Investigasi Amnesty International: Polisi Pukuli Demonstran dan Gunakan Gas Air Mata Secara Melawan Hukum

Aparat kepolisian menggunakan kekuatan secara melawan hukum (unlawful force) terhadap pengunjuk rasa, termasuk pemukulan dan penggunaan water cannon (meriam air) serta granat gas air mata yang tidak tepat selama demonstrasi massal di Indonesia pada akhir Agustus 2025, menurut investigasi yang dirilis hari ini oleh Amnesty International.

Tiga puluh enam video yang telah diverifikasi oleh Evidence Lab Amnesty International, bersama dengan wawancara terhadap lima korban dan saksi mata, merinci penggunaan kekuatan secara melawan hukum oleh polisi selama aksi unjuk rasa pada 25 Agustus hingga 1 September 2025. Tindakan ini mencakup penembakan water cannon ke arah pengunjuk rasa dalam jarak dekat, pemukulan terhadap demonstran menggunakan tongkat, dan penggunaan granat gas air mata jenis berbahaya yang diketahui dapat menyebabkan cedera serius, termasuk kehilangan anggota tubuh.

“Bukti video, bersama dengan kesaksian korban dan saksi mata, mengungkapkan bahwa aparat kepolisian secara kejam dan penuh kekerasan menindak gerakan yang bermula dari aksi damai menolak tunjangan DPR. Penggunaan kekuatan yang berlebihan dan melawan hukum oleh pihak berwenang ini menunjukkan budaya kepolisian yang memperlakukan perbedaan pendapat sebagai ancaman, bukan sebagai hak,” kata Erika Guevara-Rosas, Direktur Senior Amnesty International untuk Riset, Advokasi, Kebijakan, dan Kampanye.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) dan lembaga bantuan hukum (LBH), setidaknya 4.194 pengunjuk rasa ditangkap dalam periode 25 Agustus hingga 1 September. Angka itu telah dikonfirmasi Amnesty International dari kepolisian daerah dan Polri. Hingga 27 September, polisi telah menetapkan 959 orang di antaranya sebagai tersangka, sementara sisanya dibebaskan tanpa dakwaan.

Setidaknya 12 dari mereka yang dijadikan tersangka adalah aktivis atau pembela hak asasi manusia (HAM) yang, oleh polisi, “dituduh menghasut orang untuk ikut serta dalam protes menggunakan kekerasan”. Polisi membenarkan laporan media bahwa 295 dari mereka yang didakwa adalah anak-anak pada saat penangkapan.

OMS dan LBH juga mendokumentasikan bahwa setidaknya 1.036 orang menjadi korban kekerasan selama aksi protes, yang tercatat dalam 69 insiden terpisah di 19 kota. Meskipun beberapa pengunjuk rasa terlibat dalam tindakan kekerasan, sebagian besar kasus ini melibatkan penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan oleh polisi.

Walau banyak desakan dari kalangan masyarakat sipil, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah gagal membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk menyelidiki penindakan kekerasan terhadap protes tersebut.


Bukti Video Tunjukkan Polisi Gunakan Kekuatan Melawan Hukum

Evidence Lab Amnesty International memverifikasi 36 video yang direkam selama aksi demonstrasi di Jakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Bengkulu antara 25 Agustus dan 1 September. Video-video tersebut menunjukkan penggunaan gas air mata dan water cannon yang tidak tepat serta penggunaan tongkat pentungan dan tongkat secara melawan hukum, di samping bentuk-bentuk pemukulan lainnya.

Dalam setidaknya dua kasus, Amnesty International menemukan bahwa polisi menembakkan granat gas air mata sejenis GLI-F4, yang sangat berbahaya karena dapat mengandung bahan peledak yang menyebarkan zat kimia penyebab iritasi. Granat ini dapat menyebabkan cedera fisik serius karena ledakan atau serpihannya dan telah dilarang di banyak negara. Amnesty International telah berulang kali menyerukan larangan penggunaan senjata ini dalam penegakan hukum karena bahaya besar yang dapat ditimbulkannya.

Dalam satu insiden pada 25 Agustus, sebuah video memperlihatkan polisi menembakkan granat gas air mata di belakang pengunjuk rasa di Slipi, Jakarta. Tindakan ini melanggar standar hak asasi manusia internasional, termasuk Panduan HAM PBB tentang Senjata Kurang Mematikan (Less-lethal Weapons) dalam Penegakan Hukum, karena memaksa pengunjuk rasa bergerak ke arah aparat penegak hukum, sehingga meningkatkan risiko konfrontasi dengan aparat keamanan. Video lain memperlihatkan polisi melepaskan granat gas air mata dari jembatan ke arah pengunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, pada 29 Agustus. Satu video lainnya juga menunjukkan penembakan gas air mata ke arah stasiun kereta Karet di Jakarta pada 28 Agustus.

Dalam video lain yang diverifikasi oleh Amnesty International, polisi menggunakan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan untuk menangkap pengunjuk rasa yang sudah tidak berdaya, memukul mereka dengan tongkat pentungan, tongkat atau senjata lainnya. Satu rekaman video dari aksi protes di Jakarta pada 28 Agustus memperlihatkan beberapa polisi berpelindung lengkap memukuli seseorang yang jatuh terkapar di tanah. Rekaman dari Surakarta pada 29 Agustus memperlihatkan insiden serupa.

Polisi juga mengarahkan water cannon langsung ke arah pengunjuk rasa, terkadang dengan tekanan tinggi dan dari jarak dekat, sebagaimana ditunjukkan oleh video protes di dekat kompleks parlemen di Jakarta pada 28 Agustus.

“Polisi Indonesia telah menunjukkan ketidakmampuan mereka menggunakan senjata kurang mematikan secara bertanggung jawab dan sah. Menembakkan gas air mata di area tertutup atau langsung ke arah orang bukan saja tindakan ceroboh, itu melanggar hukum dan berpotensi mematikan,” ujar Erika Guevara-Rosas.

“Pemerintahan Presiden Prabowo tidak dapat mengklaim menjunjung tinggi HAM sambil mengabaikan penyalahgunaan wewenang kepolisian yang meluas. Investigasi independen bukanlah pilihan, melainkan satu-satunya jalan kredibel menuju akuntabilitas.”

‘Mata Bengkak dan Muntah Darah’

Amnesty International mewawancarai lima korban dan saksi penggunaan kekuatan yang melawan hukum oleh polisi di Yogyakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya.

Seorang relawan medis di Yogyakarta mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia terkena selongsong gas air mata saat membantu pengunjuk rasa yang terluka, ketika polisi menembakkan gas air mata langsung ke pos medisnya. Sementara itu, seorang mahasiswa pengunjuk rasa mengatakan bahwa polisi menembakkan gas air mata secara langsung (horizontal) ke arah massa tanpa peringatan pada 29 Agustus.

Seorang aktivis di Makassar mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia memberikan bantuan hukum kepada seorang warga yang mengaku dipukuli polisi dengan tongkat kasti setelah ditangkap. Aktivis ini memberikan bantuan hukum kepada sepuluh (10) mahasiswa, yang menurutnya ditangkap secara sewenang-wenang saat berunjuk rasa pada akhir Agustus lalu.

Aktivis tersebut mengungkapkan para mahasiswa itu ada yang “matanya bengkak, berjalan pincang, dan muntah darah” saat ia mengunjungi mereka di Markas Polda Sulawesi Selatan. Kepada aktivis itu mereka mengaku tidak diberi akses ke pengacara, atau keluarga mereka tidak diberitahu, hingga lima hari setelah penangkapan.

“Banyaknya contoh kekerasan yang disponsori negara (state-sponsored violence) ini menunjukkan pengabaian terang-terangan oleh polisi terhadap hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak untuk hidup, dan hak atas kebebasan dan keamanan pribadi selama aksi-aksi protes tersebut berlangsung,” kata Erika Guevara-Rosas.

“Pihak berwenang Indonesia harus segera melakukan penyelidikan yang independen, imparsial, dan efektif terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi. Ketika rakyat Indonesia bersuara melawan ketidakadilan, pemerintah seharusnya mendengarkan mereka, bukan membungkam mereka dengan pentungan dan gas air mata.”