“Bahwa apa yang aku kerjakan itu tidak kenal lelah, itu bagian dari perjuangan berbasis cinta. Cinta pada keluarga, cinta pada kemanusiaan, cinta pada negara…”
Kami bertemu Suciwati, akrab disapa Mbak Suci, pada malam hari setelah pemeriksaan untuk penyelidikan kembali kasus pembunuhan Munir selesai dilaksanakan di Komnas HAM hari itu. Seusai berbuka puasa, saya dan seorang kawan menghampiri Mbak Suci di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan.
Ilustrasi Cak Munir pada kaos hitam yang dikenakannya mengingatkan saya pada cerita-cerita yang saya dengar semasa kecil: Munir, seorang aktivis HAM, dibunuh di udara. Di bangku sekolah, saya tidak dikenalkan pada sejarah kelam kekerasan oleh negara. Saat beranjak dewasa, saya baru berkesempatan mengetahui sosok Cak Munir dan keberaniannya lewat perjuangan banyak orang, khususnya Mbak Suciwati, istri Munir.
Mulai dari kasus pembunuhan terhadap buruh Marsinah pada 1993 hingga penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Munir dengan berani menyuarakan keadilan untuk korban kekerasan.
Munir Said Thalib dibunuh pada 7 September 2004 di atas langit Rumania. Racun arsenik yang ditemukan dalam jus jeruk yang diminumnya di pesawat merenggut nyawa seorang pembela HAM, suami, ayah, kawan, manusia yang seharusnya dihormati hidup dan martabatnya oleh negara. Tapi, negara malah membunuh Munir, dan tidak kunjung mengakui pembunuhan terhadapnya sebagai sebuah bentuk pelanggaran HAM yang berat, dengan campur tangan negara di dalamnya.
Walau pelaku lapangan atas pembunuhan Munir telah diadili, dalang utama pembunuhan masih berkeliaran dan belum diadili sampai sekarang. Selama pelaku pembunuhan belum diadili seluruhnya, keadilan untuk kasus pembunuhan Munir masih jauh dari kata tercapai.
Mbak Suci, istri Munir, masih berdiri di depan Istana Negara setiap Kamis selama 17 tahun lebih untuk mengingatkan negara tentang nihilnya keadilan atas pembunuhan Munir. Sekarang, penyelidikan kasus pembunuhan Munir kembali dilakukan oleh Komnas HAM. Perempuan kuat itu telah secara konsisten membuktikan bahwa mencintai juga adalah sebuah bentuk perlawanan atas ketidakadilan; bahwa dengan cinta, kemanusiaan dapat senantiasa dirawat dan dilindungi.
Setiap 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Di berbagai negara, perempuan menjadi yang paling banyak terdampak oleh pelanggaran HAM yang berat. Negara telah merenggut suami, anak, sanak keluarga, kawan para perempuan korban, seringkali tanpa keadilan dan pemulihan menyeluruh dari negara.
Para perempuan korban pelanggaran HAM yang berat bertahan hidup dan menghidupkan perlawanan berbasis cinta di antara duka kehilangan, stigma dan diskriminasi, hingga intimidasi dan kekerasan berbasis gender.
Sepulang bertemu Mbak Suci, saya membawa pulang sebongkah duka dan harapan. Meski saya berduka menyadari keadilan yang saat ini hampir terjatuh di titik nadir, perlawanan Mbak Suci membuat saya tidak putus harapan sekaligus bangga melihat sesama perempuan yang nurani dan tindakannya bersisian dengan apa yang benar.
Suatu hari, jika rasa takut dan sedih hinggap di sanubari, saya akan ingat kembali perbincangan saya hari itu dengan Mbak Suci, dan juga kata-kata Cak Munir: “Kita harus lebih takut pada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut akan menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita.”
Ini wawancara kami dengan Mbak Suciwati.
Q: Saat ini, Komnas HAM membuka kembali penyelidikan atas kasus pembunuhan Munir. Bagaimana perkembangan upaya ini?
Sudah setahun ini kasus Munir dibawa oleh tim di Komnas HAM untuk bisa dibawa menjadi kasus pelanggaran berat HAM, dan timnya sedang bekerja. Tahun lalu, yang sudah diperiksa itu Marsudi Hanafi, Ketua Pencari Fakta (kasus pembunuhan Munir). Hari ini, aku bersama Usman Hamid (dimintai kesaksian).
