Covid-19: Lindungi Tenaga Kesehatan, Penuhi APD dan Rapid Test

[TEMPO/STR/Johannes P. Christo; JPC2020031804]

Amnesty International bersama lima organisasi kesehatan di Indonesia mendesak pemerintah untuk memberi perlindungan maksimal kepada para tenaga medis Indonesia yang saat ini berdiri di garda terdepan dalam mengatasi pandemik Covid-19.

Lima organisasi kesehatan tersebut adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Desakan itu disampaikan dalam surat terbuka yang dikirim kepada Presiden Joko Widodo, Selasa 24 Maret 2020.

“Selasa lalu kami menyurati Presiden, sebab tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 kini bertambah, begitu pula yang diisolasi. Mereka masih menghadapi minimnya APD, buruknya koordinasi maupun manajemen informasi dan jaminan pemerintah bagi kesehatan mereka. APD mutlak makin mendesak dibutuhkan. Sayangnya, hingga saat ini, distribusi APD belum adil dan merata. Distribusinya juga masih sangat lambat sehingga banyak tenaga kesehatan yang harus bergantung pada satu APD selama berjam-jam,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di Jakarta, Sabtu (28/3/2020).

Usman mencontohkan situasi di Kendari. Para tenaga kesehatan mengancam melakukan mogok kerja bila mereka tidak dilengkapi alat perlindungan diri yang sesuai dan memadai.

“Sekarang pengurus organisasi kesehatan tingkat nasional menyatakan protes terbuka untuk mogok kerja sementara bila alat-alat pelindung dasar tidak tersedia. Tentu itu adalah ekspresi yang sah karena menyangkut keselamatan nyawa mereka. Jika itu terjadi, situasi bisa bertambah buruk. Oleh karena itu, Pemerintah harus serius melindungi hak-hak tenaga kesehatan. Menghentikan wabah ini bukan hanya merupakan kewajiban negara untuk hak atas kesehatan, tapi juga hak hidup.”

Menurut Usman, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak tenaga kesehatan. Jika jumlah alat tes terbatas, maka pemerintah harus memprioritaskan tenaga kesehatan serta masyarakat paling membutuhkan. Kalau terkena, mereka bukan hanya berisiko sakit, tapi pasien pun tertular, juga masyarakat. Jangan sepelekan APD. Dan jangan sampai rapid test ini jadi tidak tepat sasaran dan diskriminatif. Semua tenaga kesehatan yang menangani pasien terpapar Covid-19 berhak atas APD. Semua warga berhak mendapatan rapid test, tanpa terkecuali. Prioritas harus sesuai hukum hak asasi manusia

“Dengan surat itu kami ingin menegaskan bahwa perlunya bertindak mengobati dan mengurangi penyebaran virus adalah kewajiban negara dalam menjamin hak asasi manusia. Perlunya kehati-hatian menangani masyarakat yang rentan adalah kewajiban negara atas perlindungan HAM. Lindungilah garda depannya, yaitu para tenaga kesehatan.“

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Justitia Avila Veda menambahkan,

kelompok yang paling membutuhkan adalah mereka yang berisiko besar tertular Covid-19 dan memiliki resiko kematian lebih tinggi. Orang lanjut usia dan orang-orang dengan kondisi medis bawaan, seperti asma, diabetes, penyakit jantung dan pneumonia, lebih rentan terinfeksi dan berakibat fatal.

“Yang juga lebih membutuhkan adalah mereka yang berinteraksi langsung dengan pasien Covid-19, seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, dan pekerja kesehatan lainnya. Selain itu, para tahanan dan warga binaan pemasyarakatan juga berhak atas prioritas, karena interaksi intens antar WBP dalam ruang yang terbatas dapat meningkatkan kerentanan penularan Covid-19. Kelompok-kelompok inilah yang harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan rapid test” kata Justitia.

Ia mengingatkan, negara jangan sampai salah sasaran. Pejabat, termasuk anggota-anggota DPR, serta pihak lain yang memiliki privilege untuk meminimalisasi risiko, sebaiknya menahan diri dan tidak menuntut didahulukan dalam tes tersebut. Jika abai, maka negara berpotensi melakukan pelanggaran HAM terhadap kelompok-kelompok rentan itu.

“Kami menyarankan Presiden beserta jajarannya agar rencana dan strategi menghadapi Covid-19 dilakukan sesuai hukum internasional dan standar hak asasi manusia. Negara harus sadar akan dampak hak asasi manusia dari penanganan virus ini, khususnya pada kelompok tertentu dan memastikan bahwa kebutuhan dan keselamatan mereka sepenuhnya dipertimbangkan,” ujar Justitia.

Amnesty mengajak masyarakat untuk menyuarakan perlindungan tenaga kesehatan dengan ikut menandatangani petisi online karena stok Alat Perlindungan Diri (APD) untuk tenaga kesehatan cuma cukup untuk 7 hari ke depan. Siapa pun bisa bergabung dengan petisi ini dengan memasukkan nama dan alamat email ke tautan berikut:

Latar Belakang

Pada Jumat, 27 Maret 2020, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mulai menyuarakan protes untuk mogok kerja. Mereka mengeluhkan lemahnya perlindungan negara terhadap para tenaga medis maupun tenaga kesehatan.

Hingga Jumat 27 Maret 2020, sudah terdapat 1.046 orang yang dinyatakan positif terinfeksi virus corona di Indonesia, sebanyak 87 orang meninggal dunia, sementara 46 dinyatakan sembuh. Data Amnesty menunjukan setidaknya ada 11 dokter yang meninggal dunia terkait virus corona, baik karena positif terinfeksi maupun karena kelelahan menangani pasien corona. Terdapat pula 2 orang perawat yang meninggal dunia karena positif terinfeksi virus tersebut.

Presiden Joko Widodo berencana untuk segera melakukan rapid test dalam skala besar, melibatkan seluruh rumah sakit, baik milik pemerintah pusat dan daerah, BUMN, TNI, Polri, hingga swasta. Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebutkan saat ini pemerintah sudah menyiapkan 125.000 alat rapid test yang siap didistribusikan ke seluruh daerah. Pemerintah juga dikabarkan akan memprioritaskan tes tersebut di daerah-daerah yang merupakan zona rawan penyebaran Covid-19. Presiden Joko Widodo menegaskan agar rapid test diprioritaskan untuk para pekerja medis dan keluarganya.

Beberapa hari terakhir, DPR membuat publik gusar dengan wacana bahwa seluruh anggota DPR beserta keluarganya, yang diperkirakan jumlahnya mencapai 2000 orang, juga akan mengikuti rapid test. Hal ini menimbulkan protes dari publik karena anggota DPR tidak termasuk kategori kelompok yang rentan terhadap infeksi Covid-19.

Pasal 12(2) huruf d Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Paragraf 12(b) Komentar Umum Nomor 14 mengenai Pasal 12 ICESCR telah mengatur bahwa negara wajib mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, negara wajib mengupayakan perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri, pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan, serta penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis.

Bila merujuk ke Pasal 32 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), ketentuan pemberian fasilitas kesehatan dalam situasi darurat haruslah memprioritaskan pada penyelamatan nyawa terlebih dulu; suatu hal yang sama sekali tidak terlihat dalam permintaan anggota DPR.

Selain itu, pasal 48 Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana) mengatur bahwa salah satu upaya penanggulangan bencana saat kondisi tanggap darurat adalah perlindungan terhadap kelompok rentan. Kelompok rentan ini termasuk orang lanjut usia yang memang menunjukkan mortalitas tertinggi dalam pandemi Covid-19. Masih banyak masyarakat umum dan pekerja kesehatan yang mengantri rapid test. Sementara itu, anggota DPR RI tidak memiliki kerentanan seburuk dua kategori sebelumnya. Pemeriksaan anggota DPR RI beserta keluarganya bertentangan dengan semangat UU Penanggulangan Bencana, khususnya prinsip prioritas dalam Pasal 3 ayat (2), karena mereka yang sudah terpapar Covid-19 dan dalam kondisi rentan lah yang seharusnya didahulukan.

Pasal 48 dan Pasal 53 UU Penanggulangan Bencana serta Pasal 21(1) Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana juga mewajibkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat terdampak, termasuk pelayanan kesehatan. Mereka yang termasuk kelompok rentan (bayi, balita, anak-anak, ibu yang mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lansia) wajib diberikan perlindungan secara khusus. Anggota DPR beserta keluarganya tidak termasuk dalam kategori ini.