[Peringatan: Cerita berikut dapat memicu pengalaman traumatis. Kami sarankan Anda tidak melanjutkan membaca jika dalam keadaan rentan. Beberapa nama disamarkan demi keamanan korban]
Wina bangun pukul 04.30 pagi. Dapur masih gelap, hawa dingin merayap masuk dari celah jendela. Tangannya sigap meraih panci, menanak nasi, memanaskan air, dan menyiapkan sarapan sebelum majikannya terjaga. Setiap langkahnya diatur oleh jadwal yang tak tertulis, kewajiban yang tak pernah habis. Waktu makannya hanya 30 menit, itupun disertai tatapan penuh pengawasan. Jangan sampai terlihat bersantai, jangan sampai kelihatan lelah.
“Makan pagi saya cepat-cepat, takut saya ditegur karena dikira bersantai di belakang. Padahal kan saya juga butuh istirahat ya, Mba,” ujar Wina tentang perlakuan salah seorang majikannya.
Ia baru berusia 14 tahun ketika meninggalkan rumahnya di Manonjaya, Tasikmalaya untuk menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Tahun 1997, masih anak-anak tamat SMP, lalu bekerja, karena tak ada pilihan lain. Kemiskinan memaksa dirinya yang masih berumur belasan ke dunia kerja yang tidak mengenal batas waktu dan perlindungan hukum.
Satu tahun di Manunjaya, kemudian merantau ke Singapura sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di tahun 1999. Usianya belum genap 17 tahun. Selama hampir 30 tahun menjadi PRT, Wina berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Singapura, Hongkong, lalu kembali ke Indonesia. Ia bekerja untuk keluarga Korea, Kanada, Amerika. Tahun-tahun awalnya di luar negeri penuh dengan ketakutan.
“Saat di Hongkong, saya bisa 24 jam kerja. Bangun subuh, tidur setelah tengah malam. Jam 1 atau jam 2 malam saya baru tidur. Karena bosnya galak banget. Dan itu saya di luar negeri, bukan negara saya, jadi ada rasa takut.”
Jadwal Wina Saat Bekerja sebagai PRT di Hongkong

“Kenapa Tidak Pernah Selesai?”
Wina bukan hanya bekerja dari pagi hingga larut malam, tetapi juga menghadapi beban kerja yang terus bertambah tanpa batas. Ia berharap bisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, tapi selalu ada hal baru yang muncul—entah dari anak, istri, atau suami majikan. Tidak ada ruang untuk istirahat, apalagi untuk dirinya sendiri.
Libur pun bukan benar-benar libur. “Saya tak tahu harus ke mana, saya juga nggak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan orang lain selama di sana.” Setelah menikah pada 2007, Wina mencoba menetap. Tapi kebutuhan hidup tak memberi pilihan selain kembali bekerja. Ada masa ketika ia bekerja di empat tempat sekaligus dalam sehari, berpindah dari satu pintu ke pintu lain demi menghidupi keluarganya. Saat hamil dan melahirkan anak kedua, ia membawa perutnya yang membesar ke rumah majikan, menggendong bayinya yang masih merah saat membersihkan lantai. “Setelah menikah, saya pegang empat kerja part-time untuk memenuhi kebutuhan rumah. Pergi ke satu rumah, rumahnya saya bersihkan. Buka pintu bom pecah [rumah berantakan—red]. Tutup pintu udah rapi. Pergi pindah dan ulangi.”
Gajinya? “Ada yang 300 ribu sebulan, paling besar 800 ribu.”
Meski demikian, Ia tetap merasa lebih aman jika bekerja di negara sendiri. Di sini, setidaknya, ia tidak dihantui rasa takut seperti saat di luar negeri.
Namun, satu hal yang tak berubah: kelelahan. PRT seperti Wina hidup dalam dunia yang tidak mengenal jam kerja. “Saya jam kerjanya 24 jam loh di rumah majikan. Setiap waktu, setiap saya dipanggil, saya harus mau melaksanakan tugas itu.” Ia membandingkan: “Sopir, kerjanya cuma bawa mobil. Itu pun banyak nunggu, tapi gajinya lebih besar.”.
Sementara ia, yang tak hanya bekerja membersihkan rumah, tapi juga mengasuh anak, memasak, mencuci, bahkan harus selalu siap siaga dipanggil kapan saja—tetap dianggap tidak lebih dari ‘pembantu’ yang bisa diperlakukan sesuka hati.
Tak Ada Ruang Aman di Rumah Orang
Wina mengira ia sudah cukup lelah hari itu. Setelah seharian menyiapkan sarapan, mengantar anak majikannya ke sekolah, mencuci baju, membersihkan kamar mandi, lalu kembali lagi ke dapur untuk memasak makan malam, ia berharap setidaknya ada jeda sebelum lanjut menyetrika. Tapi tak ada jeda. Tak pernah ada.
