- Amnesty mengunjungi lebih dari 50 kompleks penipuan dalam riset selama 18 bulan
- Kesaksian para penyintas, termasuk dari Indonesia, mengungkap perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa yang berdampak pada ribuan orang
- Temuan Amnesty menunjukkan keterlibatan negara dalam pelanggaran yang dilakukan oleh geng kriminal Tiongkok
- Pemerintah Indonesia harus mendesak Kamboja untuk melakukan investigasi kejahatan internasional berupa perbudakan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya yang menimpa penyintas termasuk warga Indonesia di Kamboja.
Pemerintah Kamboja secara sengaja mengabaikan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang mencakup perbudakan, perdagangan manusia, pekerja anak, dan penyiksaan yang dilakukan oleh geng kriminal dalam skala besar di lebih dari 50 kompleks penipuan online di negara tersebut, menurut laporan terbaru Amnesty International yang diterbitkan hari ini (26/06).
Para penyintas dari berbagai negara termasuk Indonesia yang diwawancarai untuk laporan Amnesty berjudul “I Was Someone Else’s Property” mengira mereka melamar dan akan mendapat pekerjaan yang layak. Namun, mereka justru diperdagangkan ke Kamboja, di mana mereka ditahan dalam kompleks seperti penjara dan dipaksa melakukan penipuan daring sebagai bagian dari ekonomi bayangan bernilai miliaran dolar yang telah menipu banyak orang di seluruh dunia.
“Dibohongi, diperdagangkan, dan diperbudak — para penyintas kompleks penipuan ini menggambarkan diri mereka terjebak dalam suatu mimpi buruk, dipaksa menjadi bagian dari jaringan kriminal yang tampaknya direstui pemerintah Kamboja,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard.
“Pencari kerja dari Asia dan berbagai belahan dunia ini dijebak dengan iming-iming pekerjaan bergaji tinggi, namun justru berakhir di kamp kerja yang mengerikan, dikelola oleh geng-geng terorganisir, di mana mereka dipaksa melakukan penipuan di bawah ancaman kekerasan.”
“Riset Amnesty mengungkap betapa mengerikannya skala krisis ini, dan bagaimana otoritas Kamboja gagal menanganinya. Kegagalan ini justru memberi lampu hijau kepada jaringan kriminal yang jangkauannya sudah internasional, dengan jutaan orang menjadi korban penipuan.”
Temuan Amnesty menunjukkan adanya koordinasi — dan kemungkinan kolusi — antara para pemimpin kompleks asal Tiongkok dan polisi Kamboja, yang gagal menutup kompleks-kompleks tersebut kendati terjadi pelanggaran HAM yang parah di sana.
Penyintas yang diwawancarai Amnesty berasal dari Tiongkok, Thailand, Malaysia, Bangladesh, Vietnam, Indonesia, Taiwan, dan Ethiopia. Amnesty juga memiliki data ratusan korban lainnya dari India, Kenya, Nepal, Filipina, dan negara lain.
Penyintas asal Indonesia: “Tolong saya…saya tidak bisa tidur”
Seorang penyintas adalah Daniel*, asal Indonesia. Dia adalah satu dari setidaknya 45 penyintas yang diwawancarai Amnesty yang mendengar, menyaksikan, atau menjadi korban penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya saat berada di dalam kompleks penipuan online.
“Tolong…saya tidak bisa tidur.” Demikian salah satu dari pesan-pesan yang dikirim oleh Daniel kepada Amnesty pada tahun 2025. Dia meminta bantuan agar bisa keluar dari KK01, yaitu sebutan untuk salah satu kompleks penipuan di Provinsi Koh Kong, Kamboja.
Tidak seperti para penyintas lain yang terperdaya oleh iming-iming mendapat pekerjaan sebagai pramusaji restoran, pegawai hotel atau staf di kasino, Daniel menyadari bahwa dia ke Kamboja untuk bekerja di industri penipuan, namun akhirnya turut menjadi korban perdagangan manusia dan perbudakan di tempatnya bekerja.
Orang-orang yang memasuki industri penipuan dengan penuh kesadaran tentang pekerjaan yang akan mereka lakukan juga dapat menjadi korban pelanggaran lain yang terjadi di dalam kompleks tersebut, seperti kerja paksa, penyiksaan, dan perlakuan buruk atau perbudakan lainnya.
