Bukan Penjahat, Tapi Sempat Dipenjara: Kisah Daniel Tangkilisan dan Jerat UU ITE

Karimunjawa bagaikan biosfer yang berarti ruang hidup. Bukan hanya manusia yang hidup, melainkan ekosistem, flora, dan fauna. Semuanya harus bisa hidup bersama-sama. Jadi, kalau alamnya dirusak, maka budaya juga akan rusak. Akhirnya manusia juga akan rusak dan tidak bisa hidup di sana.”

Daniel Tangkilisan

Daniel Frits Maurits Tangkilisan, yang akrab disapa Daniel, adalah salah satu dari sekian banyak aktivis lingkungan yang dikriminalisasi karena memperjuangkan kelestarian alam di Indonesia. Dalam telekonferensi berdurasi satu setengah jam bersama Amnesty, suaranya terdengar tenang, merunut kembali peristiwa yang membuatnya dipenjara. 

Meski sempat ditahan dan hampir menjadi narapidana, Daniel sebenarnya adalah seorang laki-laki biasa yang hobi berwisata alam, sejarah, dan budaya. Baginya, alam adalah rumah kedua, tempat ia menemukan kedamaian dalam mendaki gunung, berenang di laut dan sungai, menikmati kopi hingga larut malam, dan menjelajahi situs-situs sejarah serta budaya. Setiap kali ia merindukan petualangan baru, ia menyisihkan uang, menabung sedikit demi sedikit hingga tabungannya cukup untuk menjelajahi keindahan Indonesia.

Setiap tahun sejak 2007 ia menjelajahi Indonesia Timur. Suatu kali nanti ia ingin mewujudkan mimpinya untuk berkunjung ke Leang-Leang di Sulawesi Selatan, tempat dimana lukisan goa tertua di dunia. Bagi Daniel, pengalaman ini bukan sekadar perjalanan, tetapi juga perjalanan spiritual yang membawanya lebih dekat dengan akar sejarah manusia.

Saat berada di penjara, untuk membunuh rasa bosan dan kerinduan pada alam, Daniel menemukan pelarian dalam membaca buku. Tiga buku favoritnya selama di penjara adalah Durga Umayi karya Y.B. Mangunwijaya, Engineers of Happy Land karya Rudolf Mrázek dan Letters and Papers from Prison karya Dietrich Bonhoeffer.

Titik nol dari rentetan kejadian yang membuatnya dikriminalisasi adalah delapan tahun silam. Saat Daniel pertama kalinya menjejakkan kaki di Karimunjawa pada tahun 2017, bukan sebagai aktivis, melainkan sebagai seorang guru. Lulus dari Program Studi Sastra Belanda Universitas Indonesia pada 1996, pada 2017 di Karimunjawa ia mengajar Bahasa Inggris dan Belanda secara gratis kepada penduduk setempat.


Setahun berlalu, bersama sejumlah penulis, fotografer dan pembuat film yang direstui para sesepuh, Daniel mengadakan “Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa” – sebuah ekspedisi penelitian sejarah yang dibiayai sebagian besar dari kantong pribadi, lahir dari rasa cintanya pada alam dan budaya Karimunjawa. Larut dalam perasaan sayangnya terhadap alam dan budaya Karimunjawa, ia kemudian memutuskan untuk menjadi pelaku wisata, mempromosikan paket-paket wisata berkelanjutan yang mempromosikan perlindungan alam. Melalui pengenalan budaya lokal, sehari-harinya Daniel dan teman-teman pelaku wisatanya menanamkan kesadaran tentang betapa berharganya alam yang lestari bagi Karimunjawa. 

Namun, badai datang tak terduga. Ketika pandemi COVID-19 melumpuhkan ekonomi masyarakat, Daniel bersama pelaku wisata lainnya mengkampanyekan agar Karimunjawa dibuka kembali demi menyelamatkan penghidupan warga. Tapi, di saat yang sama, tambak-tambak udang ilegal semakin marak, mengancam kelestarian alam yang diperjuangkannya. Tahun 2022, Daniel dan rekan-rekannya berdiri teguh menolak tambak udang ilegal melalui kampanye #SAVEKARIMUNJAWA, sebuah perjuangan yang mengawali titik balik dalam hidupnya.