Aksi Kamisan di depan Istana Negara, kenapa kita pilih di Istana? Itu karena Istana Negara ini ‘kan tempatnya orang nomor satu? Yang bisa berkuasa, yang biasa kalau mau naik selalu janji akan selesaikan kasus pelanggaran berat HAM, dan itu (korban) dikhianati.
Q: Baru-baru ini, Aksi Kamisan mencapai 17 tahun. Bagaimana perasaan Mbak Suci melihat ribuan orang datang ke peringatan 17 tahun Aksi Kamisan pada Januari lalu?
Rasanya campur aduk. Tujuh belas tahun rasanya stuck, karena kita terus menerus dihadapkan pada kenyataan bahwa orang-orang bermasalah yang kita tuntut untuk bertanggung jawab dalam kasus pelanggaran berat HAM malah maju, mau memimpin bangsa ini, itu cukup memukul. Artinya, kita merasa selama tujuh belas tahun ini, suara kita tidak didengar.
Aksi Kamisan di depan Istana Negara, kenapa kita pilih di Istana? Itu karena Istana Negara ini ‘kan tempatnya orang nomor satu? Yang bisa berkuasa, yang biasa kalau mau naik selalu janji akan selesaikan kasus pelanggaran berat HAM, dan itu (korban) dikhianati.
Tentu saja itu yang membuat bangsa ini semakin ruwet, dan memperbaikinya pun semakin berat. Kita bisa lihat normalisasi kejahatan-apakah itu korupsi, kejahatan lingkungan, apalagi kejahatan HAM-semua itu tentu saja memalukan. Tapi, ada semangat di mana tiba-tiba orang-orang berduyun-duyun (datang), bahwa mereka melihat perjuangan yang kita lakukan selama ini menjadi ruang di mana kita bisa sama-sama bersuara. Mereka melihat bahwa perjuangan yang murni, yang selama ini kita lakukan.
Tapi, ada semangat di mana tiba-tiba orang-orang berduyun-duyun (datang), bahwa mereka melihat perjuangan yang kita lakukan selama ini menjadi ruang di mana kita bisa sama-sama bersuara. Mereka melihat bahwa perjuangan yang murni, yang selama ini kita lakukan.
Karena kita tidak berbasis pada kekuasaan, baik partai atau lain sebagainya. Kita nggak ada di sana, dan terus konsisten. Jadi (konsistensi) yang kita tunjukkan kepada mereka, dan kita terus melawan yang namanya impunitas.
Q: Cak Munir dibunuh pada tahun 2004, dua puluh tahun yang lalu. Selama dua puluh tahun pula, Mbak Suci menyuarakan keadilan untuk pelanggaran HAM yang berat. Apa yang paling Mbak Suci kenang dari sosok Cak Munir? Bagaimana Mbak Suci dapat bertahan dan memelihara harapan untuk keadilan bagi Cak Munir dan keluarga Mbak Suci?
Mengingat Munir adalah mengingat keberaniannya, mengingat ketulusannya, mengingat bagaimana ia ikhlas untuk berdiri di samping orang-orang tertindas. Dan itu dibuktikannya, bukan hanya kata-kata. Dia orang yang berani, cerdas, dan nyalinya luar biasa buat aku. Dia juga disegani oleh kawan dan lawan. Hari ini, kita belum menemukan lagi orang seperti dia dalam ketulusan, dalam ruang perjuangan, dalam kecerdasan untuk mengolah narasi bahwa negara ini seharusnya selalu didorong untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.
Perjuangan yang dia lakukan itu hampir di semua lini. Dia mencintai bangsa ini dengan luar biasa—orang-orang berpikir bahwa Munir benci pada militer, yang dia benci sebetulnya militeristiknya, bukan militernya. Bahkan, dia kemudian berjuang untuk orang-oran yang katanya dibenci itu tadi. Bagaimana pada kopral yang berpangkat rendah itu diperjuangkan kesejahteraannya oleh almarhum.
Mengingat Munir adalah mengingat keberaniannya, mengingat ketulusannya, mengingat bagaimana ia ikhlas untuk berdiri di samping orang-orang tertindas.