Daniel pernah dibebaskan dari suatu kompleks penipuan di Kamboja pada tahun 2023. Meskipun sepenuhnya menyadari kekerasan dan iklim ketakutan yang ada di kompleks tersebut, Daniel mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia dengan sukarela kembali bekerja di kompleks penipuan lain karena ia membutuhkan uang dan tidak mendapat pekerjaan di negara asalnya.
Kembalinya Daniel ke Kamboja untuk bekerja di suatu kompleks penipuan lain awalnya berjalan baik, katanya, dan ia menghasilkan uang saat bekerja di kompleks itu dan ia bebas untuk pergi dan tidak mengalami penyiksaan fisik. Namun, setelah beberapa bulan, ia “dijual” oleh bosnya ke kompleks lain, di mana ia dikurung dan ditempatkan pada risiko penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Kasus Daniel menggambarkan bahaya industri penipuan, baik yang ‘sukarela’ atau tidak. Kasusnya menunjukkan risiko yang melekat dalam suatu industri yang memperlakukan manusia seperti properti dan beroperasi di luar batasan normal kegiatan komersial yang terdaftar dan diatur secara resmi.
Penyintas yang keluar dari kompleks penipuan, seperti yang dialami Daniel, tidak langsung menikmati kebebasan, tapi berganti status sebagai tahanan aparat. Mereka kemudian berurusan dengan sistem penahanan imigrasi Kamboja, yang digambarkan sebagai “seperti penjara”.
Pusat-pusat penahanan ini, ungkap para narasumber, kekurangan tempat untuk tidur. Daniel mengungkapkan kepada Amnesty, tahanan seperti dirinya harus membayar makanan dan air, dan penahanan dapat berlangsung selama berbulan-bulan jika seseorang tidak memiliki dokumen yang tepat.
Orang-orang yang telah diperdagangkan ke negara tersebut atau yang tinggal di kompleks penipuan kemungkinan besar paspornya disita, sehingga memperpanjang waktu mereka di penahanan imigrasi, ungkap Daniel.
“Gaji Tinggi dan Kolam Renang”
Dalam dokumentasi paling komprehensif sejauh ini, laporan Amnesty setebal 240 halaman itu mengidentifikasi sedikitnya 53 kompleks penipuan di Kamboja dan mewawancarai 58 penyintas dari delapan kebangsaan yang berbeda, termasuk sembilan anak-anak. Amnesty juga meninjau catatan dari 336 korban lainnya dari kompleks di Kamboja tersebut. Para penyintas ini ada yang melarikan diri, diselamatkan, atau ditebus oleh keluarga mereka.
Kesaksian mereka memberikan gambaran rinci tentang operasi kriminal yang luas dan penuh kekerasan, yang seringkali terjadi dengan sepengetahuan penuh otoritas Kamboja — yang responsnya tidak hanya tidak efektif tetapi juga korup, menunjukkan pembiaran bahkan keterlibatan negara dalam pelanggaran HAM yang terjadi.
Seorang penyintas bernama Lisa*, 18 tahun, sedang mencari pekerjaan selama libur sekolah di Thailand saat ia diperdagangkan. “[Para perekrut] bilang saya akan bekerja di bagian administrasi… mereka mengirim gambar hotel dengan kolam renang… gajinya tinggi,” ujarnya.
Namun, Lisa malah dibawa melintasi sungai pada malam hari ke Kamboja, di mana ia ditahan selama 11 bulan oleh penjaga bersenjata dan dipaksa melakukan penipuan daring. Ketika mencoba melarikan diri, ia dipukuli dengan kejam.
“Ada empat pria… tiga orang menahan saya, sementara bos memukul telapak kaki saya dengan tongkat besi… Mereka bilang kalau saya tidak berhenti berteriak, mereka akan terus memukul sampai saya diam,” katanya.
“Mereka Terus Memukul Sampai Tubuhnya Berwarna Ungu”
Dalam riset selama 18 bulan, Amnesty mengunjungi semua kecuali satu dari 53 kompleks penipuan yang tersebar di 16 kota di Kamboja, serta 45 lokasi lain yang juga diduga kuat merupakan kompleks penipuan. Banyak bangunan dulunya merupakan kasino atau hotel yang diubah oleh geng kriminal — sebagian besar dari Tiongkok — setelah pemerintah Kamboja melarang perjudian daring pada 2019.
Kompleks-kompleks ini tampak dirancang untuk mengurung orang, dilengkapi kamera pengawas, kawat berduri di sekeliling dinding, dan dijaga banyak petugas keamanan yang seringkali membawa tongkat listrik atau senjata api. Para penyintas menyatakan bahwa “melarikan diri adalah tidak mungkin.”
