Menanggapi dugaan serangan digital terhadap seorang aktivis demokrasi Neni Nur Hayati setelah mengkritik Gubernur Jawa Barat di media sosial, Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, mengatakan:
“Ini adalah serangan terhadap kebebasan sipil dan semakin menegaskan kemunduran serius dalam iklim kebebasan berekspresi di Indonesia. Kritik yang sah dibalas dengan serangan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi di Indonesia. Ini harus segera dihentikan.
Aparat penegak hukum di Indonesia harus secara proaktif mengusut serangan digital ini. Setiap kegagalan dalam menyelidiki ataupun membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan, memperkuat keyakinan bahwa para pelaku serangan memang berdiri di atas hukum. Jika ruang berekspresi terus dibungkam, maka kita akan terus mundur ke zaman gelap otoritarianisme yang seharusnya telah lama kita tinggalkan.
Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan membiarkan — apalagi berperan dalam — pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara.
Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi yang diatur di Pasal 19 ICCPR berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan termasuk informasi dan gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah.”
Latar belakang
Neni Nur Hayati, aktivis demokrasi sekaligus direktur lembaga Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, kepada Amnesty International Indonesia hari ini (17/07) mengungkapkan bahwa selama tiga hari berturut-turut menerima serangan digital secara bertubi-tubi.
Dalam tiga hari terakhir, 15-17 Juli 2025, Neni mendapatkan serangan serius berupa doxing, ujaran kebencian, hingga peretasan melalui akun digital instagram @neni1783 dan akun tiktok @neninurhayati36 yang tidak ada hentinya. Serangan digital itu terjadi setelah Neni membuat postingan video lewat TikTok pada 5 Mei 2025 mengenai bahaya buzzer yang dapat mengancam demokrasi dan eksistensi negara. Dalam video tersebut, dia sama sekali tidak menyebut Gubernur Jawa Barat, yakni Dedi Mulyadi (KDM). Video tersebut ditujukan untuk seluruh kepala daerah yang terpilih pada Pemilihan Umum Serentak 2024.
Neni menyadari bahwa memang dalam beberapa video mengkritik kebijakan KDM, tetapi juga dalam video lain ada pula yang dia apresiasi. Setelah kritik terkait buzzer tersebut, ungkap Neni, foto pribadinya muncul di akun-akun media sosial yang dikelola pemerintah Provinsi Jawa Barat di antaranya Diskominfo Jabar, jabarprovgoid, humas_jabar, dan jabarsaberhoaks pada 16 Juli kemarin.
Amnesty melakukan verifikasi terhadap salah satu akun resmi Pemprov Jabar di Instagram, yaitu Diskominfo Jabar dengan alamat https://www.instagram.com/reel/DMJpANzzZK0/?igsh=aXBxdjl5NHB2Zmxq. Dalam konten itu ditampilkan video penjelasan KDM disertai narasi yang menyatakan tidak ada anggaran khususnya belanja media yang digunakan untuk membayar buzzer. Namun konten tersebut juga menampilkan foto Neni, tanpa sepengetahuan dan persetujuan sebelumnya dari pemilik foto. Bersamaan dengan itu, sudah tiga hari akun Instagram dan TikTok Neni banjir hujatan dengan kata-kata kasar secara bertubi-tubi.
Kepada Amnesty, Neni juga mengungkapkan semua akun medsosnya tengah diretas. Akunnya di WhatsApp tidak dapat diakses sehingga tidak dapat membalas pesan. Dia pun kesulitan mengakses akunnya di TikTok.
Amnesty International Indonesia mencatat bahwa selama Januari hingga Juli 2025 terdapat setidaknya 16 kasus serangan digital terhadap 17 pembela HAM di Indonesia.