Polisi-polisi dulu juga sangat berterima kasih kepada almarhum karena ada pemisahan, tidak jadi satu dengan TNI. Dulu, ABRI polisi dan tentara jadi satu sehingga polisi menjadi underbouw-nya tentara. Tapi hari ini, mereka bisa berdiri dan sayangnya, kita bisa melihat perjalanan untuk memperbaiki citra polisi menjadi lebih baik itu masih panjang. Dan hari ini, kita melihat kemungkinan besar hadirnya dwifungsi ABRI lagi. Itu yang dulu dikritisi oleh Cak.
Kalau kemudian aku terus bersuara, itu memang bagian dari ruang di mana ini bukan hanya soal Munir, suamiku, tapi lebih dari itu. Ada seorang yang berjuang, pejuang yang luar biasa, menegakkan HAM, dia dibunuh memakai lembaga negara. Ini adalah sebuah pemufakatan jahat, tapi hanya kroconya yang dipenjarakan. Orang-orang yang duduk di lembaga yang disalahgunakan tadi malah bebas.
Jadi itu yang kita kritisi: bahwa lembaga negara yang dibiayai oleh rakyat malah dipergunakan untuk membunuh rakyat. Itu yang tidak boleh. Kita mengkritisi itu, dan kita perjuangkan, karena itu tidak boleh dilakukan. Dalangnya harus dibawa, jangan hanya orang-orang yang menjadi pelaku lapangan saja. Bahwa apa yang aku kerjakan itu tidak kenal lelah, itu bagian dari perjuangan berbasis cinta. Cinta pada keluarga, cinta pada kemanusiaan, cinta pada negara. Karena itu bagian dari mendorong lembaga ini menjadi lebih baik, dan supaya jangan disalahgunakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.
Makanya, kita juga waktu itu berkampanyenya ‘cabut duri dalam daging’. Itu salah satu yang kita kritik keras terhadap Badan Intelijen Negara. Kepada negara, ini tentu saja bagian dari kritik supaya negara tidak melanggengkan impunitas. Itu yang kita dorong, dan soal kemanusiaan, itu pasti.
Apa yang kita kerjakan sejak dulu itu penghormatan terhadap HAM. Selama ini, orang-orang bilang ada lagu, dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Manusianya mana? Nggak ada. Dan itu yang sekarang sedang terjadi. Di Ibu Kota Negara (IKN), Masyarakat Adat yang puluhan tahun ada di sana, dalam tujuh hari terancam diusir. Ini mengerikan. Bangsa ini mau dibawa ke mana? Kita itu orang-orang yang hidup tumbuh besar di sini bersama leluhur kita, tiba-tiba dicerabut dari akarnya. Ini tidak boleh terjadi. Ini yang harus kita lawan dan terus menerus kita suarakan. Aksi Kamisan bagian dari itu juga, yang melawan lupa, menolak impunitas. Itu yang kita suarakan kepada masyarakat umum dan tentu saja negara yang harusnya care, aware, tapi malah jadi pelaku penindasan.
Q: Mbak Suci, Cak Munir, dan juga Aksi Kamisan tanpa kenal lelah menyuarakan kemanusiaan dengan keberanian yang besar. Tapi, hari ini negara berani sewenang-wenang pada warganya. Mengapa negara hari ini berani melakukan kekerasan terhadap warganya, tapi tidak berani jujur soal kekerasan yang mereka lakukan, baik terhadap Cak Munir, korban pelanggaran HAM yang berat, maupun rakyat yang selama ini hidup dalam ketertindasan negara?
Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah. Pemerintah itu adalah orang-orang, dan orang-orang inilah yang, saya pikir, rakus dan tidak punya nilai visi dan misi kebangsaan tentang bagaimana mencintai Indonesia.
Mencintai Indonesia adalah mencintai manusianya. Bukan hanya sumber daya alamnya, bukan hanya tanahnya, lautnya. Bukan benda-benda mati saja, tapi ada ruang di mana tujuan utamanya seharusnya bagaimana meningkatkan derajat manusianya juga. Itu yang tidak dimiliki penguasa hari ini, dan tentu saja sangat membuat miris.
