Setelah melakukan investigasi mendalam selama 3 bulan atas unjuk rasa damai yang terjadi di 14 kota pada 22 sampai 29 Agustus lalu, Amnesty International menyimpulkan adanya kebijakan polisi di balik berulangnya pemolisian kekerasan yang sistematis dan meluas.
Selama kurun waktu itu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi. Rinciannya, 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air, sedikitnya 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya serta 65 lainnya mengalami kekerasan berlapis termasuk kekerasan fisik dan penahanan inkomunikado dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara. Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada.
Temuan yang dipublikasikan menjelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia 2024 ini, menambah panjang daftar catatan kelam kepolisian, lembaga yang sejatinya “mengayomi dan melindungi” warga negara dari segala bentuk kekerasan.
Bukti kekerasan polisi yang terverifikasi meliputi penangkapan dan penahanan semena-mena, pemukulan dengan tangan dan tendangan kaki, penggunaan gas air mata dan meriam air. Meski benar ada kericuhan, seperti kerusakan gerbang DPR (22/8), ketidakseimbangan dalam cedera dan investigasi kami menunjukkan penggunaan kekuatan yang eksesif, tidak proporsional, dan tidak perlu, terhadap sebagian besar unjuk rasa yang berjalan damai.
“Kekerasan polisi yang berulang adalah lubang hitam pelanggaran HAM. Investigasi kami serta bukti visual berupa video menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan tidak proporsional secara berulang adalah kebijakan kepolisian, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri atau melanggar perintah atasan mereka,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
“Janji Kapolri bahwa era kepemimpinannya mengutamakan pendekatan humanis terbukti gagal. Padahal masyarakat sedang aktif-aktifnya menyuarakan hak mereka. Suara-suara kritis di jalan harus dilindungi, bukan dibungkam. Kasus ini mencerminkan bagaimana hak berkumpul dan berpendapat warga secara damai senantiasa dihadapi dengan kekuatan berlebihan sehingga menimbulkan banyak korban,” lanjut Usman.
“Kekerasan polisi atas aksi ini menunjukkan polisi mengkhianati tugas melayani dan melindungi masyarakat sesuai hukum nasional dan internasional. Kritik dan ekspresi damai wajib dihadapi secara persuasif, bukan represif. Jika ditambah dengan deretan kekerasan polisi yang kini ramai, maka jelas tidak ada perbaikan, malah semakin darurat,” kata Usman.
“Hukum nasional menjamin unjuk rasa. Video-video menunjukkan polisi bertindak tidak perlu, tidak proporsional, dan tanpa alasan menyerang pengunjuk rasa tak bersenjata dan tak berdaya, termasuk menembakkan gas air mata dan meriam air secara berbahaya. Ini mencerminkan niat merepresi perbedaan pendapat ketimbang menjaga ketertiban, menciderai hukum nasional dan internasional,” kata Usman Hamid.
Bukti-bukti yang terverifikasi berupa kekerasan polisi dalam kasus ini menabrak Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 28E(3), UU No. 12/2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (1976), Kode Etik Aparat Penegak Hukum (1979), dan Pedoman Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api (1990), termasuk yang telah diadopsi oleh Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Seluruh landasan aturan ini mewajibkan polisi mematuhi prinsip-prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas dalam penanganan unjuk rasa.
Aksi #PeringatanDarurat adalah Gerakan Menolak Politik Dinasti Jokowi
Dalam kurun waktu 22-29 Agustus, ribuan orang dan mahasiswa berunjuk rasa di bawah tema #peringatandarurat. Mereka menolak revisi UU Pilkada yang ingin memuluskan jalan Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, meraih jabatan kepala daerah yang terganjal syarat usia calon kepala daerah. Mereka juga pernah menolak kebijakan serupa saat Mahkamah Konstitusi, yang dipimpin adik ipar Widodo, mengubah aturan main pemilu demi pencalonan anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang juga tak memenuhi syarat minimum usia calon wakil presiden.