Komentar sarkas yang ia tuliskan di Facebook terkait dampak limbah tambak udang di Karimunjawa menjadi awal mula kasus. Pada 8 Februari 2023, sebuah laporan seseorang membawa polisi menyambanginya di tempat kerjanya. Sepuluh bulan kemudian, Daniel ditahan oleh Polres Jepara. Namun kegigihan teman-temannya sesama aktivis lingkungan, seniman dan budayawan, ia berhasil dibebaskan sehari setelahnya. Tetapi sebulan kemudian ia kembali ditahan dan disidang. Usai melewati sidang demi sidang, akhirnya, vonis jatuh: 7 bulan penjara dan denda Rp 5 juta. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lagi-lagi jadi jurus jitu kriminalisasi pemerintah.

“Kasus ini mengajarkan saya satu hal: tanpa viralitas, keadilan tak akan pernah terwujud. No viral, no justice. Upaya mereka untuk menjebloskan saya ke penjara justru berbalik arah jadi senjata makan tuan. Berkat dukungan kalian yang membuat kasus ini terdengar ke mana-mana.

Daniel Tangkilisan

Namun, fajar tiba setelah malam yang gelap, perjuangan Daniel menemukan titik terang. Viralnya kasus Daniel mendatangkan ramai solidaritas masyarakat untuknya, hal itu menjadi bumerang bagi tambak udang ilegal di Karimunjawa.

Pada 22 Mei 2024, sehari setelah Peringatan Reformasi, Pengadilan Tinggi Semarang mengabulkan permohonan bandingnya. Daniel divonis lepas. Namun, kebebasan yang ia dapatkan bukanlah akhir perjuangan, melainkan babak baru dalam misinya menjaga alam Karimunjawa. Setelah menjadi korban kriminalisasi menggunakan UU ITE, Daniel kini menggugat pasal-pasal karet dalam UU tersebut yang acapkali digunakan untuk menjerat aktivis lingkungan. Langkah ini menunjukkan bahwa perjuangan Daniel tidak hanya terbatas pada advokasi isu lingkungan, melainkan meluas pada upaya mempertahankan kebebasan berekspresi dan perlindungan bagi para pembela hak asasi manusia (human rights defender). 

Apa yang membuatnya berjuang di isu lingkungan? Bagaimana UU ITE selalu menjadi batu sandungan bagi upaya perlindungan lingkungan? Mengapa ia nyaris di penjara? Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung perjuangan Daniel dan aktivis lingkungan lainnya?


Ini wawancara kami dengan Daniel Frits Maurits Tangkilisan.

Q: Kecintaan besar terhadap lingkungan itu lahir dari mana?

Sejak kecil, orang tua saya sering mengajak saya jalan-jalan untuk menikmati keindahan alam, biasanya ke pantai. Saya masih ingat persis, perjalanan keluarga menggunakan mobil pick up box, ditaruh kasur dan terpal di belakangnya yang terbuka, kami berpetualang dari Jakarta ke Bali, melewati Pantura dan Pantai Selatan. Kami mengunjungi gunung, pantai, candi-candi, dan keraton. Dari sinilah kecintaan saya pada alam dimulai.

Ketika kuliah, saya ikut kemping bersama teman-teman dari himpunan mahasiswa Sastra Belanda UI, dan kecintaan saya pada alam terus tumbuh. Ketika bekerja, saya bergabung dengan komunitas Couchsurfing dan berkunjung ke Karimunjawa. Nah, di situlah momennya. Saat saya bekerja mengajar di Jepara, saya menemukan tempat yang menyediakan segalanya—dari pantai, gunung, hingga budaya yang kaya, semuanya mudah dijangkau. Di sanalah saya merasa dekat dengan alam dan merasa nyaman. Pengalaman ini membuat saya jatuh cinta dengan Jepara dan Karimunjawa. Saya lahir dan tumbuh di kota Jakarta yang cepat, ramai, dan serba mencekik. Pelan-pelan, hidup membawa saya ke tempat yang lebih kecil, sepi, dan tenang. Saya sangat bersyukur, ada banyak hal yang bisa saya lakukan di sini. 

Sebab jika alamnya rusak, maka budayanya juga akan rusak, manusia akan kesulitan bertahan, dan akhirnya manusia mungkin suatu saat harus meninggalkan tempat itu.

Yang di pikiran saya waktu itu: jika saya hidup di sini, saya akan hidup bersama masyarakat yang juga hidup harmonis dengan alam, membentuk sebuah biosfer. Sebab jika alamnya rusak, maka budayanya juga akan rusak, manusia akan kesulitan bertahan, dan akhirnya manusia mungkin suatu saat harus meninggalkan tempat itu. Di Karimunjawa, saya merasa memiliki kehidupan yang lebih bermakna, di tempat yang masih menjaga keseimbangan antara alam dan budaya, sehingga kehidupan bersama dapat terus berlangsung dengan baik. Saya jadi ingin tinggal di sana.

Q: Lalu, kapan masalah lingkungan itu mulai muncul di Karimunjawa?

Masyarakat di Karimunjawa sebenarnya adalah masyarakat yang peduli dan ingin belajar tentang cara merawat lingkungan. Sebelum muncul masalah tambak, mereka sudah mulai menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik—mengganti botol plastik sekali pakai menjadi galon dan tumbler, serta ikut dalam kegiatan bersih-bersih pantai. Penginapan-penginapan pun mulai peduli soal pengelolaan sampah dan air.

Tambak-tambak udang ilegal ini ada sejak 2017. Pergerakan untuk menolaknya sudah ada tidak lama setelah itu. Meski waktu itu dampaknya belum terlalu parah, beberapa orang sudah sadar dan khawatir akan kerusakan lingkungan. Sayangnya, gerakan ini sempat surut terhenti karena intimidasi dari pihak-pihak petambak ilegal. Masyarakat pun akhirnya tidak berani melawan. 

Namun, semakin lama dibiarkan, semakin menjadi. Pertambahannya sampai 33 titik tambak ilegal. Pada 2022, gerakan #Savekarimunjawa muncul kembali, dimotori oleh masyarakat lokal yang tidak mau tinggal diam. Kesadaran ini akhirnya menyebar, bukan hanya di Karimunjawa, tapi juga ke kota-kota besar seperti Jepara dan sekitarnya. Ini bukan hanya soal melindungi alam, tapi juga melindungi hidup dan masa depan masyarakat di sana. 

Q: Apakah #Savekarimunjawa itu berhasil mengurangi praktik tambak ilegal di Karimunjawa?

Saya merasa gerakan ini berhasil. Khususnya, setelah saya dikriminalisasi, dipenjara, dan disidang, masalah ini akhirnya mendapat perhatian luas. Saya benar-benar melihat dan merasakan bagaimana jika tidak viral, maka keadilan sulit terwujud—no viral, no justice. Mereka (para penambak–read) awalnya ingin menekan kami, menjebloskan saya ke penjara, dan menghentikan perjuangan kami, tapi justru ini berbalik menjadi senjata makan tuan. Saya ingin berterima kasih kepada semua pihak—individu, lembaga, koalisi, dan semua yang di luar Karimunjawa yang ikut membantu mengangkat isu ini menjadi viral lewat media sosial, media cetak, dan media daring, sehingga kasus yang tertolong bukan hanya permasalahan kriminalisasi saya, tetapi juga pencemaran lingkungan oleh tambak udang ilegal akhirnya mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah. Kepada semua pihak yang ikut mengangkat isu ini, saya berterima kasih sekali. Kalianlah pahlawan kami.

Kasus yang tertolong bukan hanya permasalahan kriminalisasi saya, tetapi juga pencemaran lingkungan oleh tambak udang ilegal akhirnya mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah.


Gerakan #Savekarimujawa, yang dimulai dari masyarakat lokal, kini mendapat dukungan luas satu Indonesia. Pada pertengahan tahun 2023, Perda RT/RW di Jepara akhirnya menegaskan bahwa tambak udang tidak boleh ada di Karimunjawa. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan datang untuk memotong sendiri pipa-pipa tambak yang melanggar aturan. Para penambak ilegal ini disidang dan ditahan. Penambak yang menolak kooperatif ditangkap dan diperkarakan. Saat ini, para pemilik tambak sedang diadili, dan dari 25 pemilik, 4 di antaranya sedang disidang, sementara yang lainnya akhirnya bersikap kooperatif dan menutup tambaknya. Setelah saya divonis lepas, mereka justru disidang di Jepara. 

Tambak-tambak tersebut sudah ditutup, dan perlahan lingkungan mulai membaik. Dampaknya terlihat jelas pada ekonomi masyarakat—petani rumput laut yang dulu bangkrut kini sudah bisa kembali menanam dan panen, dan nelayan yang terkena dampak juga mulai pulih, meskipun masih dalam tahap pemulihan. Pariwisata pun perlahan kembali. Ini adalah bukti bahwa perjuangan ini berhasil. Ketiga sektor ini—pertanian rumput laut, perikanan, dan pariwisata—sudah mulai pulih, walaupun masih perlu pengawasan ketat terhadap persidangan para pemilik tambak dan kasus saya sendiri. 

