Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia, yang merupakan bagian dari Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua, melaporkan kasus penyerangan kantor redaksi Jujur Bicara (Jubi) Papua, yang terjadi pada 16 Oktober 2024 yang lalu, ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta pada Selasa (29/10).
Pelaporan tersebut diterima langsung oleh Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dan Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing, yang juga selaku Tim Penanganan Kasus Komnas HAM. Erick Tanjung, Koordinator KKJ Indonesia, membuka pertemuan dengan menjabarkan kronologi kejadian dan sejumlah catatan yang perlu direspons secara serius oleh Komnas HAM.
“Pengaduan kami ini hendak menyampaikan kasus serangan teror berupa pelemparan bom molotov yang terjadi di Kantor Redaksi Jubi, Jayapura. Kejadian pelemparan bom molotov tersebut mengakibatkan dua mobil operasional Jubi terbakar, dan tidak ada korban jiwa. Dari olah TKP diketahui ada rekaman CCTV, di mana dapat diketahui ada dua pelaku yang menggunakan sepeda motor, tapi tidak ada nomor polisi dan kedua pelaku menggunakan masker dan helm sehingga tidak terlalu jelas terlihat. Sekarang sudah hampir 2 (dua) pekan pasca pelaporan ke polisi, namun belum ada tindak lanjut dari Polda Papua,” kata Erick.
Berdasarkan hasil verifikasi KKJ dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura, terdapat sekitar 7 (tujuh) orang saksi dalam radius sekitar 20 meter dari lokasi kejadian. Para saksi menyatakan bahwa terduga pelaku bersepeda motor itu sudah bolak balik di sekitar kantor redaksi Jubi dan ada satu orang yang coba mengejar pelaku, tapi menghilang di sekitar lokasi Kompleks Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sebelum serangan ke kantor redaksi Jubi, Januari tahun lalu seorang jurnalis senior Jubi juga mengalami teror bom rakitan yang terjadi dekat rumahnya. Ada rekaman CCTV, juga menunjukkan dua orang dengan ciri-ciri yang sama. Tapi Polda Papua justru menghentikan perkara (SP3) dan bahkan Pra-Peradilan ditolak. Selain teror bom, kaca mobilnya dipecah dan juga rem mobilnya blong.
Rangkaian teror yang dialami oleh jurnalis Jubi ini berupa serangan fisik, digital dan psikis dan terjadi dalam kurun 2 (dua) tahun terakhir. Rangkaian kejadian ini diduga kuat merupakan serangan yang dilakukan secara sistematis terkait dengan kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh tim redaksi Jubi, yang secara konsisten mempublikasi isu-isu kemanusiaan di Tanah Papua. Serangan ini merupakan bentuk pelanggaran HAM dan mengancam kemerdekaan pers.
“Kami mengapresiasi Komnas HAM yang menerima pelaporan kami, di tengah ancaman berlapis yang dialami oleh para jurnalis saat ini. Ke depan, tugas jurnalis semakin berat, khususnya bagi generasi jurnalis muda yang merasa terancam dengan praktik penundaan berlarut (undue delay) dalam pengusutan kasus-kasus penyerangan dan kekerasan terhadap jurnalis yang mengancam kemerdekaan pers,” kata Erick.
“Kami berharap adanya titik terang dan pengungkapan aktor intelektual di balik serangan-serangan yang dialami oleh jurnalis saat ini. Apalagi Jubi dikenal sebagai media yang kritis terhadap berbagai kebijakan negara, termasuk proyek strategis nasional ketahanan pangan yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat, serta pengungkapan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan,” lanjut Nany Afrida, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Merespons laporan KKJ Indonesia tersebut, Atnike Nova Sigiro selaku Ketua Komnas HAM, menyampaikan hal berikut:
“Terkait kasus yang dialami Kantor Jubi pada 16 Oktober yang lalu, Komnas HAM melalui Kantor Perwakilan Komnas HAM di Papua telah melakukan pemantauan di kantor redaksi Jubi. Akan tetapi pemantauan ini belum selesai, karena prosedur ini meliputi permintaan keterangan dan informasi. Kasus ini telah mendapatkan atensi kami dan akan ditindaklanjuti segera. Terkait serangan terhadap jurnalis di beberapa kasus lain, Komnas HAM juga telah merespons dan menindaklanjuti kasus tersebut. Serangan terhadap Jubi juga tidak dapat dilepaskan dari kompleksitas kondisi politik dan keamanan. Sementara kami akan melakukan pendalaman atas pengaduan yang disampaikan hari ini dan akan berkoordinasi dengan Komnas HAM Papua.”
Uli Parulian Sihombing selaku Koordinator Subkomisi Penegakan HAM, lebih menyoroti profesionalitas jurnalis dan media dalam praktik-praktik penyerangan terhadap jurnalis. “Komnas HAM meminta hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim KKJ untuk kasus penyerangan yang dialami oleh Jubi. Jurnalis memang harus dilindungi, terlebih di wilayah berkonflik.”
Dalam kesempatan yang sama, Chikita Edrini Marpaung selaku Pengacara Publik LBH Pers juga mendorong Komnas HAM agar secara pro-aktif melakukan pemeriksaan di lapangan.
“Mengingat Komnas HAM memiliki kewenangan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa pelanggaran HAM, di mana praktik teror bom molotov yang dialami oleh jurnalis dan media Jubi ini juga bukan yang pertama kali, kami tim KKJ dan Koalisi memohon Komnas HAM secara pro-aktif untuk dapat menjalankan fungsi tersebut. Mengingat sudah dua pekan setelah pengaduan ke kepolisian, kasus tersebut belum juga naik ke tahap penyidikan dan belum ada barang bukti yang ditetapkan untuk membuat terang kasus penyerangan tersebut.”
Setelah pengaduan ini, KKJ Indonesia dan Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua akan melakukan kegiatan audiensi lainnya dengan berencana menyambangi sejumlah instansi lain, seperti Mabes Polri dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), guna mendorong proses penegakan hukum dan mencegah praktik impunitas terhadap serangan atas kerja-kerja jurnalis dan kemerdekaan pers.
Jakarta, 29 Oktober 2024
Tentang Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia:
Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 11 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).