Bebaskan 8 warga masyarakat adat Sikka yang dipenjara karena mempertahankan tanah dari penggusuran paksa

Menanggapi hukuman 10 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Maumere hari ini terhadap delapan anggota masyarakat adat di Sikka, Nusa Tenggara Timur, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Menghukum penjara masyarakat adat karena mempertahankan tanah mereka dari penggusuran paksa oleh pihak perusahaan adalah jelas suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sedang dipertontonkan secara gamblang oleh negara di Sikka. Terlebih, dua dari delapan anggota masyarakat adat tersebut adalah seorang ibu yang harus terpisah dari anak-anaknya karena proses kriminalisasi yang mereka alami.

Putusan ini sangat mencederai rasa keadilan, karena masyarakat adat Sikka juga sebelumnya terpaksa harus menjadi korban penggusuran paksa setelah pihak perusahaan dilaporkan membongkar rumah dan tanaman produktif mereka pada tanggal 22 Januari 2025. Pemerintah tidak hanya gagal melindungi masyarakat adat namun juga secara aktif terlibat dalam praktik-praktik penggusuran seperti ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kriminalisasi atas delapan warga adat Sikka ini tidak hanya menunjukkan ketidakadilan yang kerap menimpa masyarakat adat, tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak mereka atas tanah. Penggusuran dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat harus dihentikan. Hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka harus dihormati, sesuai dengan amanat Konstitusi dan hukum yang berlaku.

Penyelesaian konflik harus mengedepankan dialog damai. Pihak perusahaan seharusnya membuka ruang negosiasi yang adil dengan masyarakat adat guna mencari solusi tanpa menggunakan cara-cara represif. Negara juga harus hadir sebagai fasilitator pendekatan kemanusiaan. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, wajib memastikan bahwa kepentingan masyarakat adat tidak dikorbankan demi kepentingan korporasi.

Pengadilan Tinggi setempat maupun Mahkamah Agung harus membatalkan putusan Pengadilan Negeri Maumere tersebut dan segera membebaskan delapan warga adat Sikka tersebut serta menjamin hak-hak mereka atas tanah, wilayah, budaya dan sumber daya alam.

Latar belakang

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku kuasa hukum 8 (delapan) masyarakat adat di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan bahwa majelis hakim di Pengadilan Negeri Maumere hari ini (17/03) menjatuhkan vonis penjara 10 bulan kepada delapan warga masyarakat adat suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Kabupaten Sikka atas kasus pencabutan plang milik PT Krisrama, yang dilaporkan milik Keuskupan Maumere. Mereka divonis melanggar Pasal 170 KUHP.

PPMAN mengungkapkan bahwa pada tgl 29 Juli 2024 terjadi penggusuran di Pedan Desa Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. Sebanyak 142 pohon dan tanaman warga yang merupakan sumber penghidupannya selama ini rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Pada kesempatan itu juga terjadi perlawanan warga hingga akhirnya mereka melakukan perusakan plang milik PT. Krisrama yang mengakibatkan mereka diproses hukum hingga hari ini. Delapan warga ditetapkan menjadi tersangka kasus perusakan barang dan ditahan pada 25 Oktober 2024 hingga hari ini.

Hukuman yang dijatuhkan majelis hakim di PN Maumere lebih berat dari yang dituntut Jaksa Penuntut Umum pada sidang tuntutan 10 Maret lalu, yaitu tujuh bulan penjara.

Kedelapan warga tersebut adalah masyarakat adat yang melakukan reklaim tanah HGU berdasarkan hak asal-usulnya. Awalnya tanah ini dikuasai Belanda sejak tahun 1912 dan 1926 dijual ke Misi Gereja Katolik dan menjadi HGU hingga hari ini dan bermasalah. HGU PT. Krisrama berakhir pada 31 Desember 2013 dan baru mendapat kembali ijin HGU pada tanggal 20 Juli 2023. Masyarakat telah menguasai tanah tersebut sejak tahun 2000 dan 2014.

PPMAN juga mengungkapkan bahwa laporan perusakan atas 142 pohon dan tanaman para warga adat tersebut telah dilaporkan ke Polres Sikka pada 28 Agustus 2034, tapi hingga hari ini Polres tidak melakukan proses hukum. Sikap itu dipandang PPMAN sebagai diskriminasi dan melanggar prinsip equality before the law.

Masyarakat adat yang bersuara kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan hak mereka dalam konflik agraria kerap menghadapi serangan maupun kriminalisasi.

Selain insiden di Sikka tersebut, Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2019 hingga Desember 2024, setidaknya ada delapan kasus serangan terhadap masyarakat adat dengan sedikitnya 110 korban, termasuk kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik.