Refleksi dan Proyeksi HAM: Pilpres 2024, momen pertaruhan eksistensial hak asasi manusia Indonesia 

Pemilihan Umum 2024 adalah momen pertaruhan eksistensial hak asasi manusia di Indonesia, dan karena itu jatuhnya kondisi hak asasi manusia selama ini harus dibangkitkan, kata Amnesty International Indonesia hari ini dalam pernyataan awal tahun 2024. 

Wajah hak asasi manusia Indonesia suram dalam dasawarsa terakhir. Indonesia bukan hanya tidak serius menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, tetapi bahkan ikut melanggengkan impunitas dan menghadapi kemungkinan besar naiknya seorang terduga pelanggar berat HAM sebagai presiden mendatang.    

“Meskipun demikian Indonesia tetap wajib menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu tersebut karena kejahatan itu tidak mengenal statuta daluwarsa”

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia

Di luar negeri, Indonesia hanya berperan minim dalam menyikapi krisis hak asasi manusia global seperti di Gaza, Ukraina, dan Myanmar karena belum meratifikasi konvensi tentang Apartheid (1973), Genosida (1948), Pengungsi (1951), dan Statuta Roma (1998). 

Kebebasan sipil Indonesia mengalami langit mendung krisis hak asasi manusia. Tahun 2023 menjadi tahun tertinggi serangan terhadap pembela hak-hak asasi manusia, perempuan, lingkungan, dan masyarakat adat. Mereka seperti dianggap menghambat pembangunan. 

“Menjelang Pemilu, Amnesty mendesak pihak berwenang untuk tidak semakin menyusutkan ruang warga untuk kritik, oposisi, dan protes sebagai ekspresi mengawasi negara. Ini termasuk menolak proyek pembangunan tanpa konsultasi dengan masyarakat terdampak,” ujar Usman.  

Langit mendung kebebasan sipil 

Saat ini Amnesty mencatat, setidaknya ada 95 serangan terhadap pembela HAM di tahun 2023 dengan total jumlah korban sebanyak 268 orang, naik 63 persen dibanding tahun sebelumnya (168), dan menjadi tertinggi sejak tahun 2019.  

Ada 128 orang mengalami penangkapan, 96 mengalami intimidasi serangan fisik, dan 41 mengalami kriminalisasi.  Sasaran terbanyak pada tahun 2023 adalah aktivis Papua (103), jurnalis (89), petani (31) dan masyarakat adat (24).  

Amnesty menilai, pelanggaran HAM terkait konflik agraria yang tidak terselesaikan dalam waktu panjang, telah menelan kerugian materi dan korban jiwa. Di antara korban konflik agraria adalah masyarakat adat yang mengalami kematian perdata akibat ketiadaan akses identitas hukum seperti kartu tanda penduduk, akta kelahiran, sertifikat tanah dan akses perbankan.  

Banyak dari kasus serangan terhadap pembela HAM terjadi akibat proyek pembangunan yang tanpa partisipasi dan konsultasi bermakna seperti di Maluku, Kalimantan, dan Papua.  

Di Maluku, pada Mei 2023, Polsek Wasile Selatan memproses hukum empat pegiat masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin di Halmahera Timur, Maluku Utara. Polisi menuduh mereka merintangi pembangunan pertambangan. Kasus serupa terjadi di Pulau Galang, Rempang (Kepulauan Riau), Seruyan (Kalimantan Tengah), Air Bangis (Sumatera Barat) hingga Wadas (Jawa Tengah).  

“Kita menyaksikan pembangunan dilakukan tanpa konsultasi dan persetujuan dari mereka yang terdampak langsung, dan ketika mereka yang terdampak menolak, hak mereka justru diinjak-injak. Jaminan HAM dicederai oleh pembuatan undang-undang dan kebijakan yang seolah-olah sah padahal tanpa konsultasi bermakna,” sebut Usman.  

Kebebasan di Papua dan Maluku dibungkam tuduhan makar 

Di timur Indonesia, pihak berwenang masih menerapkan pasal-pasal makar untuk menyikapi perbedaan pandangan politik meskipun diekspresikan secara damai. Amnesty mencatat, ada 86 orang di Papua dan Maluku dikriminalisasi dengan tuduhan makar sepanjang tahun 2020-2023.  

Setahun terakhir, paling tidak ada tiga aktivis Papua dan satu aktivis Maluku dipenjara dengan tuduhan makar. Ketiga aktivis asal Papua masih menjalani sidang di PN Sorong, usai ditangkap pada 9 Juni 2023. Aktivis asal Maluku telah divonis dua tahun penjara oleh PN Masohi pada 11 Desember 2023. 

“Di Maluku, bendera dipakai untuk protes pemasangan tapal batas sepihak di Negeri Piliana oleh Dinas Kehutanan Maluku dan Balai Taman Nasional Manusela. Keliru jika pendapat pro-kemerdekaan diberi label separatisme atau kriminal politik tanpa melihat unsur kebudayaan di dalamnya. Sikap politik, meski melalui bendera pro-kemerdekaan, wajib dilindungi negara.”  

