Catatan Akhir 2022: Suram, Wajah Masa Depan HAM di Indonesia

Tidak selesainya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akibat kebijakan setengah hati Pemerintah, masih tingginya keterlibatan negara maupun pembiaran negara dalam berbagai peristiwa pelecehan dan intimidasi terhadap warga, aktivis maupun akademisi yang mengkritik pejabat, menyuarakan masalah lingkungan, membahas korupsi, atau membela kelompok minoritas, hingga disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada tanggal 6 Desember 2022 menambah suram wajah penegakan HAM di tahun 2022 dan tahun-tahun ke depan, kata Amnesty International Indonesia dalam Catatan Situasi HAM 2022 yang disampaikan hari ini di Jakarta, (9/12/2022).

Kami memantau situasi HAM sepanjang tahun 2022. Ada berbagai kebijakan dan tindakan negara yang menggerus kebebasan sipil, penanganan setengah hati atas kasus pelanggaran HAM masa lalu, berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM baru dengan keterlibatan aparat keamanan negara yang berakhir dengan impunitas. Dan parahnya, di akhir tahun kita justru disuguhi sebuah undang-undang pidana yang menambah suram masa depan HAM di Indonesia

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Kondisi HAM tahun 2022 menjadi suram karena kebebasan sipil menyusut, budaya kekerasan dan impunitas terutama di Papua dan Papua Barat, keputusan setengah hati Presiden dalam membentuk tim penyelesaian non-yudisial bagi kasus pelanggaran HAM masa lalu, hingga pengesahan KUHP yang bukan hanya membuktikan negara tidak serius melindungi HAM di dalam negeri, tapi juga mencoreng wajah Indonesia di mata dunia dalam bidang pemajuan dan penghormatan HAM.


Menyusutnya kebebasan berekspresi

Sebelum RKUHP disahkan, kebebasan berekspresi yang merupakan salah satu pilar kebebasan sipil pun sudah mengalami penurunan. Pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerapkali digunakan untuk menjerat, mengadili, dan menghukum beragam orang seperti jurnalis yang melaporkan kasus korupsi, akademisi yang mengkritik kebijakan universitas, dan konsumen yang membuat ulasan kritis. Meskipun ketentuan pencemaran nama baik dinyatakan akan dihapus dari UU ITE, namun ketentuan tersebut tetap tercantum dalam RKUHP.

Selama tahun 2022 ini, UU ITE digunakan pada setidaknya 37 kasus pelanggaran atas kebebasan berekspresi dengan 46 korban. Sebelas kasus di antaranya merupakan hasil patroli polisi virtual.


“Melihat sederet tindak kekerasan aparat yang terjadi setahun terakhir ini, bahkan dari beberapa tahun belakangan, serta bagaimana penegak hukum merepresi mereka yang kritis, kami temukan pola di mana warga yang mendukung kebijakan negara difasilitasi, sedangkan mereka yang melawan ditindas, terutama di wilayah seperti Papua/Papua Barat.”

— Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia

Berulangnya pembunuhan di luar hukum

Di saat bersamaan, pemerintah dan aparat hukum masih melanggengkan praktik impunitas. Dalam pembunuhan di luar hukum, seperti tragedi Paniai misalnya, penegakan hukum masih dilakukan setengah hati. Kondisi ini diperburuk oleh putusan bebas kepada satu-satunya pelaku yang dibawa ke pengadilan. Amnesty melihat bahwa proses peradilan yang telah berjalan tidak berorientasi terhadap pemenuhan hak-hak korban, khususnya hak atas keadilan dan kebenaran.

“Ada beberapa poin penting mengapa persidangan kasus Paniai layak disebut sebagai pengadilan sandiwara. Salah satu hal terpenting, yaitu konstruksi peristiwa semula dan hubungannya dengan pertanggungjawaban komando, tidak tergambar kuat di dalam dakwaan,” jelas Usman.

“Proses persidangan juga tidak berhasil menggali dan mengembangkan temuan Komnas HAM bahwa peristiwa Paniai merupakan perpanjangan dari kebijakan keamanan negara.”