Sebagian besar korban dipikat ke Kamboja melalui iklan pekerjaan palsu di media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Setelah diperdagangkan, mereka dipaksa menghubungi orang-orang melalui platform media sosial dan membangun percakapan untuk menipu mereka. Penipuan itu termasuk hubungan asmara palsu, investasi bodong, penjualan barang yang tidak pernah dikirim, atau membangun kepercayaan sebelum mengeksploitasi secara finansial, yang dikenal sebagai pig-butchering.
Semua kecuali satu dari para penyintas yang diwawancarai merupakan korban perdagangan manusia, dan semuanya mengalami kerja paksa di bawah ancaman kekerasan. Dalam 32 kasus, Amnesty menyimpulkan bahwa para penyintas mengalami perbudakan sesuai definisi hukum internasional, di mana pengelola kompleks memiliki kontrol seolah-olah menjadi pemilik mereka. Beberapa juga mengatakan telah dijual ke kompleks lain atau menyaksikan orang lain dijual. Banyak pula yang diberi tahu bahwa mereka memiliki “utang” yang harus mereka lunasi dengan bekerja.
Dari 58 penyintas, 40 mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, yang hampir selalu dilakukan oleh pengelola kompleks. Beberapa kompleks memiliki “ruang gelap” khusus untuk menyiksa mereka yang tidak bisa bekerja atau melapor ke pihak berwenang.
Penyintas sering menyebutkan adanya kematian di dalam atau sekitar kompleks; salah satunya mendengar suara tubuh jatuh di atap bangunan. Amnesty juga mengonfirmasi kematian seorang anak asal Tiongkok di sebuah kompleks.
Penyintas bernama Siti* mengaku melihat seorang warga Vietnam dipukuli selama sekitar 25 menit. “Mereka terus memukuli [orang Vietnam itu] sampai tubuhnya… ungu… lalu pakai tongkat listrik. Dipukul sampai dia tidak bisa berteriak, tidak bisa bangun… lalu bos bilang mereka tunggu sampai kompleks lain mau beli dia,” kata Siti.
Dari sembilan anak yang diwawancarai, lima mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk. Sawat*, seorang anak laki-laki Thailand berusia 17 tahun, dipukuli oleh beberapa manajer sebelum diberi tahu bahwa ia akan dilucuti pakaiannya dan dipaksa melompat dari gedung.
Kegagalan Mencolok Pemerintah Kamboja
Amnesty International menemukan bahwa pemerintah Kamboja gagal menyelidiki pelanggaran HAM luas yang terjadi di kompleks penipuan meskipun telah diberi tahu berulang kali.
“Otoritas Kamboja tahu apa yang terjadi di dalam kompleks-kompleks penipuan, tetapi mereka membiarkannya terus terjadi. Temuan kami menunjukkan pola kegagalan negara yang memungkinkan kejahatan ini berkembang dan memunculkan pertanyaan soal motif pemerintah,” kata Montse Ferrer, Direktur Riset Regional Amnesty International.
Pemerintah mengklaim menangani krisis ini melalui Komite Nasional untuk Memerangi Perdagangan Manusia (NCCT) dan berbagai satuan tugas kementerian, yang melakukan sejumlah “penyelamatan” bersama polisi. Namun, lebih dari dua pertiga kompleks yang diidentifikasi dalam laporan ini tetap beroperasi bahkan setelah penggerebekan dan “penyelamatan.”
Di kompleks Botum Sakor, perdagangan manusia telah banyak dilaporkan media dan polisi beberapa kali melakukan intervensi, tetapi lokasi tersebut tetap terbuka.
Kegagalan polisi sebagian besar berasal dari kolaborasi mereka dengan pengelola kompleks. Dalam banyak “penyelamatan”, polisi hanya bertemu manajer atau penjaga di gerbang dan mengambil korban yang meminta bantuan, namun bisnis tetap berlanjut seperti biasa.
Dalam kasus lain, para penyintas mengatakan mereka dipukuli setelah upaya rahasia mereka menghubungi polisi terbongkar oleh bos. Seorang penyintas asal Vietnam mengatakan kepada Amnesty bahwa polisi “bekerja untuk kompleks dan akan melaporkan permintaan bantuan kepada bos kompleks.”
