Pemberian amnesti harus diikuti kebijakan dekriminalisasi pengguna narkotika, revisi UU ITE, penghapusan pasal-pasal makar dan penghinaan presiden 

Menanggapi rencana pemberian amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana, termasuk untuk kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), penghinaan kepala negara/presiden dan kasus terkait Papua, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:   

“Pelepasan narapidana saat ini terlihat seperti solusi pragmatis untuk menyelesaikan permasalahan di hilir, yaitu kelebihan kapasitas di lapas. Namun pada sisi lain negara nampaknya tidak memiliki niat serius untuk menyelesaikan permasalahan utama di hulu, salah satunya yaitu pendekatan pidana terkait narkotika—termasuk untuk penggunaan pribadi–yang jumlahnya berkontribusi besar pada persoalan kelebihan jumlah orang di penjara di Indonesia.  

Amnesty International mendorong Indonesia untuk beralih dari kebijakan yang berdasarkan pada pemidanaan dengan memilih alternatif berbasis bukti yang melindungi kesehatan masyarakat dan hak asasi manusia mereka yang membutuhkan obat-obatan dan komunitas yang terdampak. 

Momentum ini juga harus diikuti dengan revisi atau penghapusan aturan hukum yang kerap digunakan untuk mengkriminalisasi suara-suara kritis. Setidaknya revisi UU ITE mendesak untuk segera ditinjau ulang dan ini menjadi momentum yang tepat jika negara betul-betul ingin menunjukkan komitmennya terhadap HAM.  

Selain itu negara juga harus membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan UU ITE hanya karena mengekspresikan pandangannya secara damai termasuk Septia Dwi Pertiwi, yang pada Kamis 12 Desember lalu dituntut  satu tahun penjara hanya karena mengkritik secara damai upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diterimanya.  

Jika permasalahan di hulu tidak diselesaikan, maka pemerintah akan disibukkan dengan berapa banyak jumlah amnesti yang harus dikeluarkan negara ke depannya? Politik pengampunan yang dilakukan oleh negara merupakan solusi jangka pendek karena tidak menyelesaikan akar permasalahan utama di hulu. Pemberian amnesti kepada Baiq Nuril pada tahun 2019 dan Saiful Mahdi pada tahun 2021 buktinya tidak menghentikan jumlah orang-orang yang dipidana menggunakan UU ITE.  

Kebijakan pengampunan massal ini baru bisa dikategorikan sebagai penghormatan terhadap HAM jika negara menjalankannya sepaket dengan revisi atau penghapusan undang-undang dan aturan hukum yang kerap digunakan membungkam ekspresi damai, seperti UU ITE, pasal penghinaan terhadap presiden dan pasal-pasal makar yang kerap digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang berekspresi secara damai di Papua dan Maluku.  

Mereka yang dipenjara karena menghina presiden maupun karena tuduhan makar di Papua dan Maluku harus segera dibebaskan saat ini juga. Harus ada komitmen negara untuk tidak lagi mengkriminalisasi dan memenjarakan seseorang hanya karena ekspresi politik yang disampaikan secara damai. Amnesty International menganggap mereka yang dipenjara karena menyampaikan ekspresi politik secara damai sebagai tahanan hati nurani yang tengah melaksanakan hak atas kebebasan berekspresi. 

Latar Belakang   

Seperti yang diberitakan pada Jumat 13 Desember 2024, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pemerintah berencana memberikan amnesti kepada sekitar 44 ribu narapidana untuk kasus-kasus tertentu, antara lain pengguna narkotika, kasus terkait UU ITE, kasus-kasus penghinaan kepala negara atau presiden dan kasus terkait Papua. Pemerintah mengklaim bahwa pemberian amnesti tersebut diberikan berdasarkan atas rasa kemanusiaan, mengurangi kelebihan kapasitas lapas dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah di Indonesia.  

Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk ekspresi politik,  dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Dalam instrumen hak asasi manusia internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin di Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD 1945, serta pada Pasal 14 dan 25 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.