Dengan kata lain, aksi mereka adalah gerakan menolak politik dinasti Widodo lewat perubahan aturan hukum yang tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan begitu maka penanganan unjuk rasa #peringatandarurat tak hanya mencerminkan polisi represif tapi juga polisi partisan.
“Kami mendesak DPR memanggil Kapolri untuk diminta tanggung jawab atas kebijakan represif dan partisan saat menangani aksi menolak revisi UU Pilkada. Ini bukti repetisi kebijakan yang tak humanis. DPR harus mengakhiri impunitas di tingkat komando selama ini,” kata Usman Hamid.
“Pertanggungjawaban pelaku kekerasan jangan terbatas pada sanksi etik, apalagi menyalahkan aparat rendahan. Jika mau berbenah DPR harus berani meminta pertanggungjawaban di tingkat kebijakan. Jika cuma etik dan tanpa mengoreksi kebijakan pimpinan kepolisian, maka kekerasan aparat pasti berulang. Tanpa sanksi setimpal di tingkat komando, aturan hukum dan pelatihan bagi polisi soal penanganan unjuk rasa sesuai standar internasional jelas sia-sia,” katanya.
The Evidence Lab, sebuah tim investigasi digital Amnesty International, memverifikasi puluhan video dan mengidentifikasi sebanyak 19 bukti yang terverifikasi berisi rekaman kekerasan polisi atas aksi protes yang berlangsung 22-26 Agustus di sembilan kota, yaitu Jakarta, Palu, Bandung, Semarang, Banyumas, Pekanbaru, Banjarmasin, Purwokerto, dan Kediri.
Video-video menunjukan polisi menerapkan kekuatan berlebihan untuk menghadapi pengunjuk rasa, termasuk yang sudah tidak berdaya. Dari menyalahgunakan pentungan untuk memukul di area kepala, mengarahkan meriam air bertekanan tinggi dari jarak dekat langsung ke arah tubuh pengunjuk rasa, hingga menembakkan penangkal kimia berupa gas air mata ke arah kerumunan pengunjuk rasa secara berbahaya karena mereka sulit menyelamatkan diri.
Tim Amnesty juga mewawancarai sejumlah saksi dan korban serta menemukan bahwa mereka bukan hanya telah menderita luka-luka fisik, tapi juga mengalami trauma psikologis.
Kekerasan dengan Menggunakan Pentungan dan Serangan Fisik
Evidence Lab memverifikasi video rekaman aksi di Gedung DPRD Jawa Barat di Kota Bandung, yang menuntut pembatalan revisi UU Pilkada pada 22 Agustus 2024. Video menunjukkan pengunjuk rasa tak bersenjata berlari dan dijatuhkan ke tanah oleh seseorang berpakaian sipil. Tiga polisi berseragam memukulnya dengan pentungan. Meski pengunjuk rasa tidak membawa ancaman bagi petugas atau orang-orang di sekitar, polisi malah menendang dan menahannya. Video sempat diunggah di media sosial pada 22 Agustus 2024, tetapi telah dihapus.
Polisi sering menyalahgunakan pentungan untuk memperlakukan dan menghukum pengunjuk rasa damai. Pentungan tergolong senjata kurang mematikan, tapi dapat menyebabkan cedera serius jika tidak tepat. Dampaknya berkisar dari cedera ringan seperti memar hingga cedera berat seperti patah tulang, gegar otak, kerusakan organ, bahkan kematian.
Pentungan dapat digunakan secara sah untuk membela diri petugas atau membela orang lain. Namun, mengingat dampak cedera yang dapat ditimbulkan, polisi hanya boleh menggunakan pentungan sebagai respons atas seseorang yang melakukan kekerasan fisik terhadap petugas atau orang lain, dan tidak boleh digunakan sebagai bentuk hukuman pengunjuk rasa damai.[1]
Kesaksian Dewi*
Seorang perempuan aktivis dari lembaga advokasi di Bandung, Dewi (nama samaran), menjadi saksi dan korban kekerasan polisi. Dia ada di belakang kompleks gedung DPRD Jabar saat protes hari kedua (23/8) dan melihat sejumlah pengunjuk rasa dipukuli polisi. Saat berteriak dan meminta aparat untuk berhenti memukuli seseorang dengan pentungan, Dewi menjadi sasaran pukulan.
“Tiba-tiba, seorang aparat lain yang membawa tongkat sepanjang dua meter mendekat. Saya menunjukkan kartu identitas saya, tapi kepala kiri saya keburu dipukul keras,” kata Dewi.
Dewi kehilangan kesadaran tapi diselamatkan tim relawan dan dievakuasi ke Universitas Islam Bandung. Dewi muntah-muntah dan bengkak di kepalanya. Meski tes medis, termasuk CT scan, memastikan tidak ada pendarahan internal, Dewi kerap merasakan sakit kepala dan harus beristirahat selama dua bulan.
Kesaksian Anya*
Di kota yang sama, relawan medis Anya (nama samaran) mengalami cedera. Pakaiannya robek setelah didorong petugas hingga jatuh ke dalam selokan sedalam 1,5 meter saat pembubaran protes.
“Ada beberapa orang, lebih dari sepuluh, yang terus berteriak marah sambil mendorong saya ke selokan setelah saya berteriak kepada mereka untuk berhenti memukul dan menendang seorang sukarelawan medis,” katanya.
Sebelumnya, Anya menyaksikan rekan-rekannya dipukuli dengan pentungan dan ditendang oleh polisi, baik berseragam maupun berpakaian sipil, yang memaksa mundur para pengunjuk rasa.
Dampak Protes di Bandung
Protes dua hari di Bandung berujung banyak korban luka dan puluhan penangkapan. Amnesty mencatat setidaknya 25 orang terluka dan tujuh ditahan selama protes di Gedung DPRD Jawa Barat (22/8).
Hari berikutnya (23/8), sebanyak 104 orang terluka dan 16 ditangkap di Bandung. Pengunjuk rasa di delapan kota lain juga mengalami insiden serupa, termasuk di Banda Aceh, Lhokseumawe, Jambi, Jakarta, Kediri, Banjarmasin, Palu, dan Makassar (lihat peta).
Penggunaan Tidak Tepat Meriam Air dan Gas Air Mata
Verifikasi Evidence Lab
Tim Evidence Lab memverifikasi video yang merekam aksi di depan Balai Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 22/8. Video menunjukkan penggunaan meriam air jarak dekat ke kerumunan demonstran, terkadang diarahkan ke kepala. Cara penggunaan meriam air seperti ini melanggar tugas kepolisian untuk meminimalkan bahaya dan cedera serta bertentangan dengan standar internasional, seperti Pedoman PBB tentang penggunaan senjata kurang mematikan.
Semprotan meriam air bertekanan tinggi dapat menyebabkan cedera parah, termasuk patah tulang, cedera otak, dan kerusakan organ dalam. Risiko ini muncul jika semprotan dari jarak dekat diarahkan ke area sensitif seperti kepala atau dada.
Amnesty juga memverifikasi sebuah video yang merekam aksi di depan Gedung DPRD Riau di Pekanbaru pada 24 Agustus 2024. Video menunjukkan sekelompok mahasiswa berhadapan dengan polisi yang dilengkapi tongkat dan perisai. Sebuah meriam air disemprotkan, nyaris mengenai para pengunjuk rasa yang berdiri di atas kendaraan komando mereka.
Penyalahgunaan Gas Air Mata
Amnesty menemukan bukti penyalahgunaan gas air mata. Video menunjukkan seorang petugas menembakkan pelontar genggam 37/38mm dengan lintasan melengkung ke arah belakang kerumunan demonstran. Apa pun isi pelontar, tabung gas air mata atau proyektil berdampak kinetik, tetap melanggar standar internasional.
Gas air mata berdampak pada semua orang yang ada di area terpapar, termasuk pelintas dan pengunjuk rasa. Gas air mata seharusnya hanya digunakan jika ada kekerasan meluas terhadap orang yang tidak dapat dikendalikan dengan cara lain. Tidak ada indikasi telah terjadi kekerasan serius dan meluas selama protes tersebut.
Penembakan gas air mata di belakang kerumunan juga meningkatkan ketegangan karena orang-orang berusaha menghindari paparan gas air mata. Tak jelasnya jalur evakuasi menyebabkan kepanikan kerumunan. Selain itu, proyektil berdampak kinetik tidak boleh ditembakkan secara acak, tetapi hanya kepada individu yang terlibat dalam kekerasan serius terhadap orang lain.
Pelanggaran di Berbagai Kota
Polisi kerap memakai gas air mata untuk membubarkan aksi. Gas air mata dilarang dipakai untuk membubarkan aksi damai, walau terjadi kekerasan yang terisolasi. Penggunaan gas air mata hanya dibenarkan jika kekerasan telah mencapai tingkat tinggi yang tak dapat diatasi dengan langsung menargetkan individu yang melakukan kekerasan.
Para mahasiswa yang mengalami penembakan gas air mata terjadi di setidaknya empat kota, yaitu Bandung, Banyumas, Palu, dan Purwokerto (lihat peta). Di Jakarta, mahasiswa bernama Jono (nama samaran) mengaku sulit bernapas dan matanya terasa perih akibat gas air mata saat polisi membubarkan unjuk rasa di depan DPR sore hari, 22/8, dan saat beberapa pengunjuk rasa mencoba memasuki kompleks tersebut melalui perobohan pagar. Dia kehilangan kesadaran saat temannya membawanya ke rumah sakit dan baru sadar setelah mendapat bantuan oksigen.
Penangkapan sewenang-wenang
Amnesty mengidentifikasi kasus-kasus penangkapan sewenang-wenang selama gelombang protes #PeringatanDarurat.
Protes adalah bentuk ekspresi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam praktiknya, aparat keamanan menangkap para pengunjuk rasa tanpa prosedur yang transparan dan kerap mengalami kekerasan fisik serta intimidasi psikologis.
Ahmad (nama samaran), seorang pengacara publik di Banda Aceh, ikut aksi massa menolak revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR Aceh (DPRA) pada 23 Agustus. Polisi menangkapnya atas tuduhan provokator usai menegur petugas polisi yang memukuli mahasiswa saat pembubaran pengunjuk rasa di sekitar Gedung DPRA.
Ahmad lalu dipukuli dan ditendangi sebelum dibawa ke Polresta Banda Aceh. Ia bebas pada saat malam hari setelah polisi mengetahui identitasnya sebagai pengacara publik dari suatu lembaga bantuan hukum di Banda Aceh. Polisi tidak meminta maaf atau memberi penjelasan memadai atas penangkapan semena-mena itu.
Selain di Banda Aceh, penangkapan sewenang-wenang juga terjadi di setidaknya lima kota lain, seperti Jakarta, Semarang, Mataram, Banjarmasin, dan Makassar.
Penahanan inkomunikado
Penahanan inkomunikado merujuk pada praktik di mana seseorang ditahan tanpa diizinkan berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk keluarga, pengacara, atau pihak lainnya.
Praktik ini sering terjadi dalam konteks aksi protes damai di Indonesia, terutama dengan sasaran aktivis yang dituduh sebagai provokator.
Penahanan inkomunikado berbeda dari penahanan biasa. Ia tak hanya membatasi kebebasan fisik, tapi juga melanggar hak atas bantuan hukum, dan jika berlangsung lama, ini adalah bentuk penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat lainnya.
