Bebaskan pelajar yang ditangkap karena atribut Bintang Kejora

Menanggapi penangkapan polisi atas enam pelajar saat perayaan kelulusan murid Sekolah Menengah Atas di Nabire, Papua Tengah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Penangkapan disertai dugaan aksi kekerasan aparat terhadap para pelajar SMA saat merayakan kelulusan mereka di Nabire tidak dapat diterima. Ekspresi kegembiraan lewat aksi arak-arakan secara damai bukan tindak kriminal.”

“Simbol bintang kejora adalah bagian dari ekspresi budaya dan seharusnya tidak menjadi alasan bagi aparat untuk menindas dan menahan siapapun tanpa proses hukum yang adil.”

“Polisi dan pemerintah seharusnya meneladani pendekatan Gus Dur terhadap orang asli Papua. Simbol budaya seperti bendera bintang kejora mendapat ruang karena memang merupakan ekspresi damai.”

“Penangkapan tanpa proses hukum yang jelas dan kekerasan yang diduga terjadi selama penangkapan tersebut adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Setiap individu, termasuk pelajar, memiliki hak untuk menyuarakan pendapat dan berekspresi tanpa takut akan penindasan atau penangkapan sewenang-wenang.”

“Kami menyerukan kepada pihak berwenang untuk segera membebaskan semua pelajar yang ditahan tanpa alasan yang jelas dan melaksanakan penyelidikan yang adil terhadap tindakan kekerasan yang diduga terjadi.”

“Kami juga mendesak pemerintah untuk memastikan bahwa hak-hak dasar semua individu di Tanah Papua, termasuk hak untuk berekspresi ataupun menyuarakan pendapat, dijamin dan dihormati sepenuhnya.”

Latar belakang

Informasi kredibel yang diterima Amnesty International Indonesia dan laporan media menyebutkan bahwa setidaknya enam orang siswa ditangkap aparat kepolisian saat perayaan kelulusan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Nabire, Papua Tengah, pada Senin (06/05).

Para pelajar merayakan kelulusan dengan berpawai sambil berseragam sekolah di jalan raya. Sebagian dari mereka mencoret seragam masing-masing dengan bermotif bendera bintang kejora, yang kerap diasosiasikan sebagai lambang Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perayaan serupa juga dilakukan para murid SMA di Kabupaten Dogiyai.

Namun suasana di Nabire berlanjut dengan insiden penangkapan, disertai dengan dugaan kekerasan oleh aparat.

Informasi yang diterima Amnesty menyebutkan bahwa sore hari sekitar pukul 16.00 WIT, setidaknya sembilan orang pelajar dikejar oleh dua orang polisi berpakaian preman dengan kendaraan beroda dua di Wonorejo, Nabire. Dua polisi tersebut diduga menembak empat peluru tajam ke arah para pelajar yang lari dan disaksikan masyarakat setempat.

Sekitar 15 menit kemudian dua mobil polisi datang, dan aparat menangkap empat laki-laki dan dua perempuan, disertai dengan dugaan pemukulan. Hingga kini, identitas enam pelajar tersebut belum teridentifikasi.

Mereka yang ditangkap dibawa ke Polres Nabire. Polisi pun melarang warga mengambil foto penangkapan.

Pihak berwenang terus merepresi maupun mengkriminalisasi orang-orang di Tanah Papua atas kejahatan terhadap keamanan negara, saat mereka menggunakan hak atas kebebasan berekspresi, termasuk mereka yang menyerukan kemerdekaan Papua.

Laporan Tahunan Amnesty International yang baru diluncurkan 24 April lalu mengungkapkan bahwa setidaknya tiga aktivis Papua dipenjara sepanjang tahun 2023 karena menyampaikan pendapat mereka.

Amnesty International Indonesia tidak mengambil posisi politik apa pun terkait status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan mereka. Namun, Amnesty percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi secara damai harus dihormati dan dilindungi.