Kebebasan di internet: Pasal bermasalah yang merepresi kritik damai dipertahankan  

Selain serangan fisik di dunia nyata, Amnesty mencatat serangan digital di dunia maya melalui peretasan dan doxxing terhadap pembela HAM. Sepanjang tahun 2023, Amnesty mencatat 16 serangan dengan peretasan media massa yang meningkat (delapan kasus).  

Selain serangan digital, ada 49 serangan melalui penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak berekspresi selama 2023 dengan jumlah korban 55 orang, termasuk yang berlatar belakang pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan akademisi, menjadi tersangka pencemaran nama baik.  

“Sebagian besar akibat patroli siber Polri. Jumlah ini hanyalah sebagian kecil dari 536 korban UU ITE selama lima tahun terakhir. Yang terbaru adalah kasus kriminalisasi pembela lingkungan dari Karimunjawa Daniel Frits Maurits yang ditahan kejaksaan baru-baru ini,” 

“Celakanya, kasus-kasus ini terjadi meski UU ITE sudah direvisi dua kali. Revisi terakhir, pada 5 Desember, dilakukan tergesa-gesa, tertutup, minim partisipasi dan berpotensi mempersempit ruang kebebasan sipil. Pasal-pasal bermasalah seperti Pasal 27 dan 28 dipertahankan. Padahal itu sering dipakai membungkam protes damai dan perbedaan pendapat.” 

Koalisi Masyarakat Sipil yang mendorong Revisi UU ITE mencatat, dari 14 kali rapat panitia kerja (Panja) Komisi I DPR RI, hanya beberapa yang diumumkan ke publik dengan risalah rapat, berisi siapa yang rapat, dan tanpa menyertakan isi RUU yang memang tak pernah diumumkan.  

“Walau sudah dua kali revisi, undang-undang ini tetap berpotensi membungkam suara-suara kritis terhadap pejabat dan kebijakan. Lihat saja kasus-kasus kriminalisasi yang masih marak,”  

Pelanggaran HAM Terkait Pemilu 2024 

Dalam konteks pemilu dan non-pemilu, negara wajib melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui hak asasi manusia yang dijamin dalam hukum dan standar internasional. Lebih jauh, ketentuan Pasal 28I ayat (4) menegaskan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah.”  

“Jadi, perlindungan HAM bukan isu lima tahunan saat Pemilu. Sebab realitasnya pelanggaran HAM ada di setiap tahun, sebagian besar terjadi tanpa ada pertanggungjawaban negara.”

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia

Amnesty mencatat, dari seluruh kasus yang dipantau, termasuk masalah akuntabilitas aparat keamanan, ada kasus-kasus terkait kontestasi Pemilu 2024. Antara lain, kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap Butet Kartaredjasa yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penghinaan presiden saat sedang berkampanye untuk salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Selain itu ada Aiman Witjaksono yang juga dilaporkan ke polisi karena pernyataannya mengenai netralitas aparat hukum saat pemilu. Bentuk intimidasi yang dialami oleh Butet dan Aiman dan sejumlah orang yang berbeda pandangan politik saat pemilu tidak seharusnya terjadi.   

Amnesty juga menyayangkan keterlibatan beberapa terduga pelanggar HAM dalam proses Pemilu 2024, termasuk terduga pelaku pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Amnesty mengingatkan bahwa negara wajib menginvestigasi seluruh dugaan pelanggaran HAM, mengadili para terduga pelaku melalui mekanisme peradilan yang adil dan tanpa kemungkinan hukuman mati, memenuhi hak-hak korban, dan menjamin ketidakberulangan. 

Amnesty juga mencatat bahwa sejumlah pejabat publik diduga melanggar hak atas jaminan sosial saat distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Beberapa pejabat publik dan akun media sosial resmi kenegaraan mengesankan seolah-olah BLT merupakan program figur tertentu. Padahal, menurut Pasal 9 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, hak atas jaminan sosial merupakan kewajiban negara yang wajib disediakan, dapat diakses, dapat diterima, dan dengan kualitas yang memadai – bukan kepentingan politik partisan. 

“Jika pelanggaran HAM terus terjadi dan terduga pelaku dibiarkan bebas tanpa proses pertanggungjawaban yang jelas, maka artinya negara membiarkan kultur impunitas semakin mengakar dan kondisi HAM Indonesia saat ini semakin menjauhi cita-cita Indonesia saat kemerdekaan dan saat Reformasi 1998.” 

“Tapi Amnesty tidak kehilangan harapan karena telah lama menyaksikan tingginya resiliensi masyarakat sipil Indonesia dalam membela hak asasi manusia yang mendasari kemerdekaan dan Reformasi Indonesia.”