Surat Terbuka: Evaluasi menyuluruh kinerja polisi dalam menangani aksi damai

No :  107/AII-POLRI/V/2025

Jakarta, 27 Mei 2025  

Kepada Yth.  

Kepala Kepolisian Republik Indonesia  

Bapak Jenderal (Pol) Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si  

Jl. Trunojoyo No. 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan  

Jakarta 12110  

  

Dengan hormat,  

PERIHAL: EVALUASI MENYELURUH KINERJA POLISI DALAM MENANGANI AKSI DAMAI  

Bersama surat ini Amnesty International menyoroti tiga kasus yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, yaitu kasus dugaan penangkapan sewenang-wenang terhadap mahasiswa Trisakti pada 21 Mei 2025 di Balai Kota Jakarta, kasus kekerasan terhadap massa aksi peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2025 di depan Gedung DPR RI, dan kekerasan serta penangkapan terhadap massa aksi di depan Markas Polda Sumatera Barat pada 21 April 2025. Amnesty Internasional menuntut evaluasi menyeluruh atas kinerja kepolisian dalam menangani aksi damai. 

Pada 21 Mei 2025, sekelompok mahasiswa dari berbagai elemen menggelar aksi damai di depan Balai Kota, Jakarta Pusat. Aksi ini diselenggarakan sebagai bentuk peringatan terhadap tragedi kelam 12 Mei 1998 yang telah memasuki tahun ke-27. Aksi dimulai pada sore hari dengan suasana yang relatif kondusif. Namun, situasi mulai memanas setelah aparat kepolisian menilai bahwa pelaksanaan aksi tidak sesuai dengan susunan acara yang telah disampaikan sebelumnya. Akibatnya, para peserta aksi mulai digiring menjauh dari lokasi oleh pihak kepolisian.  

Proses penggiringan ini kemudian berujung pada provokasi dari pihak kepolisian hingga terjadi bentrok antara peserta aksi dengan aparat. Aksi yang berawal damai itu pun berakhir pada penangkapan sebanyak 93 mahasiswa dengan alasan akan dilakukan proses pembinaan di Markas Polda Metro Jaya. Selain menangkap mahasiswa, aparat juga menyita sepeda motor yang digunakan dalam aksi, serta barang-barang pribadi milik mahasiswa seperti aksesoris, jam tangan, telepon seluler, dan lainnya.  

Penyidik juga sempat melakukan penahanan dengan menggunakan pasal-pasal KUHP yang dinilai memiliki ancaman serius, seperti Pasal 160 (tentang penghasutan untuk melakukan tindak pidana, kekerasan terhadap penguasa, atau tidak menuruti perintah jabatan atau undang-undang), Pasal 170 (tentang tindak pidana pengeroyokan atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan terhadap orang atau barang), Pasal 351 (tentang tindak pidana penganiayaan), Pasal 212 (tentang perlawanan terhadap pejabat), Pasal 216 (tentang tindak pidana tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu atau pejabat berdasarkan tugasnya), dan Pasal 218 (tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden) 

Pada 1 Mei 2025, aparat kepolisian membubarkan massa aksi peringatan Hari Buruh dengan melakukan pemukulan, penggunaan water cannon secara tidak proporsional, serta menangkap sedikitnya 13 orang, termasuk beberapa anggota tim medis yang sedang menjalankan tugas kemanusiaan. Lebih lanjut, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mencatat tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang meliput aksi demonstrasi di Jakarta dan Semarang. Di Jakarta, jurnalis ProgreSIP dipukuli, diancam, dan dipaksa menghapus hasil liputannya oleh sekelompok orang berpakaian bebas yang diduga anggota polisi. Di Semarang, jurnalis Tempo mengalami kekerasan serupa saat meliput aksi di kantor Gubernur Jawa Tengah dan gerbang Universitas Diponegoro.  

Pada 21 April 2025, aparat kepolisian melakukan kekerasan dan penangkapan terhadap massa aksi di depan Markas Polda Sumatera Barat. Saat itu, massa aksi menuntut Kapolda Sumatera Barat segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dalam 100 hari masa jabatannya. Aparat kepolisan memukul peserta aksi, serta menangkap 12 orang, termasuk empat pendamping hukum dari LBH Padang yang sedang menjalankan tugas. Salah satu korban mengalami luka serius hingga harus dirawat di unit gawat darurat. 