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Dalam konteks kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat, keterlibatan setiap orang termasuk pelaku lapangan, komando atau atasan efektif di lapangan, serta pelaku pembiaran, seharusnya diusut tuntas dan diadili di pengadilan sesuai UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

“Putusan pengadilan ini dapat digunakan negara sebagai justifikasi bahwa peristiwa Paniai telah diusut tuntas. Padahal, putusan sandiwara seperti ini justru akan melanggengkan impunitas dan berulangnya pembunuhan di luar hukum, utamanya di wilayah Papua/Papua Barat.”

Pemantauan Amnesty menunjukkan pembunuhan di luar hukum di Papua/Papua Barat sepanjang tahun 2022 setidaknya mencapai 14 kasus dengan 36 korban. Lima kasus di antaranya melibatkan terduga pelaku dari anggota Polri dan TNI. Sembilan kasus terbanyak diduga dilakukan oleh orang tak dikenal dan kelompok pro-kemerdekaan.

Jumlah korban tahun ini meningkat dari angka di tahun sebelumnya (21 kasus dengan 28 korban). Terlebih, dari kasus-kasus yang diduga dilakukan oleh aparat tersebut, belum ada satupun yang telah diproses hukum di pengadilan umum.

“Sayangnya proses hukum untuk kasus seperti ini berjalan sangat lambat. Masih ingat kasus Pendeta Yeremia? Setelah otopsi tahun lalu, hingga hari ini para pelaku belum dibawa ke pengadilan negeri, baru diproses di Pengadilan Militer sama dengan kasus-kasus sebelumnya,” ujar Usman.

Amnesty telah mencoba mengklarifikasi identitas terdakwa dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani kepada Pengadilan Militer. Kami mendapati bahwa tiga terdakwa yang disidangkan berbeda dengan temuan investigasi tim gabungan independen pencari fakta yang dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan maupun hasil investigasi tim kemanusiaan Intan Jaya yang dimotori masyarakat sipil.

Untuk pembunuhan di luar hukum yang berada di luar wilayah Papua/Papua Barat, data pemantauan kami mendokumentasikan bahwa angkanya mencapai 30 kasus dengan 31 korban di sepanjang 2022. Mayoritas terduga pelaku (27 kasus) berasal dari anggota kepolisian. Sayangnya, dari 27 kasus tersebut baru empat yang diproses hukum.


Penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan

Dalam sebuah diskusi daring di awal Februari tahun ini, Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono, mengatakan lembaganya tengah berupaya menghilangkan budaya kekerasan di kalangan anggota kepolisian. Namun, tahun ini menunjukkan kenyataan sebaliknya. Beberapa pekan sesudah pernyataan tersebut disampaikan, aparat kepolisian diduga menggunakan kekuatan berlebihan dan penangkapan sewenang-wenang terhadap warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, yang menolak proses pengukuran lahan untuk pertambangan batu andesit.

Selain itu, awal Oktober menjadi salah satu periode kelam perilaku aparat negara. Pada  Sabtu 1 Oktober 2022 sekitar pukul 22.00 WIB, setelah pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya usai, terjadi insiden penembakan gas air mata ke arah tribun suporter Arema, dan membuat suporter di tribun tersebut berdesakan membubarkan diri keluar stadion lalu terjadi penumpukan massa.

Menurut investigasi Komnas HAM, aparat menembakkan setidaknya 45 tembakan gas air mata, 27 tembakan terlihat dalam video sementara 18 lainnya terkonfirmasi dari suara tembakan, di dalam stadion Kanjuruhan pada malam nahas tersebut. Komnas HAM bahkan menyebut penembakan gas air mata dilakukan tanpa koordinasi dengan Kapolres Malang dan atas diskresi dari masing-masing pasukan.

Berdasarkan panduan hak asasi manusia untuk aparat penegak hukum Amnesty International, yang disusun berdasarkan standar PBB tentang Pedoman Perilaku bagi Para Petugas Penegak Hukum, paparan gas air mata dapat menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit.

Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Gas air mata tergolong sebagai senjata yang kurang mematikan atau ‘less-lethal weapon’ yang menjadi alternatif dari penggunaan senjata api konvensional. Meski demikian, apabila digunakan dalam konteks dan cara yang berlebihan, dampak ‘less-lethal weapon’ juga dapat mematikan.

Akibat kejadian tersebut, data pemantauan kami menunjukkan bahwa setidaknya 578 orang -termasuk aparat keamanan -menjadi korban, 135 di antaranya meninggal dunia.