Mereka yang “diselamatkan” sering kemudian ditahan di pusat imigrasi dalam kondisi buruk selama berbulan-bulan — karena otoritas Kamboja tidak mengidentifikasi mereka sebagai korban perdagangan manusia dan memberi dukungan sesuai hukum internasional.
Hal itu juga menimpa Daniel, asal Indonesia. Lepas dari kompleks penipuan BS04, dia dikirim ke kantor polisi setempat di Koh Kong selama empat hari sebelum dipindahkan ke kantor polisi provinsi Koh Kong, tempat ia ditahan selama tujuh hari. Ia kemudian ditahan di Kementerian Dalam Negeri di Phnom Penh selama 20 hari dan kemudian selama 20 hari lagi di pusat penahanan imigrasi Phnom Penh.
Sementara itu, pihak berwenang justru menargetkan mereka yang mengungkap isu ini. Beberapa pembela HAM dan jurnalis telah ditangkap pemerintah Kamboja, dan media Voice of Democracy bahkan ditutup pada 2023 sebagai pembalasan atas peliputannya terkait krisis ini.
Amnesty telah mengirim temuan ini ke NCCT, yang hanya memberikan data samar soal intervensi, tanpa menjelaskan apakah negara telah mengidentifikasi, menyelidiki, atau menuntut pelanggaran HAM selain pembatasan kebebasan. Mereka juga tidak merespons daftar kompleks penipuan yang diberikan Amnesty.
“Pemerintah Kamboja sebenarnya bisa menghentikan pelanggaran ini, tapi mereka memilih tidak melakukannya. Intervensi polisi tampaknya hanya sekadar ‘pertunjukan,’” kata Montse Ferrer.
“Otoritas Kamboja harus memastikan tidak ada lagi pencari kerja yang diperdagangkan ke negara ini untuk menghadapi penyiksaan, perbudakan, atau pelanggaran HAM lainnya. Mereka harus segera menyelidiki dan menutup semua kompleks penipuan serta mengidentifikasi, membantu, dan melindungi para korban secara layak. Perbudakan berkembang ketika pemerintah memilih untuk menutup mata.”
Pemerintah Indonesia harus proaktif mendorong Kamboja melakukan investigasi
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kisah yang dialami Daniel dan para penyintas lain tidak saja menunjukkan buruknya Kamboja dalam menangani masalah perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa di wilayahnya. Pemerintah Indonesia dapat memainkan peran penting untuk mendorong upaya bilateral dan regional mendesak Pemerintah Kamboja mengakhiri praktik keji ini dan melindungi para pencari kerja yang termasuk orang Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus secara proaktif menggunakan semua kewenangan yang mereka miliki untuk memaksa pemerintah Kamboja bertindak – termasuk namun tidak terbatas pada penyelidikan terhadap individu dan penuntutan atas kejahatan internasional berupa perbudakan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya.
“Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi warga negara, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam konteks ini, pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mencegah semakin banyak pencari kerja termasuk warga Indonesia yang menjadi korban,” kata Usman.
Di sisi lain, Indonesia tetap memiliki posisi strategis di kawasan Asia Tenggara untuk menyerukan kepada pemerintah Kamboja dan mendorong proses regional agar ada tindakan tegas dan efektif dalam memberantas praktik perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa.
“Solidaritas regional untuk melindungi para pencari kerja khususnya pencari kerja lintas kawasan seharusnya menjadi pendorong untuk menuntut akuntabilitas, dan menjadi landasan untuk mendorong kerja sama dalam memberantas kejahatan lintas negara yang sistemik ini,” lanjut Usman.
“Yang tak kalah pentingnya juga adalah Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kamboja memiliki sumber daya yang cukup untuk terus menyediakan informasi dan dukungan mendesak bagi para pencari kerja Indonesia yang mengalami kesulitan di Kamboja, termasuk menanggapi permintaan informasi dan bantuan dari korban perdagangan manusia sesuai dengan prinsip HAM.”
Latar Belakang
Berdasarkan hukum HAM internasional, negara Kamboja memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tidak seorang pun berada dalam perbudakan atau kerja paksa. Negara juga wajib melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi dan mencegah, melarang, menyelidiki, serta menuntut tindakan penyiksaan. Pemerintah Kamboja harus menyelidiki, menuntut, dan mengadili kasus perdagangan manusia oleh pelaku negara maupun non-negara; mengidentifikasi korban dan memberikan pemulihan; serta memastikan bahwa operasi “penyelamatan” tidak semakin melanggar hak dan martabat korban.
*Catatan: Semua nama penyintas disamarkan demi alasan keamanan