Kalau mau dibilang, ini sebuah lingkaran setan yang bahkan menarik benang merahnya pun susah. Korupsi menjadi sebuah hal yang biasa hari ini. Orang mau jadi PNS tidak perlu susah-susah kalau punya uang atau orang dalam (ordal). Orang-orang miskin yang berprestasi dan bisa masuk jadi PNS bisa dihitung jari. Hari ini, tidak malu-malu untuk menunjukkan (kecurangan), adab dan etik—itulah yang hari ini hilang. Nilai bangsa kita semakin rendah di mata dunia karena itu. Kesewenang-wenangan itu dipertontonkan.
Kejahatan bersama inilah yang membuat mereka semakin pongah untuk tidak lagi malu-malu dalam menginjak-injak apa yang hari ini seharusnya mereka lindungi. Justru kemudian mereka injak dengan lebih keras. Itulah yang hari ini membuat terjadinya normalisasi kejahatan, dan hilangnya etika yang kita junjung oleh leluhur kita, etika adab yang luar biasa. Dalam ruang kekuasaan, (penguasa) hanya bagi-bagi kekuasaan, bukan bagaimana kita sebagai bangsa besar dihargai karena punya integritas. Bukan soal membangun dalam ruang keindahan, tapi basisnya hutang-mencekik rakyat. Itu yang mau ditunjukkan hari ini-bagaimana membangun jembatan, membangun apa pun, bahkan IKN, berbasis hutang. Uang rakyat dipakai bukan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat, tapi untuk menyejahterakan orang-orang yang memiliki tanah di sana, itu mengerikan.
Mencintai Indonesia adalah mencintai manusianya. Bukan hanya sumber daya alamnya, bukan hanya tanahnya, lautnya. Bukan benda-benda mati saja, tapi ada ruang di mana tujuan utamanya seharusnya bagaimana meningkatkan derajat manusianya juga. Itu yang tidak dimiliki penguasa hari ini, dan tentu saja sangat membuat miris.
Q: Pemerintahan saat ini juga diisi perempuan, tapi mereka tidak punya keberpihakan ke kelompok yang dimarjinalkan, misalnya perempuan adat yang ruang hidupnya terancam direnggut akibat pembangunan IKN yang tidak mengindahkan suara warga dan Masyarakat Adat setempat. Di saat yang sama, Aksi Kamisan dipelopori, diperjuangkan, dan diorganisir serta dirawat oleh banyak perempuan. Bagaimana perasaan Mbak Suci saat berjuang bersama para perempuan di Aksi Kamisan, yang punya semangat yang sama untuk menuntut keadilan dan menghapus impunitas, berbeda sekali dengan perempuan-perempuan di seberangnya-di Istana Negara, dan masih belum berpihak pada warga dalam ketertindasan?
Aksi Kamisan kuinisiasi bersama teman-teman korban pelanggaran HAM yang selama ini dianggap tidak ada. Pemerintah selalu bicara kalau, “Ah, itu kan korbannya nggak ada.” Kenapa kita akhirnya bertahan di depan Istana (Negara) karena kita mau menunjukkan bahwa kami ada, korban itu ada. Kejahatan itu riil dan kami masih ada di sini. Apakah mau menunggu kami semua mati, sehingga mereka kemudian bisa memutihkan kejahatan?
Kenapa kita akhirnya bertahan di depan Istana (Negara) karena kita mau menunjukkan bahwa kami ada, korban itu ada. Kejahatan itu riil dan kami masih ada di sini. Apakah mau menunggu kami semua mati, sehingga mereka kemudian bisa memutihkan kejahatan?”
Itu yang membuat kami sangat was-was karena mereka akan menuliskan sejarah itu. Makanya penting buat kami agar (sejarah) itu ditulis oleh keluarga korban soal kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Rezim ya, kalau kita bilang, bukan negara lagi, tapi rezim yang melakukan itu. Para perempuan dalam ruang kekuasaan yang punya komitmen membela kesetaraan gender, mereka hanya bisa dihitung jari. Bagaimana kemudian apakah mereka membela para perempuan yang meninggal karena melahirkan. Kita masih banyak lho, ibu-ibu yang meninggal karena mereka tidak paham soal kesehatan dan sebagainya. Itu banyak banget di wilayah timur Indonesia.