Jenis penahanan ini mengisolasi korban dari dunia luar, sering kali membuat keluarga dan kuasa hukum tidak mengetahui keberadaan mereka.
Amnesty mewawancarai Rama (nama samaran), aktivis hak asasi manusia di Jakarta yang menjadi korban kekerasan dan penahanan inkomunikado saat protes menolak revisi UU Pilkada di DPR RI pada sore hari, 22 Agustus 2024. Protes tersebut berlangsung damai hingga gerbang masuk ke gedung parlemen roboh dan sejumlah pengunjuk rasa mencoba masuk.
Pada saat itu, Rama dan temannya berupaya menyelamatkan diri ketika polisi membubarkan kerumunan pengunjuk rasa dan mulai memukul orang-orang setelah gerbang roboh. Namun, keduanya menjadi sasaran serangan fisik dan verbal oleh polisi.
“Saya berulang kali dipukul di wajah dan kepala. Dada saya ditendang. Hidung saya patah, sehingga sulit bernapas. Saya juga dihina dengan kata-kata kasar oleh petugas,” katanya.
Meskipun mengalami cedera parah dan kesulitan bernapas akibat hidungnya yang patah, Rama tidak segera menerima pertolongan pertama di lokasi. Sebaliknya, ia ditahan pada sore hari itu dan dibawa ke Markas Besar Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya).
Di markas polisi, Rama mengungkapkan bahwa ia tidak segera mendapatkan bantuan hukum atau kesempatan untuk menghubungi keluarganya. Selama hampir enam jam, ia tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun di luar.
Sejak dibawa ke markas polisi pada pukul 5 sore, polisi tidak menawarkan panggilan telepon ke keluarganya atau layanan bantuan hukum. Ia baru dapat bertemu rekan-rekan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sekitar pukul 11 malam. Ia melihat rekan-rekannya mencari dan memanggil mereka untuk meminta bantuan hukum usai kembali ke ruang penyidikan polisi dari klinik di kantor polisi. Rama menyatakan ia tidak segera dibebaskan. Ia ditahan selama 30 jam.
“Saya ditangkap sekitar pukul 4 sore dan baru dibebaskan pada malam berikutnya pukul 10 malam,” katanya.
Amnesty juga mewawancari Anto (nama samaran), mahasiswa di Banda Aceh, yang mengalami penahanan inkomunikado selama aksi protes atas kekerasan polisi di depan gedung DPRA pada 29 Agustus.
Ia ditahan selama tiga hari di Polresta Banda Aceh. Anto dan lima mahasiswa lainnya dikenai tuduhan ujaran kebencian karena membawa spanduk bertuliskan, “Polisi pembunuh.”
Mereka dijerat dengan Pasal 156 dan 157 KUHP tentang ujaran kebencian, tapi tuduhan sangat berlebihan. Pasal 156 menargetkan ujaran kebencian berbasis ras, etnis, atau agama, sedangkan Pasal 157 membahas kebencian pada satu golongan penduduk atau masyarakat. Dalam kasus ini, polisi tidak masuk dalam kategori tersebut.
Tim Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh mencoba menemui Anto dan rekan-rekannya segera usai mereka ditahan guna memberi bantuan hukum. Namun, polisi tidak mengizinkan mereka bertemu dengan para tahanan.
Mereka baru diizinkan bertemu keesokan hari. “Kami ditawarkan [oleh polisi] untuk menghubungi penasihat hukum hanya sehari setelah menghabiskan malam [dalam tahanan],” kata Anto kepada Amnesty.
Sinyal Bahaya Normalisasi Kekerasan, Tanggung Jawab Pimpinan Komando dan Kapolri
Meskipun telah banyak laporan kekerasan polisi selama aksi Peringatan Darurat berlangsung yang dikeluarkan kelompok masyarakat sipil, Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri Irjen Pol. Abdul Karim pada tanggal 28 Agustus 2024 mengatakan bahwa hasil evaluasi divisinya menyatakan aparat kepolisian sudah melakukan pengamanan sesuai SOP yang ditatur di dalam Peraturan Kapolri 2009.
