Hentikan diskriminasi Jamaah Ahmadiyah dan pemberangusan diskusi Ahmadiyah di kampus

Menanggapi tindakan aparat pemerintah terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar dan pembatalan diskusi buku Ahmadiyah di Kota Manado, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Pemerintah Kota Banjar kembali menerapkan praktik-praktik otoriter untuk menyikapi hak warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Tanjungsukur untuk beragama. Ini bukan pertama kalinya otoritas negara menunjukkan sikap intoleran dan diskriminatif terhadap warga Ahmadiyah. Dalam berbagai kesempatan, tindakan diskriminasi seperti pembubaran kegiatan keagamaan, intimidasi, dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah berulang. Ini mengukuhkan pola diskriminasi sistemik negara terhadap kelompok minoritas beragama.

Berulangnya diskriminasi terhadap warga Ahmadiyah tanpa disertai penegakan hukum yang adil seolah menormalkan kegagalan negara dalam melindungi umat beragama. Dan yang lebih parah lagi sekarang adalah membicarakan mengenai Ahmadiyah di ruang publik menjadi hal tabu seperti terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado baru baru ini. Sangat disayangkan pelarangan ini dilakukan oleh kampus yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan membangun kesadaran masyarakat.

Pelarangan bedah buku terkait Ahmadiyah di kampus jelas melanggar hak warga negara untuk berkumpul dan berdiskusi secara damai di lingkungan kampus. Keputusan Rektorat IAIN Manado yang tunduk pada tekanan MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk melarang bedah buku tersebut jelas mencederai kebebasan akademik yang semestinya dijunjung tinggi di kampus sebagai ruang diskusi terbuka dan plural. IAIN Manado harus memastikan kampus menjadi tempat aman bagi setiap mahasiswa dan akademisi untuk berdiskusi. Dan yang lebih penting adalah IAIN Manado untuk tidak tunduk pada tekanan dari pihak luar kampus yang ingin mengekang kebebasan berekspresi di lingkungan kampus.

Kami mendesak otoritas negara untuk memastikan setiap unit-unit pemerintahan daerah memberikan jaminan bagi warga Ahmadiyah untuk melaksanakan peribadatan mereka tanpa diskriminasi dan intimidasi. Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan tiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut keyakinannya.

Negara wajib segera mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 yang menjadi dasar diskriminasi dan represi terhadap warga Ahmadiyah. Negara wajib menentang segala bentuk intoleransi dan diskriminasi atas dasar keyakinan agama atau atas dasar alasan karakteristik manusia yang dilindungi oleh hukum internasional hak asasi manusia.”

Latar belakang

Awal bulan Juni ini terdapat setidaknya dua kasus intoleransi terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia di dua kota berbeda, yaitu di Banjar, Provinsi Jawa Barat dan Manado, Provinsi Sulawesi Utara.

Laporan media pada 5 Juni lalu mengabarkan tim penanganan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dari Pemerintah Kota Banjar mendatangi tempat peribadatan JAI di lingkungan Tanjungsukur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar. Tim tersebut memperingatkan JAI untuk tidak melakukan kegiatan peribadatan di bangunan yang telah disegel sebelumnya.

Tim penanganan JAI juga menyebut akan kembali lagi ke tempat tersebut untuk melanjutkan penindakan pada Selasa pekan depan (10/6), di antaranya dengan memasang banner sesuai keputusan wali kota sebagai sosialisasi agar area tersebut steril dari aktivitas JAI. Pihak tim juga menyebut bahwa bila ada yang masih membandel akan diserahkan kepada pihak yang berwenang.

Ketua tim berdalih tindakan mereka itu untuk menegakkan SKB terkait Ahmadiyah beserta peraturan dan keputusan Wali Kota Banjar pada 2011 yang telah menyegel bangunan yang digunakan sebagai tempat peribadatan JAI. Walau telah disegel, Jemaah Ahmadiyah disebutnya melakukan pelanggaran dengan membuat bangunan baru untuk ditinggali dan dijadikan tempat peribadatan.

Sebelumnya, pada 28 Mei lalu, Aliansi Muslim Kota Banjar (Almuktabar) menemui Wali Kota Banjar dan memberikan batas waktu 30 hari agar Pemkot Banjar bersikap tegas terhadap Jemaah Ahmadiyah.

Tindakan diskriminatif terhadap Ahmadiyah juga terjadi di Kota Manado. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado membatalkan acara bedah buku yang membahas tentang Ahmadiyah, yang dijadwalkan pada 2 Juni lalu, demikian ungkap laporan media.

Digelar oleh Gusdurian Manado, Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado dan Koalisi Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Sulut, acara itu tadinya akan mengkaji buku berjudul ‘Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah’ karya akademisi yang juga alumnus IAIN Manado, Samsi Pomalingo.

Acara tersebut batal setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Manado dan MUI Sulawesi Utara (Sulut) pada 1 Juni menyurati Rektorat IAIN Manado, meminta agar kegiatan tersebut tidak terlaksana dengan merujuk pada SKB 3 Menteri dan Fatwa MUI terkait Ahmadiyah. Menindaklanjuti dua surat tersebut, rektor mengadakan rapat pimpinan dan memutuskan untuk membatalkan kegiatan dengan alasan guna menjaga kondusivitas kampus.

Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) telah menjamin hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Hak ini mencakup kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Selain itu, Pasal 28E (1) dan Pasal 29 (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.