Sebagian besar korban (420) mengalami luka ringan dan dirawat di 25 fasilitas kesehatan yang ada di wilayah Malang. Empat orang aparat keamanan (tiga dari Polri dan satu dari TNI) telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain mati atau luka-luka.

“Aparat penegak hukum harus mengakhiri kekerasan yang menimbulkan pelanggaran HAM. Kekerasan ini, dalam banyak kasus, adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang kemudian diperparah dengan rendahnya tingkat akuntabilitas.”

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Budaya kekerasan dan penyiksaan

Budaya kekerasan menjadi salah satu pemicu dari tindak penyiksaan yang dilakukan oleh aparat. Menurut Komnas HAM dalam sebuah keterangan pers menyikapi kasus penyiksaan oleh anggota kepolisian di wilayah Bekasi dan Jakarta Selatan tahun ini, budaya tersebut membuat polisi yang terlibat kekerasan mengabaikan aspek formal dalam pekerjaan mereka yakni bahwa penyiksaan, dalam bentuk apapun, melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan.

Pada 15 Februari 2022, tujuh anak di bawah umur (MT, DM, PW, WM, AM, EM dan MK) -yang merupakan siswa kelas 4 SD -diduga kuat menjadi korban penganiayaan dan penyiksaan oleh aparat TNI karena dituduh mencuri senjata di Pos PT Modern, Bandara Tapulunik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua. Akibat perbuatan ini, satu anak meninggal dunia.

Nahasnya, kisah tujuh anak tersebut juga dialami Arfandi Ardiansah (18). Pada bulan Mei 2022, Arfandi tewas usai ditangkap tim Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Makassar di Jl. Terowongan Rappokalling Barawaja, Kota Makassar. Ia ditangkap atas dugaan kepemilikan narkotika. Saat ditangkap dan dilakukan penggeledahan badan, ditemukan  narkotika jenis sabu dalam lima bungkusan kecil serta uang Rp200.000,00 di kantong celananya. Polisi juga menemukan satu bungkusan kecil berisi sabu di dalam sadel motornya. Usai dilakukan penggeledahan, Arfandi tidak langsung diperiksa di Kantor Polrestabes Makassar, tetapi dibawa ke pos terlebih dahulu untuk diinterogasi.

Beberapa saat setelah diinterogasi di dalam pos, Arfandi kemudian dibawa ke RS Bhayangkara dengan luka memar di tubuhnya (muka, tangan bagian siku, telapak tangan dan kaki). Dalam perjalanan dari pos tempat interogasi menuju ke RS Bhayangkara, Arfandi menghembuskan nafas terakhirnya.

Kasus Arfandi dan tujuh anak di Sinak hanyalah dua dari sembilan kasus penyiksaan yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan (tiga kasus oleh TNI dan enam kasus oleh polisi) di tujuh Provinsi Indonesia (Sumatera Selatan, Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, Papua Barat) selama tahun 2022. Korbannya mencapai 21 orang. Jumlah ini jauh meningkat bila dibandingkan capaian korban di tahun sebelumnya (15 orang).

“Situasi ini sangat mengkhawatirkan. Berbagai standar HAM internasional telah menyatakan bahwa hak untuk terbebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya bersifat absolut – artinya, tidak ada alasan apa pun yang dapat menjustifikasi praktik penyiksaan oleh dan kepada siapa pun, dalam situasi apa pun,” kata Usman.

“Kekerasan berulang, korban terus berjatuhan, namun di saat bersamaan penegakan hukumnya berjalan lambat atau tidak berjalan sama sekali. Sebagian besar pelaku lolos hanya dengan sanksi administratif.” .

“Pemerintah Indonesia boleh saja membangga-banggakan pencapaian bidang HAM di depan forum internasional, tapi fakta di lapangan berkata lain.”

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Pengesahan RKUHP

Pengesahan RKUHP berjalan di tengah kritik berbagai pihak mengenai pasal-pasal yang mengancam kebebasan sipil maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia, terutama dari kaum marjinal dan minoritas, meniadakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM, merendahkan martabat manusia serta membahayakan hak asasi secara umum.

“Pasal-pasal yang bertentangan dengan prinsip HAM internasional, di antaranya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah, penyiaran berita bohong, pasal penyelenggaraan aksi tanpa izin, penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara, dan pencemaran nama baik,” kata Usman.