“Ini menunjukkan bahwa kepolisian, khususnya mereka yang memegang komando tertinggi, terkesan menormalisasi penggunaan kekerasan dalam penanganan aksi damai dengan mengatakan semuanya sudah sesuai SOP. Ini merupakan sinyal bahaya bagi penegakan HAM,” kata Usman.
“Normalisasi ini merupakan bentuk pilihan kebijakan atasan yang membiarkan terjadinya kekerasan. Hal ini terbukti bahwa jika anggota polisi ada yang melakukan kekerasan maka akan mendapat pembelaan dari atasan. Jadi pola kekerasan ini terus dijaga lewat impunitas pelaku di lapangan yang mendapat perlindungan dari pimpinan tertinggi mereka,” tambah Usman.
Kekerasan aparat tidak akan terjadi jika pimpinan mereka ataupun pejabat eksekutif yang mengawasi kepolisian melakukan kontrol atas kerja-kerja polisi. Keberulangan pola-pola kekerasan polisi dalam menangani aksi demonstrasi mengindikasikan bahwa komandan atau petinggi mereka bertanggung jawab baik secara langsung maupun tidak langsung karena mereka gagal menjalankan tugas mereka dalam mencegah terjadinya aksi kekerasan polisi. Walaupun mereka tidak secara langsung memerintahkan aksi kekerasan tersebut, minimal mereka bersikap toleran terhadap aksi kekerasan oleh bawahan mereka yang sangat jelas melanggar HAM.”
“Temuan Amnesty pada 2020 lalu juga mengkonfirmasi kekerasan polisi dalam demo menolak Omnibus Law dan saat itu kepolisian mengatakan mereka telah melaksanakan SOP. Setelah aksi Peringatan Darurat Agustus lalu, Propam juga mengatakan polisi bekerja telah sesuai SOP sekalipun bukti-bukti kekerasan sangat terang benderang. Sekali lagi ini merupakan normalisasi penggunaan kekerasan berlebihan dan Kapolri sebagai pimpinan tertinggi memilih untuk tidak melakukan evaluasi yang mendalam dan menyeluruh yang mengakibatkan terjadinya keberulangan kekerasan baik pada level praktik maupun pada pilihan kebijakan yang membiarkan kekerasan terjadi. Oleh karena itu, Kapolri juga turut serta bertanggung jawab sebagai pimpinan tertinggi Polri.”
Meskipun benar bahwa dilaporkan terjadi kerusakan yang signifikan terhadap properti, serta cedera pada personel polisi, ketidakseimbangan dalam jumlah cedera yang dialami oleh peserta aksi, serta studi kasus dan bukti visual menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tidak proporsional secara berulang-ulang merupakan suatu bentuk kebijakan polisi dan tidak serta merta hanya merupakan tanggung-jawab aparat di lapangan yang melakukan kekerasan yang tidak mengindahkan perintah komandan mereka.
Kebijakan ini, yang dibuat oleh petinggi-petinggi Polri, memandang bahwa kekerasan fisik merupakan tindakan yang diperlukan untuk memulihkan “ketertiban umum”, menghukum pengunjuk rasa dan mengakhiri demonstrasi dengan cara papun.
“Melihat bukti-bukti kekerasan yang terjadi sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa rangkaian kegagalan dari komandan polisi yang jauh dari unsur ketidaksengajaan merupakan suatu bentuk kelalaian berulang yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” lanjut Usman Hamid.
*)Semua nama narasumber telah diubah demi melindungi identitas.
[1] Amnesty’s Use of Force: Guidelines for Implementation of the UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, hlm. 152–153, dan posisi Amnesty International mengenai penggunaan pentungan, hlm. 12.