Klaim Pembangunan Jokowi, semu dan anti kritik

Pemerintah harus meninggalkan pembangunan semu anti kritik yang tidak berpihak pada rakyat. Pemerintah justru harus menjamin dan mengakui hak masyarakat adat dalam proyek pembangunan, termasuk proyek strategis nasional (PSN), kata Amnesty International Indonesia hari ini dalam acara Diskusi Publik “Refleksi Kemerdekaan RI ke-79: Pembangunan untuk Siapa” di Jakarta (16/08).

Dalam pidato yang disampaikan pada Sidang Tahunan MPR/DPR, Presiden Jokowi mengklaim sejumlah keberhasilan pembangunan yang dilakukan pemerintahannya dalam sepuluh tahun terakhir.

“Pembangunan di masa Jokowi yang diklaim berhasil, malah mencerminkan keberhasilan yang semu. Proyek-proyeknya bersifat elitis dan bukan berangkat dari kepentingan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Presiden juga menyampaikan permintaan maaf tanpa menjelaskan bentuk kesalahan yang telah dilakukan pemerintah.

“Seharusnya permintaan maaf ditujukan atas semua kebijakan pembangunan yang alih-alih memperbaiki ekonomi dan keadilan sosial, malah kerap mengancam masyarakat adat pemegang ulayat dan lingkungan sekitar mereka. Jadi pembangunan ini dia lakukan untuk siapa? Bila pembangunan untuk rakyat, mengapa malah mengancam kehidupan mereka,” jelas Usman.

Usman menyoroti masih banyak masyarakat adat yang lahannya tidak diakui secara formal oleh pemerintah. Ini membuat masyarakat adat selalu berada dalam posisi rentan akan konflik agraria dan kerap menjadi korban proyek-proyek pembangunan, baik yang digarap pemerintah dan swasta.

Sedangkan masyarakat adat yang bersuara kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria kerap menghadapi serangan. Amnesty International Indonesia mencatat dari periode Januari 2019 hingga Maret 2024, terdapat setidaknya delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 84 korban.

Para korban tersebut ada yang dilaporkan ke polisi, ditangkap, dikriminalisasi, maupun menerima intimidasi dan serangan fisik saat memperjuangkan hak-hak mereka.

Masih jauh dari harapan
Jaya Darmawan, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengutarakan bahwa pembangunan inklusif dan berkelanjutan yang gencar dinarasikan selama pemerintahan Jokowi ternyata belum memberi hasil yang diharapkan.

“Dampak pembangunan pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial masih jauh dari harapan. Anak muda banyak yang menganggur. Sebanyak 10 juta gen-Z, yaitu anak muda usia 15-24 tahun, tidak sedang bekerja, bersekolah, atau mengikuti pelatihan. Tingginya jumlah anak muda yang tidak memiliki aktivitas tersebut akan menjadi bom waktu di masa depan,” ujar Jaya.

Dia juga menyoroti ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang makin besar di Indonesia di tengah penurunan kelas menengah. Ironisnya 50 orang terkaya mengalami kenaikan 40% kekayaan. Di sektor lain, performa logistik Indonesia tertinggal di kawasan ASEAN.

Sumiati Surbakti, Direktur Yayasan Srikandi Lestari, menyoroti lemahnya perlindungan Negara terhadap pelestarian lingkungan di tengah gencarnya narasi pembangunan. Perambahan hutan dan perusakan lingkungan terus merajalela.

“Hutan-hutan terancam habis dialihfungsikan. Namun Negara kerap membiarkan aksi-aksi perambahan hutan. Sementara warga setempat yang berjuang untuk menyelamatkan lingkungan mereka malah kerap terancam dikriminalisasi,” ujarnya.

Ully Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengritik modus operandi Pembangunan di masa pemerintahan Jokowi. Menurutnya, kebijakan disusun tidak berdasarkan partisipasi penuh dari rakyat, khususnya Perempuan.

“Proyek-proyek pembangunan ataupun izin industry ekstraktif tidak berdasarkan partisipasi penuh dan bermakna rakyat, bahkan tidak menghormati hak rakyat untuk menyatakan tidak,” kata Ully.

Selain itu, lanjutnya, negara kerap melakukan kekerasan dengan menggunakan alat negara seperti polisi dan tentara, bahkan di banyak kasus menggunakan preman dan ormas, atas warga maupun aktivis yang menentang proyek-proyek yang merusak lingkungan.

WALHI mencatat terdapat 2.710 kejadian konflik agraria selama rezim Jokowi. Pada tahun 2021 saja WALHI menemukan 72% konflik disebabkan operasi bisnis perusahaan swasta dan 13% lainnya adalah PSN.

Amnesty International Indonesia mencatat dari periode Januari 2019 hingga Mei 2024 terdapat sedikitnya 17 kasus serangan atas setidaknya 23 aktivis lingkungan. Mereka ada yang dilaporkan ke polisi, ditangkap, dikriminalisasi, maupun menerima intimidasi dan serangan fisik.

Pembangunan hanya untuk elite
Sementara itu, sastrawan dan sosiolog Okky Madasari mengingatkan bahwa buruknya Negara menjalankan pembangunan sudah terlihat selama mereka tidak mendengar gagasan, masukan, termasuk suara-suara kritis dari publik, dalam proses pengambilan keputusan.

“Jadi suara-suara kritis dalam berbagai bentuk dan medium, mulai dari demonstrasi hingga musik dan sastra, belum menjadi sebuah pijakan dalam proses kebijakan pembangunan kita,” kata Okky.

Oleh karena itu tidak heran bila muncul suara-suara bahwa pembangunan selama ini hanya untuk elite politik, penguasa, dan mereka yang punya modal dan akses pada regulasi. Okky juga menilai bahwa sudah seharusnya Indonesia menekankan pada pembangunan manusia.

“Jadi pembangunan jangan hanya identik dengan infrastruktur, gedung-gedung besar, namun juga kualitas intelektual warga negara, pemenuhan hak-hak dasar warga negara, dan juga hak warga untuk merdeka dalam berpikir dan menyampaikan pikiran,” ujarnya.

Seniman dan anggota DPR terpilih 2024-2029, Once Mekel, menyatakan walaupun gencar melakukan pembangunan infrastruktur, pemerintahan Jokowi jangan abai untuk menghormati HAM seluruh rakyat. “Penegakan, perlindungan, dan pemajuan HAM adalah tugas negara, khususnya pemerintah,” ujar Once.

Dia pun berharap bahwa pemerintah jangan hanya berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur. “Pembangunan seharusnya juga menciptakan ruang-ruang bagi ekspresi seni dan turut mendorong seniman-seniman di Indonesia berekspresi.” (*)