Jika persidangan ini berakhir dengan kemenangan para pemilik tambak, mereka bisa kembali dengan kekuatan penuh ke Karimunjawa, merasa memiliki legitimasi, dan membuat tambak udang yang lebih luas lagi. Ini tidak hanya mengancam saya dan teman-teman yang pernah diadili dengan UU ITE, tetapi juga bisa mengarah pada kerusakan yang lebih parah, serta perubahan Perda RT/RW yang bisa membenarkan keberadaan tambak udang di Karimunjawa.


Q: Apa yang membuat Anda akhirnya mengunggah masalah ini ke media sosial?

Sebelumnya, kami berusaha mengajak Pj. Bupati Jepara untuk melihat kondisi Pantai Cemara yang tercemar limbah dari tambak udang. Setelah media nasional meliput kondisi pantai yang rusak, barulah pemerintah mengambil tindakan. Kami sebelumnya sudah mencoba berbagai cara, seperti mengirim surat dan mengadakan audiensi, tapi tindakan nyata baru terjadi setelah kasus ini menjadi viral. Namun, upaya pembersihan yang dilakukan tidak menyelesaikan masalah karena sumber pencemaran masih ada, yaitu tambak udang ilegalnya.

Itulah yang membuat saya memutuskan untuk memposting kondisi tersebut di media sosial, dengan harapan bisa mendapatkan perhatian kembali. Saya mention beberapa akun berita besar, berharap mereka akan membantu menyuarakan masalah ini. Namun, bukannya mendapatkan dukungan, saya justru dilaporkan.

Q: Bagaimana kronologi kasus yang menyebabkan Anda dilaporkan dengan UU ITE?

Perjalanan kasus ini bagi saya cukup panjang dan melelahkan. Awalnya, saya dilaporkan pada tanggal 8 Februari 2023, kemudian ditangkap oleh Polres Jepara pada 7 Desember 2023. Namun, berkat kegigihan teman-teman Kawali, seniman, budayawan Jepara, dan kawan-kawan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak bersama, mereka berhasil membuat saya dibebaskan sehari setelah penangkapan. Tapi, dengan syarat saya tidak boleh meninggalkan Jepara dan harus melapor setiap minggu. 

Pada 23 Januari 2024, saya dipanggil Kejaksaan Negeri Jepara dan dimasukkan kembali ke penjara. Meskipun ada 14 surat penangguhan penahanan yang diajukan, semuanya diabaikan. Saya akhirnya divonis pada 4 April 2024, dan baru pada Mei 2024, Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan untuk membebaskan saya.

Q: Selama proses hukum, apakah Anda sempat diancam atau diintimidasi oleh orang-orang yang melaporkan Anda?

Iya, saya sempat diancam melalui WhatsApp (WA) dengan pesan yang kurang lebih berbunyi, “Sini lo.” Saya disuruh menemuinya. Dalam perjalanan pulang dari Jepara ke Karimunjawa, saya juga sempat didatangi dan dipiting (dijepit lehernya dengan lengan–read). Saya dipaksa mengakui maksud komentar saya di media sosial itu sesuai permintaan mereka. Namun, saya menolak untuk mengakui sesuai permintaan mereka. Terlepas dari itu, setelah saya divonis bebas sampai sekarang, sudah tidak ada intimidasi lagi. Namun, yang saya tahu, teman-teman di Jepara ketika mengikuti persidangan petambak yang pertama atau kedua ponselnya sempat dirampas dan disuruh untuk menghapus gambar yang diambil menggunakan handphone

Dalam perjalanan pulang dari Jepara ke Karimunjawa, saya juga sempat didatangi dan dipiting (dijepit lehernya dengan lengan–read). Saya dipaksa mengakui maksud komentar saya di media sosial itu sesuai permintaan mereka.

Unggahan di akun Facebook yang menyuarakan dampak kerusakan lingkungan akibat tambak udang ilegal, 12 November 2022. Facebook Daniel Frits Maurits Tangkilisan.

Q: Menurut Anda, mengapa kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan pembela HAM terus terjadi di Indonesia? 

Kalau menurut saya, kriminalisasi dan serangan terhadap pembela HAM, khususnya pejuang lingkungan itu berakar dari kebijakan rezim, serta pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan seringkali mengorbankan masyarakat lokal.

Sempat ada rasa takut yang muncul. Namun, setiap kali saya diberi kesempatan berbicara di media, saya selalu mengatakan kepada teman-teman di Karimunjawa: ‘Jangan takut untuk bersuara.’ Kita tidak berjuang sendirian, alam juga berjuang bersama kita.”