“Dipertahankannya pasal-pasal itu menunjukkan ketidakpercayaan negara terhadap warganya. Ini mengingatkan kita akan otoritarianisme rezim Orde Baru ketika negara merasa berhak membatasi ruang gerak warganya di luar ketentuan yang diperbolehkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.”

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

KUHP yang baru juga berpotensi menghilangkan kekhususan asas retroaktif yang terdapat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM yang berat sebagai tindak pidana khusus dalam UU Pengadilan yang mengenal pemberlakuan retroaktif telah kembali berpotensi diubah. Artinya, segala pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya aturan ini, tidak dapat diproses hukum. Hal ini jelas mengancam hak korban atas keadilan.

“Ini pukulan telak bagi korban dan keluarga korban yang telah memperjuangkan keadilan selama puluhan tahun. Pukulan telak bagi mereka yang setiap hari Kamis menggugah nurani pemimpin negara di depan Istana. Apakah empati sudah sedemikian langka di hati anggota Dewan dan Pemerintah?,” ujar Usman.

“Indonesia memiliki kedudukan internasional yang masih baik. KUHP ini jelas mencederai sikap Indonesia yang telah meratifikasi sembilan perjanjian internasional HAM utama. Ke depan, kita harus mendorong agar KUHP dapat diperbaiki. Kita harus membela hak-hak kita dan hak orang lain. Masyarakat sipil adalah kunci resiliensi kemajuan HAM di Indonesia.”

“Kepada Pemerintah, kita perlu terus menyuarakan bahwa kita membutuhkan ekonomi yang berinvestasi dalam hak asasi manusia dan bekerja untuk semua orang.”


Latar Belakang

Hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Dalam instrumen hak asasi manusia internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD 1945, serta pada Pasal 14 dan 25 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Hak untuk berkumpul secara damai dijamin di Pasal 21 ICCPR dan Komentar Umum Nomor 37 terhadap Pasal 21 ICCPR. Komentar Umum tersebut menjelaskan bahwa: “Sebuah kegiatan berkumpul hanya boleh dibubarkan dalam kasus-kasus tertentu. Pembubaran boleh dilakukan saat sebuah kegiatan tersebut sudah tidak lagi damai, atau jika ada bukti jelas adanya ancaman nyata terjadinya kekerasan yang tidak bisa ditanggapi dengan tindakan yang lebih proporsional seperti penangkapan terarah, tapi dalam semua kasus, aparat penegak hukum harus mengikuti aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan.”

Pasal 19 ICCPR mengizinkan pembatasan kebebasan berekspresi untuk alasan ‘keamanan nasional’ — sebuah elemen yang biasa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk melabeli tindakan ‘makar’. Pembatasan tersebut dijelaskan secara lebih mendalam di Prinsip-Prinsip Siracusa. Dalam Prinsip-Prinsip Siracusa, pembatasan dengan alasan keamanan nasional hanya dapat dilakukan jika terdapat ancaman atau penggunaan kekuatan. Istilah ‘kekuatan’ (force) dalam Prinsip-Prinsip Siracusa mendekati argumentasi ‘aanslag’ di atas, yakni serangan fisik.

Sementara itu, pembunuhan di luar hukum oleh aparat merupakan pelanggaran hak untuk hidup, hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional dan Konstitusi Indonesia. Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 ICCPR telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya. Maka kegagalan proses hukum dan keadilan atas pelaku pembunuhan di luar hukum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Pasal 7 ICCPR menjamin hak untuk untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Hak ini bersifat dianggap sebagai norma yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apa pun (jus cogens). Alhasil, tiap negara wajib melindungi setiap orang dari penyiksaan oleh aktor negara dan non-negara, menyelidiki setiap dugaan penyiksaan, mengesahkan dan menerapkan peraturan perundang-undangan yang melarang penyiksaan, tidak menggunakan pernyataan yang didapat melalui interogasi yang disertai penyiksaan, melatih aparat penegak hukum dan menyediakan pengamanan prosedural, dan memulihkan dan memberi kompensasi bagi korban dan keluarganya.

Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang dilindungi oleh Pasal 6 ICCPR, yang wajib dipatuhi Indonesia sebagai negara pihak. Oleh karena itu, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur secara lebih rinci dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990). Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh  Peraturan Kapolri Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi.