Usut kematian 10 warga terkait unjuk rasa, bebaskan aktivis HAM Delpedro dkk dan hentikan praktik otoriter atas unjuk rasa

Menanggapi bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa dan penangkapan atas aktivis HAM serta penembakan gas air mata polisi ke area Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan di Bandung, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa pekan lalu, begitu pula dengan penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali dan dua pendamping hukum dari YLBHI masing-masing di Manado dan Samarinda. Bahkan terakhir, muncul gejala pengerahan pamswakarsa yang dapat mendorong konflik horisontal di masyarakat. Ini semua menunjukkan negara memilih pendekatan otoriter dan represif daripada demokratik dan persuasif. Tuduhan pun memakai pasal-pasal karet yang selama ini dikenal untuk membubuhkan kritik. Ini harus dihentikan. Bebaskanlah mereka.

Negara harus mengoptimalkan pendekatan pemolisian demokratis, persuasif dan dialog dengan pengunjuk rasa, sebagaimana saran Kantor HAM PBB. Ancaman hukuman hanya memicu eskalasi ketegangan antara kepolisian dan pengkritik. Mereka berhak berkumpul dan menyampaikan pendapat di depan umum. Itu adalah hak asasi manusia. Sekali lagi, kami mendesak Polri membebaskan Delpedro, Syahdan dan ratusan pengunjuk rasa lainnya yang ditangkap hanya karena bersuara kritis sejak 25 Agustus.

Kami mengecam keras penembakan gas air mata ke arah kampus Unisba dan Universitas Pasundan yang dipakai sebagai posko medis bagi pengunjuk rasa atau menjadi korban kekerasan. Gas air mata itu membahayakan keselamatan warga sipil yang ada di dalam maupun di sekitar kedua kampus tersebut. Penggunaan gas air mata yang berlebihan bisa mengakibatkan luka fatal dan bahkan kematian seperti Tragedi Kanjuruhan.

Negara seharusnya melakukan investigasi independen yang melibatkan tokoh-tokoh dan unsur masyarakat yang memiliki integritas dan keahlian. Komnas HAM harus segera melakukan penyelidikan projustiti atas terbunuhnya sepuluh warga sipil selama aksi unjuk rasa. Negara harus mau bekerja sama dengan Komnas HAM dalam memastikan mereka yang bertanggung jawab atas kematian ini dapat dimintai pertanggungjawaban.

Bukannya mengevaluasi kebijakan sosial dan ekonomi yang merugikan hak masyarakat, termasuk memastikan akuntabilitas polisi, Presiden malah mengeluarkan pernyataan yang memunculkan label “anarkis”, “makar” atau bahkan “terorisme”. Kepolisian negara berwenang menindak setiap peristiwa pidana namun harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip HAM. Pelabelan “anarkisme”, “terorisme” maupun “makar” berpotensi mengeskalasi pendekatan keamanan dan membenarkan penggunaan kekuatan yang lebih represif dan eksesif lagi.

Negara semestinya hadir dengan manusiawi, yaitu mendengarkan tuntutan warga, menghormati kebebasan berekspresi, serta menegakkan hukum secara adil. Tanpa itu, pernyataan presiden hari Minggu lalu bahwa ‘negara menghormati dan terbuka terhadap kebebasan penyampaian pendapat dan aspirasi masyarakat’ hanya slogan kosong yang dikubur oleh praktik otoriter melanggar HAM.”

Latar belakang

Sumber kredibel Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa aktivis HAM yang juga Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, ditangkap paksa oleh delapan orang aparat Polda Metro Jaya di rumahnya sekaligus kantor Lokataru di Jakarta Timur pada Senin malam (1/9) pukul 22.45 WIB. Polisi juga menggeledah ruang kantor Lokataru Foundation tanpa surat penggeledahan dan diduga merusak kamera CCTV kantor.

Selain membawa paksa Delpedro, polisi tidak membolehkan dia menggunakan ponselnya untuk menghubungi siapapun, termasuk pengacara dan keluarganya. Di markas Polda Metro Jaya Delpedro lalu dijadikan tersangka dengan dijerat sejumlah pasal, yaitu Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 15, 76 H, dan 87 UU Perlindungan Anak , serta Pasal 28 ayat (3) UU ITE tentang pemberitahuan bohong.

Sedangkan pada hari yang sama, akun @gejayanmemanggil @basuara @bangsamahardika dan @pasifisstate di Instagram mengumumkan bahwa aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, ditangkap oleh Polda Bali. Namun Polda Bali kepada media hari Selasa (2/9) membantah adanya penangkapan tersebut.

Lalu Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan penangkapan disertai kekerasan terhadap dua aktivis, masing-masing di Manado dan Samarinda, saat memberi pendampingan hukum untuk massa aksi demonstrasi. Polresta Samarinda memeriksa aktivis yang ditangkap hingga Selasa dini hari sebelum dibebaskan dengan syarat, sedangkan Polresta Manado kepada media membantah kabar penangkapan.

Sebelumnya Polda Metro Jaya menangkap seorang mahasiswa Universitas Riau bernama Khariq Anhar di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Jumat pagi, 29 Agustus 2025 terkait unggahan di media sosial yang berkaitan dengan demonstrasi massa buruh. Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan Khariq diduga ditangkap tanpa prosedur yang sah, bahkan diduga dilakukan secara kekerasan dengan dipiting tubuhnya dan dipukul wajahnya oleh aparat Polda.

Khariq lalu ditetapkan polisi sebagai tersangka terkait unggahan akun “Aliansi Mahasiswa Penggugat” pada 27 Agustus 2025 dengan dijerat Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 35 UU ITE karena dianggap mengubah konten jurnalistik dari sebuah media online yang memuat pernyataan Ketua KSPI Said Iqbal.

Di Bandung, polisi menembakkan gas air mata ke area kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas), Selasa dini hari 2 September. Polda Jabar menyalahkan kelompok anarko yang memblokade jalan dan melempari patroli polisi dengan bom molotov. Polda juga mengklaim polisi menembak gas air mata di jalan luar kampus saat merespons aksi kelompok anarko, namun gas air mata tertiup angin yang mengarah ke area kampus.

Sementara itu, ada imbauan dari TNI agar masyarakat membentuk Pam Swakarsa, yang salah satunya mulai dijalankan oleh Generasi Muda FKPPI.