Menanggapi kasus pembubaran kegiatan keagamaan dan perusakan rumah doa di Kota Padang, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, mengatakan:
“Kekerasan berbasis kebencian terhadap pemeluk agama berbeda, apalagi sampai menyasar anak-anak menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap hak beribadah warga sesuai keyakinannya. Ini adalah potret buram kehidupan beragama di Indonesia. Pihak berwenang harus segera mengusut dan menyeret pelakunya segera ke meja hijau.
Kasus di Padang ini terjadi hanya sebulan setelah insiden serupa di Sukabumi, saat sekelompok orang membubarkan dan merusak tempat retret pelajar Kristiani pada 27 Juni lalu. Keberulangan ini terjadi karena ketidakseriusan negara dalam melindungi warga dalam beragama. Hal ini mengirimkan pesan ke masyarakat luas bahwa para pelaku kejahatan berbasis kebencian memang bisa berdiri di atas hukum.
Negara bukan hanya tidak serius menindak insiden semacam ini, tetapi juga tidak mau merevisi aturan diskriminatif seperti Surat Keputusan Bersama Menteri dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006, yang justru kerap dijadikan dalih untuk melarang segala bentuk ibadah dari warga atas dasar agama dan keyakinan berbeda dari arus utama.
Negara harus bertindak tegas. Tangkap dan adili pelaku kekerasan berbasis agama di Padang dan Sukabumi. Cabut kebijakan yang membuka ruang diskriminasi bagi umat yang beragama berbeda. Pemerintah pusat juga harus mengambil langkah-langkah efektif, termasuk memastikan kepolisian sigap saat kejadian serupa. Pastikan mereka, apalagi anak-anak, bebas dari rasa takut, intimidasi dan serangan saat beribadah.
Kegagalan negara untuk bersikap tegas tidak hanya memperdalam luka dan ketakutan warga penganut agama minoritas, namun juga mengingkari kebebasan beragama bagi setiap warga negara yang dijamin konstitusi.”
Latar belakang
Sekelompok orang membubarkan paksa aktivitas ibadah dan pendidikan agama di sebuah rumah doa milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Minggu sore 27 Juli 2025. Tak hanya itu, mereka juga merusak fasilitas dan bangunan yang menjadi lokasi rumah doa tersebut.
Dalam rekaman video yang disebarkan oleh media dan warganet di media sosial, tampak sekelompok pria merangsek ke sebuah bangunan. Terdengar teriakan “Bubar…bubar!” Aksi mereka tersebut menyebabkan orang-orang yang berada di dalam bangunan – termasuk ibu-ibu dan anak-anak – terpaksa keluar.
Selain itu beberapa orang bersenjatakan kayu langsung menghancurkan kaca-kaca jendela bangunan. Padahal di dalamnya masih terdapat ibu-ibu dan anak-anak kecil. Terdengar pula tangisan anak-anak saat dipaksa keluar oleh sekelompok orang. Lalu, rekaman video itu juga terdengar teriakan “Hancurin…hancurin semua!”
Laporan media mengungkapkan insiden itu menyebabkan dua anak, masing-masing berusia 8 dan 11 tahun, terluka akibat terkena pukulan dan lemparan benda keras. Insiden tersebut juga membuat anak-anak ketakutan dan menangis. Selain menyebabkan kaca-kaca jendela pecah, inisiden itu juga menyebabkan beberapa kursi dan alat elektronik di tempat itu hancur, serta aliran listrik di rumah doa itu terputus.
Seorang pendeta GKSI Anugerah Padang kepada media mengungkapkan insiden terjadi saat di rumah doa itu sedang berlangsung kebaktian dan pengajaran agama Kristen bagi sekitar 30 anak dengan didampingi orang tua mereka.
Ketua RW setempat menyebut bahwa insiden terjadi berawal dari kesalahpahaman informasi bahwa bangunan Rumah Doa itu dianggap sebagai gereja.
Sedangkan pendeta GKSI Anugerah Padang menjelaskan bahwa Rumah Doa itu didirikan bukan sebagai gereja, namun sebagai tempat pembelajaran dan ibadah bagi anak-anak jemaat GKSI Anugerah Padang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan nilai agama di sekolah.
Polda Sumatra Barat mengungkapkan telah menangkap sembilan orang yang terlibat dalam insiden tersebut. Wakapolda Sumbar juga mengungkapkan tidak tertutup kemungkinan jumlah yang terlibat bisa bertambah.
Hak warga negara untuk beragama dan berkeyakinan dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 18 dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.