Pembela HAM, Penyintas 65 menjadi korban aksi kekerasan kelompok anti-komunis

Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah untuk mengusut dan menghukum pelaku penyerangan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Kegagalan untuk menindak pelaku hanya akan memperparah kultur impunitas dan akan mengakibatkan lahirnya ancaman-ancaman baru terhadap pembela HAM di masa akan datang.

Aksi kekerasan seperti itu juga akan menciptakan ketakutan bagi penyintas tragedi 1965 untuk berbicara di ruang publik mengungkapkan apa sebenarnya yang mereka alami saat pembunuhan massal tersebut terjadi. Sekitar 1 juta orang yang dituduh anggota, simpatisan atau pendudukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh dalam peristiwa tersebut.

Pada Senin dini hari, sekitar 1.000 massa anti-komunis mengepung dan melempari kantor YLBHI dengan batu. Mereka menuduh YLBHI menyelenggarakan kegiatan yang berbau komunis pada hari Minggu. Sehari sebelumnya, kepolisian melarang dilaksanakannya seminar terkait peristiwa 1965 di YLBHI pada hari Sabtu setelah polisi mendapatkan tekanan dari massa kelompok anti-komunis.

Serangan pada Senin dini hari tersebut melukai aparat kepolisian dan merusak beberapa bagian gedung YLBHI.

“Apa yang terjadi pada dini hari tadi adalah serangan yang serius terhadap pembela  HAM. Kami meminta polisi untuk menginvestigasi dan menghukum para pelaku. Kegagalan untuk menindak pelaku hanya akan memperburuk kultur impunitas di Indonesia. Hal tersebut juga akan menciptakan climate of fears bagi penyintas 65 untuk berbicara mengenai tragedi berdarah tersebut,” kata Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia.

Amnesty International Indonesia juga mendesak polisi untuk memberikan perlindungan penuh bagi pembela HAM dan penyintas tragedi 65 serta pegawai YLBHI yang terjebak di dalam gedung dan mendapatkan intimidasi saat serangan tersebut terjadi.

“Kami mengapresiasi polisi karena telah berhasil membubarkan massa. Namun, kami juga meminta agar polisi menangkap dan menghukum aktor di balik penyerangan tersebut lewat sebuah investigasi yang transparan,” kata Usman.

Tim Amnesty International berada di lapangan pada saat peristiwa tersebut terjadi.

Pada demonstran menuduh YLBHI akan melaksanakan seminar terkait PKI untuk memberikan pembenaran terhadap aksi kekerasan yang dilakukannya. Walaupun polisi sudah memberitahu bahwa tidak ada kegiatan terkait komunis di YLBHI pada hari Minggu, para demonstran tetap bertahan sebelum mereka melancarkan serangan pada Senin dini hari.

Peristiwa penyerangan ini tidak bisa dilihat dalam konteks tunggal. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, yang marah saat beredar hoax yang mengaitkan dirinya dengan komunisme, mengatakan “jadi, kalau bisa tunjukkan pada kita, tunjukkan pada saya, saya akan gebuk detik itu juga” jika PKI bangkit lagi di Indonesia.

Sebelum Presiden Jokowi berbicara di publik terkait kampanye “gebuk” PKI tersebut, ada rangkaian propaganda anti PKI yang dilancarkan oleh elit militer. Hal ini kemungkinan yang menginspirasi Presiden untuk melancarkan kampanye “gebuk” PKI.

Pada saat serangan tersebut beberapa demonstran berteriak “Presiden sudah bilang gebuk PKI.” Apa yang telah dilontarkan oleh Presiden Jokowi sangat berbahaya karena kempane “gebuk” komunis tersebut bisa dijadikan alasan bagi kelompok vigilante untuk menyerang kelompok lain.

“Presiden harus memikirkan dengan matang sebelum mengeluarkan pernyataan di publik. Penyerangan hari ini jelas memperlihatkan bahwa kelompok massa tersebut terinspirasi dari kampanye Presiden Jokowi melawan komunis. Ini sangat berbahaya karena orang-orang bisa bertindak atas nama Presiden untuk menyerang kelompok lain,” kata Usman.

Narahubung:
Haeril Halim
Communications Officer, Amnesty International Indonesia
[email protected]
+628118820055