Kampanye #SAVEKARIMUNJAWA berhasil menghentikan praktik tambak udang ilegal, 13 September 2024. Daniel Tangkilisan.

Masyarakat lokal terpinggirkan dari rumah mereka, kehilangan kemandirian, dan dibungkam dengan berbagai cara. Rezim ini menggunakan sistem keamanan yang represif, kekerasan, manipulasi hukum, dan mengkriminalisasi pembela HAM. Proyek Strategis Nasional (PSN), misalnya, melibatkan aparat bersenjata untuk mengamankan investasi, yang justru mengarah pada sikap otoriter. Saya mengambil data dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), dari 150 PSN di Indonesia, 144 di antaranya melibatkan anggota TNI untuk menjaga dan mengamankan objek-objek investasi. Siapa pun yang menentang pembangunan dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah dan pengusaha. Para pembela HAM lingkungan ini dituduh dengan tuduhan penghinaan, makar, dan berbagai pasal pidana lainnya. 

Padahal kalau saya lihat, masyarakat lokal khususnya di Karimunjawa sudah lama mandiri. Mereka bercocok tanam, mencari ikan, dan memiliki kemandirian pangan yang kuat. Bahkan, sebelum kemerdekaan dan masa Orde Baru, Karimunjawa jauh lebih mandiri dibanding sekarang. Dulu juga, penghasil kopra terbesar dari Karimunjawa. Pariwisata yang mulai berkembang di tahun 2000-an juga berjalan beriringan dengan ekonomi lokal yang mandiri. Namun, sekarang kita lihat bagaimana dampak sistem ekonomi sekarang, kemandirian masyarakat itu perlahan terkikis. 

Q: Apa saja implikasi dari penyalahgunaan UU ITE terhadap gerakan lingkungan dan hak asasi manusia di Indonesia?

Menurut saya, penyalahgunaan UU ITE sangat membatasi kebebasan para pembela lingkungan dan HAM. UU ITE ini terlalu bias dan sering dijadikan alat untuk mengekang ruang sipil, membatasi orang untuk berpendapat di media. Ini jelas melanggar hak kebebasan berpendapat dan mendapatkan informasi. Dari pengalaman saya dan teman-teman, apapun yang ditulis, sehalus apapun, bisa digunakan untuk menyerang si penulis.

Tentu, sempat ada rasa takut yang muncul. Namun, setiap kali saya diberi kesempatan berbicara di media, saya selalu mengatakan kepada teman-teman di Karimunjawa: ‘Jangan takut untuk bersuara.’ Kita tidak berjuang sendirian, alam juga berjuang bersama kita.

Selain itu, menurut saya, masalah rendahnya perlindungan bagi pejuang lingkungan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan integritas aparat penegak hukum dalam memahami pasal 66 UU PPLH. Meski sudah ada Perma Nomor 1 Tahun 2023 yang mengatur penyelesaian sengketa lingkungan, masih dibutuhkan kerangka hukum yang tegas untuk melindungi pejuang lingkungan, seperti hukum anti-SLAPP (Anti-Strategic Lawsuit Againsts Public Participation).

UU ITE yang berlaku sekarang adalah versi 2024, tapi aparat penegak hukum masih sering menggunakan UU ITE versi 2016. Saya berharap pemerintah bisa mengkaji ulang UU ITE ini dengan lebih melibatkan partisipasi publik, karena masih ada pasal-pasal multitafsir yang bisa mengkriminalisasi orang yang menyuarakan pendapatnya di ruang digital.

Q: Kira-kira, bagaimana tanggapan masyarakat internasional atas kasus Anda? 

Setahu saya, sebelum saya dilaporkan dan ditahan, sudah ada masyarakat internasional yang datang ke Karimunjawa dan menyadari kondisi di sana. Mereka membantu kami dengan membuat video yang kemudian kami unggah di Instagram. Beberapa tamu dan wisatawan juga merekam kondisi ini, baik saat masih di Karimunjawa atau setelah mereka pulang, dan menyatakan keprihatinan serta kemarahan mereka.

Ada juga seorang Jerman yang menulis artikel panjang dan komprehensif di sebuah website berbahasa Jerman, khusus membahas masalah-masalah di Asia Tenggara. Dia berada di Karimunjawa sampai awal 2023, dan dari pengamatannya, dia menuliskan artikel tersebut.

