Pernyataan Publik: Penyerahan Surat Kampanye #AllOut

Pada hari Rabu tanggal 26 Februari 2025, tim sekretariat bersama tiga rekan mahasiswa dari jaringan ‘chapter’ dan grup aksi Amnesty International Indonesia menyerahkan 1.751 surat kepada Kantor Staf Presiden RI (KSP). 

Ribuan surat ini masuk ke sekretariat selama kurun waktu setahun dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Keseluruhan surat menyuarakan keprihatinan terhadap situasi hak asasi manusia (HAM). 

“Bagaimana kami masyarakat Papua menjaga hutan kami, tanah kami, keluarga kami yang terus dikuras oleh orang-orang yang memiliki kuasa, jabatan, dan yang tidak mengenal alam dan masyarakat kami lebih dalam,” demikian nukilan salah satu surat. 

Penyerahan ini menandakan akhir dari kampanye publik #AllOut, bagian dari gerakan untuk merespon situasi HAM di Indonesia yang makin mengkhawatirkan. Tepat ketika pernyataan ini dimuat, dua anggota komunitas LGBTIQ di Aceh menjalani hukuman cambuk hanya karena aktivitas konsensual di ranah privat mereka. 

Sepekan sebelumnya, band Sukatani mengunggah sebuah video permohonan maaf kepada Kapolri dan institusi Polri setelah lagu Bayar Bayar Bayar viral di berbagai platform media sosial dan mendapat ancaman. 

Sepuluh hari sebelumnya, aparat kepolisian mengadang puluhan pelajar di Nabire, Papua Tengah, yang hendak bergerak menuju lokasi demonstrasi program Makan Bergizi Gratis dan membawa mereka dengan truk ke kantor polisi. 

Bahkan di hari pertama masa kerjanya, Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, membuat komentar keliru bahwa tidak pernah terjadi pelanggaran berat HAM di Indonesia bahkan menyatakan peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat. 

Negara sungguh terlalu. 

Kami menolak segala bentuk kekerasan dan pengingkaran terhadap akuntabilitas aparat negara. Kami mengecam represi dan ancaman terhadap ekspresi damai.  

Negara harus menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM di negeri ini. 

Publik berhak mengkritisi dan memprotes kebijakan negara. Tiap-tiap dari kita di negara ini berhak bersuara tanpa takut munculnya kriminalisasi dan intimidasi. 

Ironisnya, rangkaian kejadian tersebut muncul di saat Indonesia duduk di dalam keanggotaan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa selama dua periode berturut-turut. 

Ironisnya, segala peristiwa itu menyeruak di saat pemerintah mengklaim sederet prestasi di berbagai forum internasional. Dalam dialog dengan Komite HAM PBB misalnya, pemerintah Indonesia mengatakan negara telah menuntaskan pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan di luar hukum. 

“Tindakan jauh lebih penting dari pada kata-kata,” begitu kata Bapak pendiri bangsa, Bung Hatta. 

Terinspirasi falsafah tersebut, dalam kegiatan penyerahan surat di KSP, kami menegaskan bahwa negara sebagai pengemban kewajiban memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia. Kami nyatakan bahwa kami prihatin atas kondisi perlindungan HAM di era pemerintahan baru dan karenanya berdiri bersama gerakan rakyat menuntut pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kami berdiri bersama gerakan #IndonesiaGelap. 

Pernyataan tersebut sejalan dengan rekomendasi laporan singkat berjudul “Kebebasan, Keadilan, Kesetaraan: Agenda HAM untuk Pemerintah Terpilih” yang kami terbitkan pada Desember 2023. 

Kami berpandangan negara, termasuk di dalamnya institusi pemerintahan, memilki kewajiban untuk menghormati, melindungi, memajukan serta memenuhi hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai. Negara juga harus menjamin akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan, dan memberikan serta menjamin akses keadilan kepada para korban dan akses terhadap pemulihan yang efektif bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. 

Sekali lagi, mengutip Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat.” 

Panjang umur perjuangan. Mari kita rapatkan barisan dan lawan kesewenang-wenangan. 

Jakarta, 27 Februari 2025 

Salam solidaritas, 

Amnesty International Indonesia