Jalan Panjang Menanti Mereka yang Belum Pulang: Indonesia Harus Usut Tuntas Kasus Penghilangan Paksa

Setiap orang berhak hidup aman dan bebas dari segala ancaman, termasuk ancaman penghilangan paksa.

Setiap 30 Agustus, dunia internasional memperingati Hari Anti Penghilangan Paksa. Tanggal tersebut ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesadaran tentang tindakan penghilangan paksa yang beberapa kali terjadi di berbagai negara.

Mengenal tindakan penghilangan paksa

Penghilangan paksa terjadi ketika seseorang ditangkap, ditahan, atau diculik di luar kehendaknya atau dirampas kemerdekaannya oleh pejabat pemerintah, kelompok terorganisir, atau individu, yang bertindak dengan kewenangan, dukungan, atau persetujuan pemerintah. 

Penghilangan paksa juga dapat dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok oposisi bersenjata. ​

Tindakan penghilangan paksa kerap kali diikuti dengan penolakan pengungkapan nasib atau keberadaan korban, atau penolakan mengakui telah merampas kemerdekaan seseorang. Penghilangan paksa kerap digunakan sebagai strategi untuk membungkam mereka yang kritis ataupun menebar teror di masyarakat.

Kurangnya akses korban ke upaya hukum bisa menempatkan mereka dalam situasi yang rentan.​ Korban penghilangan paksa juga berisiko tinggi menjadi korban tindak penyiksaan, karena mereka ditempatkan di lokasi yang tidak diketahui. 

Tidak hanya itu, para korban penghilangan paksa juga berisiko tinggi mengalami pelanggaran hak asasi manusia lainnya, seperti kekerasan seksual atau bahkan pembunuhan.

Tindakan ini tidak hanya memberikan penderitaan kepada korban, namun juga membawa dampak bagi kerabat korban karena menghadapi ketidakpastian keberadaan dan nasib anggota kerabatnya yang dihilangkan. Mereka seringkali belum mendapat keadilan karena menunggu kabar yang tak pasti selama bertahun-tahun.

Aturan yang memuat ketentuan penghilangan paksa

Di dunia internasional maupun Indonesia, sudah ada beberapa aturan yang memuat ketentuan terkait penghilangan paksa. Ketika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan pada penduduk sipil, penghilangan paksa dapat dianggap sebagai salah satu elemen kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ini beberapa aturan hukum internasional yang memuattindakan penghilangan paksa:

  • Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (1992)
  • Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (1998)
  • Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (2006)

Hukum Indonesia yang memuat ketentuan penghilangan paksa:

  • Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  • Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

Kasus penghilangan paksa di Indonesia

Sejak 1965, berbagai pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia. Salah satunya: penghilangan paksa. 

Penghilangan paksa kerap digunakan untuk menyingkirkan mereka yang dianggap melawan dan mengancam pihak yang berkuasa.

Beberapa peristiwa bersejarah yang terdapat metode penghilangan paksa di dalamnya yaitu:

  • Tragedi 30 September 1965-1966
  • Penembakan misterius 1982-1985
  • Peristiwa Tanjung Priok 1984-1985
  • Peristiwa Talangsari 1989
  • Peristiwa Geudong dan Pos Sattis Lainnya di Aceh 1989-1998, 
  • Penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997-1998
  • Tragedi Wasior
  • Tragedi Wamena

dan berbagai kasus lainnya.

Walau beberapa kasus terjadi di masa lalu, penghilangan paksa tetap dianggap  sebagai kejahatan yang masih berlanjut (continuing crimes) bila kasus-kasusnya belum terselesaikan. Selama negara belum memaparkan kebenaran ke publik mengenai status para korban, kasus penghilangan paksa tidak bisa dilupakan begitu saja. Sepanjang keadilan belum diwujudkan, para korban dan keluarganya pun masih dilanggar haknya.  

Bagaimana perkembangan kasusnya?

Pada kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998, total terdapat 22 orang yang diculik oleh Tim Mawar—sebuah tim yang dibentuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada masa Orde Baru. Sembilan korban berhasil kembali dari penculikan, 13 korban masih hilang dan belum dikembalikan hingga sekarang.

Kasus ini pun diusut oleh internal ABRI dan dibawa ke Mahkamah Militer. Ada 7 perwira dan 3 bintara yang dianggap terlibat dalam kasus penculikan aktivis. Mereka pun dijatuhi hukuman pemecatan dan dituntut 15 bulan hingga 26 bulan penjara.

Penyelesaian kasus belum tuntas dengan hanya memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan. Keluarga masih menanti 13 orang yang hilang dan belum diketahui keberadaannya. 

Pada 2006, Komnas HAM juga membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi pro-yustisia dan merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM khusus untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun, rekomendasi tersebut belum dilaksanakan sampai sekarang.

Apa yang sudah dilakukan negara untuk usut kasus penghilangan paksa?

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM) sebagai langkah pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat. 

Tim ini bertugas mengungkap dan melakukan upaya penyelesaian non-yudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu; merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya; dan merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM yang berat, termasuk kasus penghilangan paksa,  tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Pada 11 Januari 2023, Tim PPHAM memberikan 11 rekomendasi kepada pemerintah. Poin pertama langsung dijalankan oleh Presiden Joko Widodo, yakni pengakuan dan penyesalan bahwa telah ada 12 pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara Indonesia.

Lebih lanjut, presiden turut menerbitkan Inpres No. 2/2023 yang memerintahkan 19 kementerian dan lembaga untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim PPHAM. Tiap kementerian dan lembaga ini diminta untuk saling berkoordinasi dan membantu memulihkan hak korban menyesuaikan dengan bidang lembaga masing-masing.

Misal, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, diperintahkan untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi korban atau anak-anak korban, memberikan bantuan perlengkapan atau peralatan kebudayaan, dan memberikan bantuan fasilitas pendidikan.

Kemudian ada Menteri Sosial yang diinstruksikan memberi bantuan dan atau rehabilitasi sosial dan memberikan jaminan hari tua bagi korban atau ahli waris serta korban terdampak yang berusia lanjut.

Namun, kebijakan ini memiliki beberapa kontroversi, di antaranya mengenai mekanisme pendataan korban yang belum jelas rujukan dan tolok ukurnya dan dapat berpotensi salah sasaran.

Seperti misalnya saat kick-off pelaksanaan rekomendasi PPHAM, masih banyak korban yang tidak tercatat karena perbedaan data antara yang dimiliki tim PPHAM dengan yang di lapangan. Seharusnya, mekanisme verifikasi dilakukan secara  komprehensif agar tidak ada korban yang dikecualikan dari pemenuhan haknya.

Program kick-off juga dibarengi dengan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong yang merupakan salah satu situs pelanggaran HAM berat di Aceh. Rumoh Geudong merupakan tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan warga sipil saat Aceh masih berstatus Daerah Operasi Militer (DOM).

Selain itu, Inpres terkait rekomendasi tim PPHAM belum memuat pemenuhan hak atas kebenaran bagi korban penghilangan paksa. Padahal, pemberitahuan kebenaran dan penulisan sejarah yang keliru telah masuk dalam rekomendasi Tim PPHAM poin 2 terkait pelurusan sejarah. Pelurusan sejarah sangat penting untuk memulihkan hak korban atas kebenaran.

Tanpa adanya penulisan ulang sejarah, para korban dan keluarga penghilangan paksa, contohnya korban peristiwa 1965, akan tetap terbelenggu stigma dan trauma dari masyarakat.

Baca: Deklarasi Kemerdekaan untuk Klarifikasi Kesejarahan, Kebenaran, dan Keadilan atas Kejahatan Kemanusiaan

Yang harus dilakukan agar penghilangan paksa tidak terulang kembali

Menanggapi kasus penghilangan paksa yang tak kunjung diusut tuntas, DPR RI pada periode 2009-2014 turut memberikan empat rekomendasi sebagai dorongan untuk pemerintah segera menuntaskan kasus. Salah satu rekomendasi ialah meminta pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Sebenarnya, Indonesia sudah menandatangani Konvensi ini sejak 27 September 2010.  Akan tetapi, hingga saat ini, Konvensi tersebut belum juga disahkan melalui aturan perundang-undangan di tingkat nasional setelah sempat ditandatangani pemerintah  pada 13 tahun yang lalu.

Kenapa Konvensi ini penting?

Konvensi ini berisikan 45 pasal yang fokus membahas penghilangan paksa secara spesifik mulai dari pemaknaan dasar, perlindungan, tata cara pemidanaan, hingga pemenuhan hak korban.

Untuk korban dan masyarakat, Konvensi ini dapat menjadi instrumen penting dan strategis untuk membela hak-haknya dari tindakan penghilangan paksa dan menuntut agar mekanisme hukum nasional diberlakukan secara maksimal dalam melindungi hak setiap orang dari tindakan tersebut.

Mekanisme perlindungan yang ada dalam pengesahan Konvensi ini juga penting karena tindakan penghilangan paksa bukan hanya terjadi di masa lalu, tetapi masih dapat terjadi di masa sekarang.

Maka, pemerintah harus segera ratifikasi konvensi ini sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan tindakan penghilangan paksa di Indonesia.

Mari bersolidaritas dan lawan ketidakadilan dalam praktik penghilangan paksa. Gabung bersama kami di s.id/AmnestySignUp.