Surat Terbuka: Peninjauan kerangka hukum yang menyebabkan kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan

Jakarta, 21 Januari 2025

Kepada Yth.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dr. (H.C.) Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, S.Sos.

Gedung DPR RI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270

Dengan hormat,

RE: PENINJAUAN KERANGKA HUKUM YANG MENYEBABKAN KELEBIHAN KAPASITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Melalui surat ini, perkenankan kami Amnesty International memohon kepada pimpinan dan seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera memperbaiki kerangka hukum nasional yang menyebabkan kelebihan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.

Kami menghormati rencana pemberian amnesti oleh Pemerintah RI terhadap narapidana kasus narkotika dan narapidana lain yang didakwa pasal pidana pencemaran nama baik, penghinaan pejabat hingga penodaan agama tapi sebenarnya karena menggunakan hak untuk berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai.

Penggunaan amnesti sebagai solusi mengatasi kelebihan kapasitas Lapas hanya langkah awal dan solusi pragmatis di hilir yang tidak menyentuh akar masalah. Negara juga perlu mencari solusi strategis di hulu yang menyentuh setidaknya dua akar masalah. Pertama, hukum pemidanaan berlebih terkait kasus narkotika. Kedua, hukum pemidanaan berlebih terkait kasus penyampaian pendapat dan aspirasi damai.

Pendekatan pidana terkait narkoba penting karena jumlah kasusnya berkontribusi besar pada kelebihan kapasitas Lapas. Per April 2024, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM RI mencatat total narapidana di Lapas dan Rutan se-Indonesia mencapai 271.385 orang, dengan 135.823 di antaranya narapidana narkoba (data terbaru belum didapatkan dari Ditjen PAS). Padahal, daya tampung di seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia hanya 140.424 orang. Kelebihan kapasitas ini mencapai hampir dua kali lipat dari kapasitas seharusnya.

Kami menilai salah satu kerangka hukum yang menyebabkan situasi itu adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang sering dipakai untuk mempidanakan pengguna narkotika yang seharusnya diarahkan pada rehabilitasi medis dan sosial. Penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada tahun 2022 menunjukkan dari 1.353 putusan pengadilan selama kurun waktu 2016–2020, 40,6% dari penegakan pasal-pasal peredaran gelap narkotika dalam UU Narkotika justru menyasar pengguna narkotika.

Pendekatan pidana ini gagal mengatasi masalah narkotika di Indonesia dan memperparah situasi kelebihan kapasitas di Lapas. Oleh sebab itu, Indonesia harus segera beralih ke kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy), dengan mengutamakan langkah-langkah rehabilitatif yang terbukti efektif dalam mengurangi dampak buruk narkotika. DPR RI dapat memanfaatkan kewenangan legislatif untuk merevisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan mengarahkan kebijakan rehabilitatif yang lebih manusiawi.

Sementara pendekatan pidana untuk menghadapi kebebasan tersebut juga berkontribusi pada penambahan kelebihan kapasitas. Sejak Januari 2019 hingga Oktober 2024, Amnesty International mencatat setidaknya ada 560 korban yang dikriminalisasi memakai pasal-pasal bermasalah dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), belum termasuk 41 korban yang didakwa atas pasal makar sejak Januari 2019 hingga Juni 2024.

Karena itu, yang juga mendesak adalah penghentian pemidanaan atas warga yang sedang memakai haknya untuk menyampaikan aspirasi damai. Hukum nasional dan internasional mewajibkan negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk kebebasan berekspresi. Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, menjamin hak tiap individu untuk menyampaikan opini tanpa intervensi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 juga menjamin “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Sementara itu, UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026 mendatang untuk menggantikan KUHP sebelumnya masih belum menghilangkan pasal makar tersebut. KUHP terbaru justru mengatur kembali ketentuan pidana atas perbuatan penghinaan atau menyerang kehormatan/harkat martabat terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Membiarkan pasal-pasal ini mengulang kembali masalah yang berujung pada kelebihan kapasitas Lapas.

Sebagai lembaga legislatif, DPR RI dapat menggunakan wewenangnya untuk merevisi atau menghapus pasal-pasal yang kerap digunakan untuk merepresi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai. DPR RI melalui fungsi pengawasan juga dapat mendorong Kepolisian dan Kejaksaan untuk menghentikan praktik kriminalisasi yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.

Oleh karena itu, Amnesty International mendesak DPR RI untuk:

  1. Merevisi dan menghapus pasal-pasal bermasalah dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mengalihkan pendekatan pemidanaan ke pendekatan berbasis HAM, dengan menekankan rehabilitasi bagi pengguna narkotika;
  2. Segera merevisi dan menghapus pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE dan KUHP yang baru yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai; dan
  3. Mengambil langkah strategis untuk mengurangi kelebihan kapasitas Lapas secara sistemik dengan memperbaiki kerangka hukum yang mencerminkan penghormatan terhadap HAM, baik untuk kasus narkotika maupun kebebasan berekspresi.
  4. Kami percaya langkah nyata negara akan menjadi titik awal perubahan menuju kebijakan yang lebih adil dan inklusif. Jika Ibu bersama pimpinan DPR RI hendak mendiskusikan hal ini lebih jauh, kami akan dengan senang hati untuk memenuhi panggilan.

Atas perhatian Ibu selaku Ketua DPR RI kami ucapkan banyak terima kasih.

Hormat kami,

Usman Hamid

Direktur Eksekutif