Usut tuntas penyiksaan di Puncak, evaluasi penempatan TNI di Tanah Papua

Menanggapi beredarnya video penyiksaan terhadap Orang Asli Papua (OAP) yang melibatkan anggota TNI, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan: 

“Kejadian ini adalah penyiksaan kejam yang sungguh merusak naluri keadilan. Menginjak-injak perikemanusiaan yang adil dan beradab. Kepada keluarga korban, kami menyatakan duka mendalam.

“Tidak seorangpun di dunia ini, termasuk di Papua, boleh diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, apalagi sampai menimbulkan hilangnya nyawa.  

“Pernyataan-pernyataan petinggi TNI dan pejabat pemerintah lainnya soal pendekatan kemanusiaan maupun kesejahteraan menjadi tidak ada artinya sama sekali. Diabaikan oleh aparat di lapangan. 

“Tindakan itu bisa terulang karena selama ini tidak ada penghukuman atas anggota yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa.

“Bantahan Pangdam Cendrawasih adalah contoh pernyataan yang terkesan menutupi. Reaksi ini bisa membuat bawahan merasa dilindungi atasan saat terlibat kejahatan. 

“Ini penyiksaan serius dan mengandung rasisme yang kuat. Selain semua pelaku non-Papua, coba dengar kata-kata makian pelaku sambil terus menyiksa. Kejam dan rasis.

“Kami mendesak dibentuknya tim gabungan pencari fakta untuk mengusut kejadian ini secara transparan, imparsial, dan menyeluruh. Harus ada refleksi tajam atas penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua yang selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban, baik orang asli papua, non Papua, termasuk aparat keamanan sendiri. 

Later belakang

Pada 21 Maret 2024, Amnesty International Indonesia menerima video berisi tindakan penyiksaan terhadap Orang Asli Papua (OAP) di Kabupaten Puncak. 

Di dalam video tersebut, ada seorang OAP sedang mengalami penyiksaan. Dia dalam keadaan kedua tangan diikat dari belakang, dimasukkan ke dalam drum warna biru berisi air yang memerah karena darah. Kepala korban berulang kali dipukuli dan ditendangi secara kejam oleh para pelaku yang bertubuh tegap, berkaos dan berambut cepak, salah satunya memakai kaos hijau bertuliskan angka 300.

Para penyiksa yang memukuli dan menendangi korban secara bergantian, juga mengatakan ujaran kasar dan bernada rasis, “Angkat muka, angkat muka, angkat muka, anjing, bangsat!” Kemudian seorang lagi berkata kepada rekannya yang sedang memukul korban, “Gantian, gantian, sabar dulu.” Ada juga yang berkata, “Jangan main tangan.”  

Video penyiksaan berdurasi 16 detik tersebut disebar tanpa mengungkapkan identitas korban dan tidak dicantumkan waktu dan lokasi kejadian. Sumber-sumber kredibel Amnesty menyatakan bahwa korban adalah OAP. 

Sumber-sumber Amnesty juga menyatakan, tindakan penyiksaan yang beredar dalam video tersebut merupakan bagian dari penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI dari Kodam III/Siliwangi, Yonif 300 Raider Braja Wijaya terhadap tiga pemuda asli Papua pada tanggal 3 Februari 2024. Dari pemberitaan media, pasukan ini diketahui dikirim ke wilayah Puncak, Papua, untuk patroli perbatasan dan dikabarkan telah kembali ke Markas mereka di Cianjur, Jawa Barat.

Korban penyiksaan sempat dibawa ke rumah sakit. Namun salah satu di antaranya, korban yang berada dalam video, akhirnya meninggal dunia. 

Dalam pernyataan persnya, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan membantah kejadian tersebut dan mengatakan bahwa tidak benar anggota TNI menyiksa warga sipil. Pangdam juga menyebut video itu adalah hasil rekayasa. 

Hak untuk terbebas dari penyiksaan adalah bagian dari norma-norma yang diakui dan ditaati secara internasional (peremptory norms atau jus cogens). Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 20 terhadap Pasal 7 ICCPR telah menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan praktik penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apapun. 

Dalam hukum nasional, larangan terhadap praktik penyiksaan juga telah diatur secara jelas dalam Konstitusi, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU No. 5 tahun 1998 tentang ratifikasi atas United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Keseluruhan aturan tersebut semakin menegaskan bahwa tidak seorang pun patut disiksa atas alasan apa pun.