Kemudian kita juga bisa melihat bagaimana banyak anak-anak perempuan, masih kecil-kecil, dinikahkan dini. Itu belum selesai di bangsa kita. Di satu sisi ada ketimpangan pengetahuan, ketimpangan perjuangan, atau apa pun ya, suara-itu seolah perempuan maju, perempuan banyak di ruang itu-tapi masih banyak sekali, jauh lebih banyak perempuan yang masih tidak berdaya secara ekonomi dan politik. Jadi jika keterwakilan perempuan didorong paling nggak 30% di lingkaran kekuasaan, itu apakah juga mewakili (rakyat)? Itu juga pertanyaan.
Pernah juga ada salah satu perempuan perwakilan dari partai, yang ketika ditanya selalu bilang, “Wah, saya apa kata ketua partai”. (Sikap) isunya tidak ada sama sekali. Itu sungguh mengerikan, dia hanya ditempel sebagai asal memenuhi bahwa ada perempuan, tapi isinya kosong. Itu yang kita sayangkan.
Q: Keberpihakannya terhadap rakyat minim ya, Mbak?
Apalagi soal keberpihakan. Ngomong visi, misi, keberpihakan nanti dulu, jauh banget itu. Aku (perempuan politisi) ada di situ aja dia nggak tahu, misalnya. Itu ‘kan mengerikan. Jadi, itulah bagian contoh yang selama ini kita lihat: banyak juga perempuan yang luar biasa. Tapi, apakah mereka diberi kesempatan untuk mengeksplor, diberikan kewenangan, dan sebagainya karena masyarakat kita sebenarnya belum siap untuk dipimpin oleh seorang perempuan. Dan ketika perempuan memimpin, identitas gender mereka selalu akan lebih diserang-bukan lagi soal bagaimana dia memimpin, soal kemakmuran, kesejahteraan, yang harusnya itu yang dikritik-selalu hal yang berbeda yang tidak ada dengan hubungannya. Seringkali itu (diskriminasi berbasis gender) yang dilakukan-Indonesia masih jauh soal perempuan.
Q: Aksi Kamisan banyak sekali diinisiasi oleh perempuan: Mbak Suci, Bu Sumarsih, Mbak Yati. Sebagai perempuan, saya merasa perspektif saya sebagai perempuan terwakilkan saat melihat perempuan berorasi di Aksi Kamisan. Saya bangga melihat banyak perempuan merebut ruang-ruang itu, ruang tempat seharusnya perempuan yang menceritakan langsung perspektif perempuan korban pelanggaran HAM yang berat. Menurut Mbak Suci, adakah perbedaan pengalaman antara perempuan korban pelanggaran HAM yang berat, dan laki-laki korban pelanggaran HAM yang berat?
Kalau aku melihatnya di beberapa hal, itu lebih pada konsistensi. Meskipun aku juga melihat banyak laki-laki yang punya konsistensi, aku melihat konsistensi para ibu-ibu, istri, itu merekalah yang kemudian terus mendorong ini agar keadilan itu mereka dapatkan. Bagaimana mereka kehilangan anaknya, anak yang hingga hari ini belum hadir, ditunggu-tunggu nggak pernah hadir, yang ditembak tanpa tahu siapa penembaknya, dipaksa untuk memaafkan. Maafkan sama siapa, angin? ‘Kan mereka selalu gitu-pemerintah kita, seperti pada kasus Kanjuruhan, yang menembak katanya angin, salahkan angin, bukan gas air matanya.
Perempuan lebih merasakan mengandung, membesarkan anak, kedekatan itu lebih jelas sehingga perlawanannya lebih konsisten dan lebih kepala batu. Bahwa ada memang (orang-orang) yang bisa dibeli dalam artian karena mereka kesulitan dalam ruang-ruang ekonomi, itu ya pasti tapi kita bisa melihat sangat sedikit perempuan yang bisa dibeli dibandingkan laki-laki.
Kebanyakan korban pelanggaran berat HAM laki-laki karena ini menyentuh kekuasaan, kita bisa melihat ada aktivis yang dulu pernah dipenjara tiba-tiba lompat pagar di sana. Bahkan, ada korban penculikan yang juga kemudian tiba-tiba ikut dalam rezim karena ada janji-janji manis. Tapi, sedikit ibu-ibu yang mau diajak ke ruang itu. Jadi, mungkin itu yang membedakan, di ruang di mana pencarian keadilan itu ya keadilannya harus dihadirkan.
Perempuan lebih merasakan mengandung, membesarkan anak, kedekatan itu lebih jelas sehingga perlawanannya lebih konsisten dan lebih kepala batu.Bahwa ada memang (orang-orang) yang bisa dibeli dalam artian karena mereka kesulitan dalam ruang-ruang ekonomi, itu ya pasti tapi kita bisa melihat sangat sedikit perempuan yang bisa dibeli dibandingkan laki-laki.
Q: Apa pesan dan harapan Mbak Suci untuk perempuan Indonesia di tengah kerentanan, penindasan, stigma, dan diskriminasi berbasis gender yang masih dialami banyak perempuan hari ini?
Perempuan sangat rentan terhadap penindasan dan kekerasan berbasis gender. Dulu saat aku bicara soal kasus Munir, ada yang bilang: “udah, kamu perempuan di rumah aja, urusin anakmu.” Seolah-olah aku nggak pernah ngurusin anakku. Pernah juga ada yang komentar ke saya: “sudah diam, iklaskan saja.” Seolah-olah aku nggak pernah ikhlas akan kematian itu. Dan mereka pikir apa yang aku lakukan itu hanya karena dendam. Padahal semua itu salah.
Seolah-olah aku nggak pernah ikhlas akan kematian itu. Dan mereka pikir apa yang aku lakukan itu hanya karena dendam. Padahal semua itu salah.
Mereka merasa paling tahu, tapi tidak bisa membayangkan bahwa ada seorang perempuan, ibu, sekaligus istri yang berjuang, bersuara keras, bekerja, dan membesarkan anak. Mereka anggap itu mustahil. Padahal, semuanya saya lakukan tanpa meninggalkan kewajiban saya menafkahi, membesarkan, dan memberi kasih sayang ke anak-anak saya sembari terus menuntut keadilan. Pengalaman itu adalah salah satu bentuk penindasan yang mereka lakukan kepada saya hanya karena saya perempuan.
Aku juga pernah diserang oleh salah satu orang yang aktif di partai dengan menggunakan dalil agama. Segera aku menjawab bahwa “saya bukan Nabi Muhammad, dan saya nggak mungkin seperti beliau yang luar biasa.” Kemudian orang itu memaki: “Oh, pantesan munir dibunuh.” Mendengar ucapan itu sangat menyakitkan. Sama seperti saat orang-orang itu menjadikan Aksi Kamisan sebagai isu lima tahunan belaka.
Perempuan Indonesia harus mendiri dalam berpikir dan mengambil tindakan. Banyak sekali perempuan yang hidupnya ditentukan oleh lingkungannya.
Kerentanan karena adanya serangan dan penindasan semacam itulah yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. Buat aku, perempuan Indonesia harus mendiri dalam berpikir dan mengambil tindakan. Banyak sekali perempuan yang hidupnya ditentukan oleh lingkungannya. Mereka tidak bisa menentukan pilihannya sendiri—diam saja atau berjuang untuk kemanusiaan dan keadilan.
Sering kali juga perempuan dilabeli dengan bermacam-macam stigma negatif. Misalnya, kalau pulang larut malam kita dianggap perempuan gampangan, bisa hamil di luar nikah, dan lain sebagainya. Teman-teman aktivis dan buruh familiar dengan stigma demikian. Jadi, saya pikir perempuan harus mandiri secara finansial dan mandiri dalam berpikir, supaya kita bisa terus menjadi diri sendiri.
Q: Sekarang banyak anak muda terutama perempuan Gen Z yang datang ke Aksi Kamisan, apakah Mbak Suci masih ada harapan bahwa kelak gerakan masyarakat sipil untuk melawan impunitas akan terus bertambah besar?
Harapan saya hanya itu memang. Aksi Kamisan dibuat untuk menghadirkan perubahan sosial. Rasanya sungguh membesarkan hati melihat anak-anak muda datang ke Aksi Kamisan, bertemu dan berkumpul dengan para korban 65, Talangsari, Lampung, Tanjung Priok, Papua, Aceh, kasus penculikan, penembakan terhadap mahasiswa, pemerkosaan, tragedi Mei, pembakaran Plaza Yogyakarta, Munit, dan banyak lagi.
