Jangan lupakan Tragedi Tanjung Priok, tuntaskan hingga korban merasakan keadilan

Memperingati Tragedi Tanjung Priok 1984, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Sudah 39 tahun Tragedi Priok berlalu dan masih menjadi luka bagi korban yang belum mendapatkan keadilan. Para korban belum melihat kesungguhan Pemerintahan Jokowi dalam menegakkan hukum atas kasus yang tergolong pelanggaran HAM berat tersebut. Apalagi kasus itu juga tidak masuk dalam daftar 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui dan disesalkan oleh Presiden Jokowi.”

“Mantan petinggi aparat keamanan yang bertanggung jawab tidak dituntut. Beberapa perwira menengah ke bawah yang diproses hukum berakhir dengan vonis bebas. Akibatnya, negara gagal memberikan penghukuman dan memulihkan hak-hak korban dan keluarganya.”

“Kami mendesak negara segera mengusut kembali kasus itu, dengan memperhitungkan semua bukti yang diperlukan dan mencari kebenaran yang belum terungkap sampai korban merasakan keadilan.”

“Pastikan semua pelaku yang terlibat dalam Tragedi Priok 1984, termasuk dalang pelaku yang terlibat di baliknya, diadili sesuai hukum yang berlaku serta berdasarkan prinsip peradilan yang adil.”

“Negara juga patut menyediakan ganti rugi yang pantas bagi keluarga korban yang selama ini menderita akibat tragedi ini, termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Negara melalui DPR juga perlu segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) agar kejahatan kemanusiaan seperti Tragedi Tanjung Priok tidak lagi terjadi,” lanjut Usman.

Latar belakang

Tragedi Tanjung Priok, terjadi pada 12 September 1984, merupakan kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru. Dokumen yang diterbitkan Amnesty International pada 1985 berjudul “Statement of Amnesty International’s Concerns in Indonesia” mengungkapkan pasukan keamanan saat itu menembaki kerumunan umat Muslim yang saat itu menggelar aksi protes ke kantor polisi dan markas Kodim Jakarta Utara untuk menuntut pembebasan empat orang yang ditahan.

Menurut laporan Amnesty itu, akibat insiden tersebut diperkirakan 30 orang ditembak dan tewas, dan lebih dari 200 orang ditangkap. Mereka ada yang dituduh menyerang aparat, menghancurkan properti, dan menyebarkan kabar bohong seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Beberapa lainnya kena tuduhan subversi, yaitu dakwaan yang dapat diganjar hukuman maksimal berupa hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden 11/1963 atau dikenal dengan “Undang-undang Anti Subversi.”

Menurut temuan Komnas HAM, setidaknya 79 orang menjadi korban, dengan 55 orang terluka dan 23 lainnya meninggal dunia akibat tindakan represif negara. Selain itu, banyak orang ditangkap tanpa proses hukum yang jelas, dan beberapa di antaranya hilang.

Kasus Tragedi Tanjung Priok pernah masuk proses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada 2003. Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah dan negara diinstruksikan memberikan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.

Para terdakwa lalu mengajukan banding dan pada 2005 Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan para terdakwa. Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun pada 2006 Mahkamah Agung menolak permintaan jaksa untuk membatalkan keputusan bebas tersebut, dengan alasan bahwa kasus itu bukan merupakan pelanggaran HAM (karena korban bersenjata) dan kasus tersebut harus diproses di pengadilan pidana, bukan pengadilan HAM ad hoc.

Putusan bebas tersebut juga mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Jaksa juga gagal mengungkap peran pihak yang merencanakan, lemah dalam menyusun surat dakwaan, dan tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada saksi dan korban. Di luar proses pengadilan, terdakwa bahkan menawarkan islah kepada korban dan saksi, yang mengakibatkan banyak dari mereka menarik kesaksian atau mencabut pernyataan mereka.

Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius tahun 1982-1985, tragedi Rumah Geudong di Aceh tahun 1989, penghilangan orang paksa di tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998. Namun, dari 12 kasus itu, tidak ada tragedi Tanjung Priok.