyarakat sipil,” kata Marzuki.

Marzuki pun berharap kepada seluruh anggota awal AII untuk meningkatkan kiprah mereka sebagai penjaga nilai, pembawa semangat, sekaligus pencetak arah masa depan Amnesty Indonesia.

“Kami harap Anda menjadi motor penggerak di komunitas masing-masing. Kita ingin tumbuh dari 25 menjadi ribuan anggota, tanpa kehilangan integritas dan semangat awal kita,” lanjutnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga mengingatkan bahwa dalam setahun terakhir, tantangan HAM di Indonesia menjadi semakin berat.

“Ke depan, implikasi serius pada hak sipil dan politik terlihat dari bagaimana Presiden Prabowo terus memakai gaya populisme otoriter melalui retorika ultranasionalisme yang memecah belah, yaitu retorika ‘kita versus mereka,’ menyerang kredibilitas lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan tuduhan membawa kepentingan asing dan misi adu domba. Lalu DPR RI mengesahkan legislasi yang memperluas peran militer dalam pemerintahan, penegakan hukum, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat, sementara aparat militer dan kepolisian di tingkat bawah terus memakai taktik represif menghadapi kritik dan protes masyarakat, termasuk penangkapan tiga mahasiswa yang aksi damai menyambut kunjungan Wakil Presiden di Blitar pada Rabu (18/6),” kata Usman saat membacakan Laporan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Di sisi lain, ada pula penggerusan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, seperti yang dipersoalkan Mama Yasinta dan masyarakat adat Merauke dalam Aksi Kamisan hari ini (19/6). Presiden dan DPR saat ini masih melanjutkan kebijakan pembangunan otoriter, yakni pembangunan proyek-proyek strategis nasional yang tanpa melalui konsultasi masyarakat yang bermakna.

Menurut Usman, implikasi dari dua sisi kemunduran HAM ini sangat serius. Bukan saja masyarakat mengalami kesulitan untuk berpartisipasi, tapi para pembela HAM, termasuk tokoh adat, jurnalis dan aktivis, yang menyuarakan pentingnya kebebasan sipil, anti korupsi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan hidup, terus menghadapi ancaman, kekerasan, hingga kriminalisasi.

“Di Papua, penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum masih berlangsung tanpa pertanggungjawaban. Sementara itu, pengawasan digital yang tidak sah dan penggunaan teknologi pengintai tanpa transparansi juga menjadi ancaman baru terhadap hak atas privasi warga negara,” kata Usman.

Penambahan anggota dewan pengurus Amnesty International Indonesia

Sementara itu, Amnesty International Indonesia kini diperkuat dengan dua anggota dewan pengurus yang baru periode 2025-2026, yang dipilih dan disepakati oleh Rapat Umum Tahunan Anggota. Mereka adalah dua anggota awal Amnesty, yaitu Damar Juniarto dan Firda Amalia Putri.

Damar dikenal sebagai pendiri dan mantan Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi nirlaba yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara.

Damar melihat peran dan tantangan yang dihadapi Amnesty akan semakin besar. “Ini adalah tahun yang penting bagi ke depan. Memang ada yang mengatakan ini tahun mengerikan, namun juga ini bisa kita lihat sebagai kesempatan untuk menguatkan gerakan HAM di Indonesia,” ujar Damar.

Sedangkan Firda, mewakili gerakan muda Amnesty International, sebelumnya dikenal aktif sebagai pengurus Amnesty International Indonesia Chapter Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan saat ini menjadi Asisten Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.

Firda mengutarakan apresiasi kepada sesama anggota Amnesty yang memberinya kepercayaan untuk terlibat di dewan pengurus.

“Apresiasi kepada Amnesty karena memberi peluang kepada kalangan muda untuk bergabung menjadi anggota dewan pengurus,” katanya.

Pengangkatan Damar dan Firda melengkapi lima anggota dewan yang sebelumnya telah terpilih, yaitu Marzuki Darusman, Ita Fatia Nadia, Abdi Suryaningati, Ade Cahyadi, dan Sulistyowati Irianto.

Tentang Amnesty International Indonesia:
Amnesty International Indonesia berdiri sejak 2017 dan merupakan bagian dari gerakan global Amnesty International, yang didukung lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia dan berkomitmen untuk membela dan mempromosikan hak asasi manusia. Amnesty bekerja secara independen dari pemerintah, ideologi politik, kepentingan ekonomi maupun agama, serta dibiayai secara khusus dari keanggotaan dan donasi masyarakat.