Pernah ada anak SMA yang diskors oleh sekolahnya setelah dia ikut Aksi Kamisan. Tetapi orang tuanya memberikan restu pada anak tersebut. Menurutku itu keren dan luar biasa karena ternyata ada orang tua yang mendukung anaknya untuk bersikap cerdas dan berpihak pada korban.
Seharusnya sekolah lebih terbuka terhadap pengetahuan yang sumbernya tidak hanya dari buku pelajaran. Hari ini kita bisa belajar dari mana saja, termasuk media sosial, jurnal dan laporan digital dari lembaga seperti Komnas HAM, Arsip Nasional, dan lembaga kredibel lainnya. Edukasi tentang sejarah yang benar penting dilakukan, dan ujung tombaknya ada pada tenaga pendidik kita. Cerita dan fakta tentang pelanggaran berat HAM banyak yang tidak menegerti, sehingga banyak yang termakan oleh berita bohong.
Dan hari ini, yang menulis sejarah itu selalu pelaku, bukan korban. Makanya saya menuliskan perjalanan hidup saya dengan Munir dan apa saja yang dilakukan oleh suami saya dalam buku “Mencintai Munir” karena korban harus menuliskan fakta. Seharusnya anak muda lebih mudah mengakses sumber yang berbasis dari sebuah fakta lewat buku itu. Anak muda harus baca, supaya informasi yang mereka konsumsi bukan bersumber “katanya.” Itu yang mau saya dorong, karena saya juga punya anak. Anak harus menikmati masa depan yang bagus—hidup di negara yang mencintai hak asasi manusia, meskipun kita lihat hari ini buruk. Harapan saya anak-anak muda punya visi kebangsaan.
Seharusnya anak muda lebih mudah mengakses sumber yang berbasis dari sebuah fakta lewat buku itu. Anak muda harus baca, supaya informasi yang mereka konsumsi bukan bersumber “katanya.”
Q: Gimana cara agar kita bisa berjejaring dan saling menguatkan supaya kita bisa mencapai tujuan yang kita mau di tengah situasi kerentanan yang ada? Dan saat kita sudah mencapai tujuan itu, kondisi ideal seperti apa yang Mbak Suci bayangkan yang seharusnya terjadi di Indonesia?
Buat saya, edukasi itu penting untuk membangun komunitas-komunitas yang independen itu. Yang penting saling merawat dan menghargai, karena semuanya punya sesuatu untuk diperjuangkan masing-masing. Belum tentu orang-orang yang anti korupsi tahu cara menghargai perempuan, atau bagaimana banyak dari mereka tidak punya etika dan menindas yang lain. Jadi, ruang-ruang itulah yang harus terus-menerus dibangun. Di ruang-ruang itu juga standar ganda tidak boleh ditaruh. Contohnya, kamu diam ketika teman kamu melakukan kekerasan seksual. Karena kan di ruang-ruang itu kita menyepakati bahwa keadilan dan kebenaran adalah hal yang kita perjuangkan.
buat saya, inginnya Indonesia sudah tidak ada lagi kekerasan. Kita tidak dibungkam ketika berbicara, berhak kritis, dan pejuang-pejuang HAM itu dihargai dan mendapat perlindungan.
Jadi ya, buat saya, inginnya Indonesia sudah tidak ada lagi kekerasan. Kita tidak dibungkam ketika berbicara, berhak kritis, dan pejuang-pejuang HAM itu dihargai dan mendapat perlindungan. Saya tahu mewujudkannya pasti susah, karena pelaku-pelakunya masih berkeliaran, masuk, dan bersembunyi di ruang-ruang kekuasaan yang memberikan keputusan bersebrangan dengan kepentingan rakyat.
Sekali lagi, mimpi saya yaitu melihat Indonesia yang mandiri dan gak punya hutang lagi. Keindahan alam dan kekayaannya benar-benar untuk rakyat Indonesia, bukan untuk orang-orang kaya yang memiliki kepentingan. Harapan saya, Indonesia punya rakyat yang cerdas.
Q: Apa harapan Mbak untuk perkembangan penyelidikan kembali kasus Cak Munir ini, selain tentunya, supaya negara mengakui bahwa kasus ini adalah pelanggaran HAM berat terhadap Cak Munir? Kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk mendukung penuntasan bukan hanya untuk kasus Cak Munir saja, tapi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang lainnya?
Saya dari dulu selalu bilang seharusnya Komnas HAM sebagai lembaga independen diberikan kewenangan yang lebih seperti KPK, yaitu menyidik, tidak hanya menyelidiki. Tapi, kita juga bisa melihat bagaimana KPK dilemahkan, karena banyak pelakunya berada di partai-partai yang menang dan membiarkan para penjahat itu berkuasa.
Karena banyaknya disinformasi yang dijadikan sebuah keyakinan atau hoax yang diedarkan oleh mereka, banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai itu sama sekali. Hal itu yang membuat kita sebagai bangsa terus-menerus ketinggalan. Jadi, harapan saya, Komnas HAM akhirnya nanti akan berani mendorong hal ini menjadi kasus pelanggaran HAM berat. Sebetulnya terlambat, ya.
Dulu, ada pertanyaan lucu yang dilontarkan oleh komisionernya kepada saya selaku korban. Dia bertanya, “Kenapa kok dari dulu tidak dijadikan kasus pelanggaran HAM berat?”. Memangnya itu tugas saya? Kan itu tugas kamu selaku komisionernya. Kenapa ketika kamu jadi komisioner, tidak segera kamu lakukan?
Kalau dia tidak begitu memahami soal Deklarasi Universal HAM (DUHAM), soal hak asasi manusia, soal hukum HAM-nya, harusnya dia bisa mencari think tank yang memang ahli di sana. Itulah yang saya pikir mengapa Komnas HAM ini lama menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, sedangkan kasusnya ini terang-benderang. Terang-benderang dalam artian ini bukan kasus kriminal biasa, karena ini memakai lembaga negara. Bahkan putusan yang diberikan oleh hakim BPN Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung menyatakan bahwa ini sebetulnya pemufakatan jahat. Kemudian kalo Komnas HAM bisa menjadikan ini kasus pelanggaran HAM berat dan kemudian membawa kasusnya dalam pengadilan HAM ad hoc, saya harus mengacungi jempol, karena cukup lama Komnas HAM tidak melakukan apapun.
Kasus-kasus yang lain juga banyak yang mandek di kejaksaan, menumpuk dan tidak terselesaikan. Karena hal inilah mengapa dua lembaga itu tidak kredibel. Sehingga kita bisa melihat hari ini juga bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM hanya dijadikan politik lima tahunan. Itu sudah terbukti pada kekuasaan Jokowi. 10 tahun dia naik berkuasa membawa kasus hak asasi manusia, berjanji untuk menemukan Wiji Thukul, dan berjanji untuk menuntaskan kasus Munir tapi nyatanya bohong.
Kasus-kasus yang lain juga banyak yang mandek di kejaksaan, menumpuk dan tidak terselesaikan. Karena hal inilah mengapa dua lembaga itu tidak kredibel. Sehingga kita bisa melihat hari ini juga bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM hanya dijadikan politik lima tahunan.
Hari ini integritas itu hanya beberapa huruf aja. Tidak pada sebuah ruang di mana itu betul-betul ditegakkan dalam perilaku. Tidak ada.
Semakin kesini kita bisa melihat semakin banyak sekali kekacauan yang dilakukan. Jadi, harapannya, lagi-lagi ke depan semoga ada ruang-ruang di mana kita betul-betul punya presiden, DPR, dan aparatur negara yang berintegritas. Hari ini integritas itu hanya beberapa huruf aja. Tidak pada sebuah ruang di mana itu betul-betul ditegakkan dalam perilaku. Tidak ada.
Negara harus bertanggung jawab atas pembunuhan Munir, dan berbagai ketidakadilan serta kekerasan negara lainnya yang selama ini telah melanggar hak dan merugikan hidup orang banyak.
Mari bersolidaritas dengan korban pelanggaran HAM yang berat. Desak pemerintah usut tuntas kasus pelanggaran HAM yang berat, wujudkan keadilan dan pemulihan bagi korban, dan pastikan pelanggaran HAM yang berat tidak berulang.