Bebasnya Septia, Langkah Maju Melawan Ancaman Kriminalisasi Kebebasan Berekspresi

Merespons bebasnya Septia Dwi Pertiwi dari kasus pencemaran nama baik terhadap pimpinan sebuah perusahaan, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Bebasnya Septia adalah kemenangan bagi kita semua. Ancaman kriminalisasi yang dihadapi Septia sebagai seorang karyawan yang mengupayakan pemenuhan haknya sejatinya juga menjadi ancaman bagi kita semua. Karenanya kita patut merayakan kebebasan Septia sebagai kemenangan bersama, dan semoga ini menjadi penyemangat bagi kita semua untuk terus mendorong perubahan terhadap berbagai pasal bermasalah yang dapat mengancam kebebasan berekspresi kita.

Bebasnya Septia juga merupakan kemenangan penting bagi kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama di tengah ancaman yang terus berlanjut akibat penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam suara warga yang menyuarakan ketidakadilan.Kasus ini menegaskan bahwa revisi UU ITE sebanyak dua kali belum cukup untuk menghentikan ancaman terhadap kebebasan berekspresi.

Septia bukan satu-satunya korban kriminalisasi dengan UU ITE. Kasus serupa sebelumnya dialami oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang divonis tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 8 Januari 2024, serta Daniel Frits Tangkilisan, yang divonis bebas oleh Pengadilan Tinggi Semarang pada 21 Mei 2024.

Putusan-putusan ini harus menjadi momentum bagi negara agar merevisi UU ITE yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang menggunakan hak mereka untuk berekspresi secara damai.

Negara harus memastikan UU ITE tidak lagi digunakan untuk membungkam suara warga, terutama mereka yang berpendapat secara damai.

Negara harus melindungi hak-hak pekerja untuk menyuarakan pelanggaran atas hak-hak mereka tanpa takut dikriminalisasi. Negara juga harus mendorong pemberi kerja untuk membuka ruang dialog dan menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan tanpa merepresi setiap pekerja melalui UU ITE.”

Latar belakang

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada sidang putusan Hari Rabu (22/01) menyatakan Septia Dwi Pertiwi tidak bersalah dalam kasus pencemaran nama baik terhadap pimpinan perusahaan tempat dia sebelumnya bekerja. Septia dibebaskan dari tuntutan hukuman satu tahun penjara dan dari jerat Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 36 Jo Pasal 51 ayat (2) UU ITE seperti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sedangkan JPU baru menyatakan pikir-pikir dalam menanggapi putusan majelis hakim.

Pada 21 Januari 2023, Septia mengkritik pimpinan tempat dia bekerja sebelumnya, PT Hive Five – sebuah perusahaan jasa perpajakan dan akuntansi – di media sosial karena diduga kurang membayar upah karyawan dan mengabaikan hak-hak mereka. Septia dilaporkan ke polisi oleh Henry Kurnia Adhi, salah satu pemilik PT Hive Five, dengan tuduhan pencemaran nama baik menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); undang-undang yang telah disalahgunakan untuk mengkriminalisasi ratusan orang di Indonesia.

Pada 26 Agustus 2024, surat perintah penahanan dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Septia ditahan oleh jaksa dan didakwa melanggar UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik.

Dia dibawa ke Rumah Tahanan Pondok Bambu di Jakarta Timur, di mana dia ditahan selama 25 hari. Pada 27 Agustus 2024, Septia dan tim kuasa hukumnya mengajukan permohonan pembebasan dari tahanan kepada hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hakim mengabulkan permohonan tersebut pada tanggal 19 September, dan menetapkan Septia sebagai tahanan kota.

Septia menjalani sidang perdana dengan dakwaan pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 17 September 2024.

Pada sidang 11 Desember 2024, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Septia dengan pidana penjara satu tahun, subsider tiga bulan kurungan, serta denda sebesar Rp50 juta. Tuntutan ini mengabaikan berbagai seruan untuk menghentikan penggunaan UU ITE yang kerap disalahgunakan untuk membungkam kritik.

Amnesty International Indonesia, misalnya, telah menyerahkan 81 surat kepada Kejaksaan Agung pada 10 Desember 2024, yang isinya meminta JPU membatalkan dakwaan yang dituduhkan kepada Septia dan agar dia dibebaskan. Namun jaksa mengabaikan permintaan itu dan tetap melanjutkan tuntutan terhadap Septia.

Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019 hingga 2024 terdapat setidaknya 527 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE kepada sedikitnya 560 warga sipil. Dari jumlah itu, 421 kasus dengan 449 korban telah mendapat putusan vonis di pengadilan negeri.