Protes #peringatandarurat Harus Bebas Ancaman

© Aldo Kaligis

Menanggapi seruan #peringatandarurat oleh sejumlah kalangan dalam menanggapi DPR RI yang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Tiap-tiap orang berhak untuk mengutarakan pandangannya secara damai terhadap situasi negara, termasuk aksi protes yang dilakukan mahasiswa.”

“Protes terhadap kebijakan negara ataupun perilaku elit politik adalah hal yang wajar, sah, dan dijamin dalam hukum internasional hak asasi manusia. Jangan direpresi.

“Kekerasan negara hanya memperburuk kondisi hak asasi manusia. Kita bisa lihat kembali aksi mahasiswa dan pelajar dalam aksi #reformasidikorupsi tahun 2019 dan aksi #tolakUUCiptaKerja. Akibatnya, sejumlah mahasiswa tewas dan ratusan ditangkap.

“Protes adalah representasi ruang sipil yang harus dijamin negara. Hukum internasional mewajibkan setiap negara untuk menghormati prinsip dasar hak asasi manusia seperti kebebasan berekspresi dan berserikat, termasuk beroposisi.

“Ruang sipil yang bebas, tanpa ancaman dan penghukuman sangat diperlukan untuk bisa membuka akses bagi keadilan.

Kami mendesak negara agar tidak memakai kekerasan dan kekuatan berlebihan lainnya dalam menanggapi protes damai. Gas air mata, meriam air, maupun tongkat secara serampangan sering dilakukan oleh aparat dalam menanggapi protes-protes damai sebelumnya. Hal ini tidak boleh terulang.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid

Latar belakang

Pada hari Rabu 21 Agustus 2024, sejumlah akun media sosial masyarakat sipil di Indonesia mengunggah postingan berserukan “Peringatan Darurat.”

Seruan ini muncul setelah DPR RI membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat ambang batas suara pada Rapat Baleg 21 Agustus. Salah satu kesepakatan DPR RI terkait syarat pencalonan Gubernur/Wakil Gubernur yakni minimal 20 kursi di DPRD atau 25 persen suara Pemilu DPRD.

Protes terhadap keputusan DPR RI muncul karena UUD 1945 pasal 24 C (1) menyebut bahwa putusan MK bersifat final dan tak dapat direvisi. Para pengkritik menyebut DPR telah bertindak sewenang-wenang karena mengintervensi kewenangan yudikatif.