Merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat 3 Januari 2025 yang menjustifikasi pembatasan kebebasan beragama di Indonesia dan menutup hak warga negara untuk tidak memiliki agama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:
“Putusan MK tersebut bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005 . MK tetap menggaungkan istilah “kebebasan beragama” namun dalam dimensi yang sempit sembari mewajibkan warga negara untuk memilih agama dan melarang warga negara Indonesia untuk tidak memiliki agama,” kata Usman dalam Kutipan Media Amnesty International Indonesia 3 Januari 2025.
“Ini jelas bukan sebuah kebebasan dan menyimpang dari makna kebebasan beragama yang sebenarnya yang telah diatur dalam norma-norma intenasional. Kebebasan beragama adalah kemerdekaan dalam memilih atau tidak memilih agama atau kepercayaan dan tidak semestinya diikuti oleh embel-embel “kewajiban” ataupun “pelarangan.”
“Indonesia diharuskan, baik berdasarkan ICCPR dan hukum internasional secara umum, untuk membuat undang-undang nasional selaras dengan ICCPR. Namun pertimbangan hakim dalam putusan MK tersebut nampaknya menunjukkan hal sebaliknya. Pasal 18(1) ICCPR menjamin hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama termasuk dalam konteks meyakini maupun mempraktekkan baik di tempat umum ataupun tertutup. Putusan MK tersebut jelas memaksa warga negara untuk beragama dan tidak selaras dengan ICCPR.
“Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menyatakan istilah “kepercayaan” dan “agama” agar dimaknai secara luas hingga mencakup kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun. Seseorang harus bebas dari pemaksaan untuk memiliki ataupun menganut suatu agama atau kepercayaan dan hak ini semestinya tidak dibatasi oleh negara.
Aturan yang membuat seseorang terpaksa memilih agama yang berbeda dengan pilihannya hanya karena takut akan penghukuman bertentangan dengan pasal 18 ICCPR tersebut. Jadi ada dua unsur dalam putusan MK tersebut, pemaksaan untuk memiliki agama dan pelarangan bagi orang-orang yang memilih tidak mempercayai suatu agama atau keyakinan. Kedua poin tersebut bertentangan dengan semangat yang ada dalam ICCPR. Pasal 18(2) secara eksplisit menekankan bahwa tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan yang sesuai dengan pilihannya.
“Kebebasan untuk berkeyakinan maupun tidak berkeyakinan adalah ranah privat dan bukanlah ranah pidana. Namun, kami khawatir putusan MK ini rentan disalahgunakan oleh penegak hukum yang bisa berakibat pada pemenjaraan mereka-mereka yang memilih tidak beragama ataupun mereka yang keyakinannya tidak sejalan dengan agama-agama yang diakui oleh negara. Lebih parahnya lagi, putusan MK ini juga berpotensi menjadi justifikasi bagi kelompok-kelompok tertentu untuk main hakim sendiri terhadap orang-orang yang mereka anggap tidak beragama atau yang “menyimpang” dari ajaran agama yang diakui negara. Ini bak angin segar bagi praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi di masyarakat.”
Latar Belakang
Pada Jumat 3 Januari 2025, MK menolak permohonan uji materi yang meminta agar warga negara yang tidak beragama mendapatkan pengakuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berdasarkan informasi di website MK, pemohon menganggap kebebasan beragama yang dijamin oleh UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seharusnya mencakup kebebasan untuk tidak menganut agama tertentu atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pemohon mengajukan pengujian terhadap sejumlah aturan perundang-undangan yang berkenaan dengan hak beragama yaitu pengakuan untuk tidak beragama dalam undang-undang terkait hak asasi manusia, hak untuk tidak menyebutkan agama atau kepercayaan dalam data administrasi kependudukan, hak untuk mendapatkan pengakuan perwakinan yang tidak didasarkan pada agama atau kepercayaan dan hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama dalam institusi pendidikan formal di Indonesia.
Namun hakim MK dalam putusannya menolak permohonan tersebut dan menegaskan bahwa implementasi masing-masing individu dalam meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif di Indonesia adalah dengan cara memiliki agama dan menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dilakukan secara merdeka. Lebih jauh hakim MK dalam pertimbangannya mengatakan bahwa pilihan untuk beragama jauh lebih tepat ketimbang tidak beragama ataupun tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembatasan kebebasan beragama untuk tidak memberikan ruang bagi warga negara untuk tidak memeluk agama, menurut hakim MK, adalah tindakan yang proporsional dan tidak bertentangan dengan konstitusi.