Amnesty International mengingatkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Hak ini ditegaskan kembali dalam UU No. 9 Tahun 1998, yang menyatakan bahwa warga negara berhak menyampaikan pendapat di muka umum secara lisan, tulisan, dan/atau tindakan lainnya secara damai di ruang publik.  

Selain itu, Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a sampai c, bahwa kekuatan hanya boleh digunakan jika sah menurut hukum (legalitas), benar-benar diperlukan (nesesitas), dan seimbang dengan ancaman yang dihadapi (proporsionalitas). Oleh karena itu, penggunaan senjata kurang mematikan (less lethal weapons) seperti water cannon terhadap massa aksi damai merupakan bentuk kekuatan yang tidak proporsional dan bertentangan dengan ketentuan tersebut.  

Amnesty International meyakini bahwa penggunaan water cannon secara tidak proporsional untuk pembubaran aksi damai adalah bentuk pelanggaran kebebasan berpendapat. Secara khusus, penggunaannya dalam mode bertekanan tinggi hanya dapat dilakukan saat ada tindak kekerasan meluas, dan tidak dapat dijustifikasi untuk membubarkan aksi maupun sebagai tanggapan atas penolakan pasif dari peserta aksi. 

Kami juga menyoroti dugaan diterjunkannya aparat kepolisian tanpa seragam di berbagai aksi. Penggunaan aparat kepolisian tanpa seragam harus benar-benar diawasi pelaksanaannya, dan sesuai dengan Komentar Umum No. 37 dari Komite HAM PBB, aparat tanpa seragam tidak boleh melakukan kekerasan dan sebelum melakukan penangkapan harus mengidentifikasi dirinya kepada orang yang akan ditangkap.  

Lebih lanjut, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, menjamin hak atas kebebasan berekspresi (Pasal 19) dan hak untuk berkumpul secara damai (Pasal 21). Berdasarkan aturan ini, negara sudah sepatutnya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut, bukan justru membatasinya dengan intimidasi atau kekerasan.   

Prinsip ini juga ditegaskan dalam Komentar Umum No. 37 dari Komite HAM PBB (2020), yang menyatakan bahwa penggunaan kekuatan terhadap aksi damai harus menjadi jalan terakhir dan dilakukan secara proporsional terhadap ancaman nyata.  

Terkait serangan kepada pers, hal itu merupakan pelanggaran serius terhadap UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) tentang hak dan kewajiban pers, termasuk hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Selain itu, tindakan kekerasan fisik yang mengakibatkan luka berat terhadap jurnalis juga masuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP.  

Amnesty International menilai, pembubaran aksi damai yang disertai kekerasan fisik terhadap warga sipil dan jurnalis, penangkapan sewenang-wenang, dan serangan terhadap petugas medis menunjukkan kegagalan aparat dalam menjunjung prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam menjalankan tugasnya.  

Untuk itu Amnesty International mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk:  

  1. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan dan standar operasional aparat kepolisian dalam menangani aksi damai di ruang publik;  
  1. Melakukan investigasi yang independen, menyeluruh, dan transparan terhadap penggunaan kekerasan dalam penanganan aksi damai;  
  1. Menindak secara hukum anggota kepolisian, termasuk mereka yang bertanggung jawab secara komando atau menjadi atasan yang terbukti melakukan kekerasan fisik dan pembatasan hak-hak sipil warga;  
  1. Menjamin perlindungan terhadap peserta aksi, tim medis, jurnalis, dan pembela HAM lainnya agar dapat menjalankan peran mereka tanpa ancaman, kekerasan, maupun kriminalisasi;  
  1. Memastikan seluruh tindakan kepolisian dalam penanganan massa aksi selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam hukum nasional dan internasional.  
  1. Dalam hal melakukan proses hukum terhadap terduga pelaku pidana, aparat kepolisian harus melakukannya dengan transparan, berkeadilan, dan tanpa aksi kekerasan  

Demikian surat ini kami sampaikan. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.  

  

Hormat Kami,   

Wirya Adiwena  

Deputi Direktur