Saya juga dengar dari PBHI bahwa publik dan masyarakat internasional merespons positif dan peduli terhadap masalah yang saya hadapi. Melalui jaringan Forum Asia, PBHI telah membuat kasus ini dikenal publik. Mereka bahkan telah mengadakan rapat konsultatif tertutup dengan special rapporteur on the independence of judges and lawyers, membahas pengaruh buruk aktor ekonomi pada sistem peradilan dalam konteks SLAPPS.

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang menerima banding saya dan membebaskan saya juga sudah mempertimbangkan peran saya sebagai pembela hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta sebagai pembela HAM. Keputusan ini juga mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh PN sebelumnya. 

Perjuangan ini tidak berhenti di keputusan pengadilan yang membebaskan saya, atau di penutupan tambak udang ilegal. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana kita memulihkan apa yang sudah rusak dan memperbaiki hubungan antar masyarakat.”

Q: Bagaimana rencana Anda untuk terus berjuang demi lingkungan setelah pembebasan ini?

Tentu saya terus berjuang, dan bukan cuma saya, kita semua berjuang. Saya mengajak teman-teman semua untuk terus memperjuangkan hak-hak kita. Saya tidak sendiri, saya bersama teman-teman di Karimunjawa, di Jepara, dan kini semakin banyak yang bergabung dalam perjuangan ini. Ini menguatkan, bahwa di tengah banyaknya masalah di negara ini—lingkungan, HAM, dan kelompok rentan seperti masyarakat adat—kita harus ingat satu hal: bersatu kita teguh.

Baru-baru ini, ada aktivis perempuan yang dikriminalisasi di Jawa Tengah, dan teman-teman aktivis di Sumatera Utara juga ditangkap. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk kita bersatu, meskipun perjuangan kita mungkin berbeda-beda, kita tetap harus saling mendukung. Bersatu kita teguh.

Dan semuanya dimulai dari kesadaran. Kesadaran bahwa lingkungan merupakan ruang bersama yang perlu dijaga agar kita bisa hidup dengan baik di dalamnya. Kalau ekosistemnya baik, maka ekonominya juga akan baik, begitu pula sebaliknya.

Saya akan terus berjuang untuk Karimunjawa, melalui kampanye, advokasi, dan budaya. Saya percaya budaya dan kesadaran masyarakat bisa menyelamatkan lingkungan lebih efektif daripada aturan semata. Aturan apapun tidak akan berarti tanpa kesadaran. Oleh karena itu, kita harus berupaya melalui budaya untuk melestarikan lingkungan kita.


Perjuangan ini tidak berhenti di keputusan pengadilan yang membebaskan saya, atau di penutupan tambak udang ilegal. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana kita memulihkan apa yang sudah rusak dan memperbaiki hubungan antar masyarakat. Pemulihan ini harus diperjuangkan, dan saya tidak bergerak sendiri. Saya bersama teman-teman dari Karimunjawa, Jepara, dan juga dari berbagai organisasi seperti Amnesty International, PBHI, Safenet, PilNet, KontraS, Walhi, Greenpeace, Komnas HAM, Kawali, BEM dan Iluni UI, masyarakat adat serta masyarakat umum lainnya

Dan semuanya dimulai dari kesadaran. Kesadaran bahwa lingkungan merupakan ruang bersama yang perlu dijaga agar kita bisa hidup dengan baik di dalamnya. Kalau ekosistemnya baik, maka ekonominya juga akan baik, begitu pula sebaliknya. Mari kita terus berjuang bersama.

Saat ini, Daniel sedang mengerjakan penerjemahan sebuah buku sejarah tentang Jepara dan Karimunjawa, yang ditulis oleh Jean-Marc Gillone, seorang berkewarganegaraan Prancis. Buku ini tidak hanya mengupas sejarah, tetapi juga menyelami legenda-legenda Karimunjawa yang penuh dengan misteri sekaligus kedamaian.

Mari kita bersolidaritas dengan para aktivis yang dikriminalisasi karena memperjuangkan lingkungan dan hak asasi manusia. Desak pemerintah untuk segera merevisi pasal-pasal karet dalam UU ITE yang kerap disalahgunakan untuk membungkam suara kritis. Kita juga perlu mendorong penerapan hukum anti-SLAPP guna melindungi para pejuang lingkungan dari gugatan yang menekan. Bersama, kita bisa mewujudkan keadilan hukum yang melindungi kebebasan berekspresi dan hak atas lingkungan yang sehat. Solidaritas kita adalah kunci untuk perubahan yang lebih adil dan berkelanjutan. Lawan!