Suami majikannya memanggil. Permintaan yang sama seperti sebelumnya. “Pijat sebentar,” katanya, sambil meregangkan tubuh. Harusnya ini tugas tambahan, bukan sesuatu yang perlu dicurigai.
“Saya takut sekali. Tiba-tiba, bagian sensitifnya minta dipijat juga. Saya menolak tapi saya syok berat,” kata Wina patah-patah.
Wina sempat membeku. Tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
“Kenapa dia melakukan itu? Padahal saya kan nggak cantik. Saya risih banget,” katanya.
Esok paginya, Wina bangun seperti biasanya. Badannya terasa lebih berat, tapi pekerjaannya tetap harus dilakukan. Dapur menunggu. Anak majikan harus diantar ke sekolah. Lantai harus dipel. Satu-satunya yang berubah adalah perasaan yang ia bawa: perasaan kotor, perasaan malu, yang anehnya, justru tertuju pada dirinya sendiri.
“Yang melakukan dia… Kok yang merasa berdosa saya?”
Hari itu, Wina memilih diam. Juga hari-hari setelahnya. Ia menelan semuanya—ketakutan, jijik, marah—sendirian.
“Mau cerita? Malu. Kedua, siapa yang percaya? Dia majikan, punya uang. Masalahnya saya kerja dan butuh duit juga,” katanya lirih.
Tahun demi tahun berlalu, tapi ingatan itu menempel erat. Belasan tahun kemudian, meski ia tak pernah lagi bertemu majikannya itu, tubuhnya masih mengingat. Saat menceritakannya kepada Amnesty, Wina muntah. Seperti ada yang keluar dari dalam dirinya—bukan hanya sisa makanan, tapi trauma yang bertahun-tahun tertahan.Butuh lebih dari satu dekade baginya untuk memahami: ini bukan sekadar “nasib buruk.” Ini adalah ketidakadilan yang sistemik. Kekerasan yang tumbuh subur dalam ketimpangan kuasa, dalam kerja-kerja perawatan (care work) yang tidak diakui sebagai pekerjaan yang bernilai ekonomi dan sosial, sehingga tidak diberikan perlindungan selayaknya pekerja pada umumnya.
“Mau Cari PRT yang Bodoh?”
Serupa dengan Wina, saat teman-teman seusianya masih sibuk menikmati masa remaja, Anis sudah harus mengepak barangnya dan meninggalkan kampung halaman di Nganjuk. Usianya masih belia ketika ia menginjakkan kaki di Surabaya, bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Seperti anak-anak perempuan lain di desanya, ia melihat pekerjaan PRT di kota sebagai peluang.
“Kayaknya enak ya,” pikirnya saat itu.
Di Surabaya, Anis bekerja di rumah keluarga lokal. Ia mengikuti jejak kakaknya, melalui penyalur tidak resmi, tapi sudah jadi kebiasaan. Dulu, tidak ada yang bertanya apakah mereka siap, apakah mereka paham hak-haknya, atau apakah ada perlindungan bagi mereka. Yang penting bisa bekerja, yang penting ada uang.
Jam kerjanya panjang, tubuhnya lelah, tapi Anis bertahan. Tahun demi tahun berlalu, ia berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Ia pernah bekerja dengan ekspatriat, pernah juga harus berjaga sampai larut malam menunggu majikannya pulang. Hari libur? Hampir tidak ada. Jika ingin izin, harus ada alasan yang cukup kuat, harus ada yang bisa menggantikan tugasnya.
Tapi kemudian, Anis bertemu Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT). Di sana, ia belajar sesuatu yang selama ini tak pernah diajarkan padanya: bahwa ia bukan sekadar “pembantu”—ia adalah pekerja.
Wina pun ikut terlibat dengan JALA PRT, meski butuh bertahun-tahun baginya untuk percaya. “Saya pikir ini cuma modus arisan,” katanya sambil tertawa getir, mengingat betapa ia dulu menepis setiap ajakan untuk bergabung. “Mana ada bantuan hukum gratis?” pikirnya saat itu.
“Dari sekolah PRT di JALA PRT, saya belajar negosiasi dengan majikan. Belajar kalau sebenarnya saya juga punya hak. Bahkan mengikuti pelatihan paralegal untuk mendampingi PRT yang lain.”
Namun perlahan, ia melihat sendiri bagaimana kawan-kawannya dibantu. Bagaimana pelatihan dan sekolah hukum yang diberikan membantunya memahami bahwa rasa syukur atas hasil pekerjaannya tak seharusnya menjadi dalih untuk menerima ketidakadilan
“Alhamdulillah Mba, dengan bantuan JALA PRT, saya akhirnya dapat ijazah SMA pada usia 41, pake paket C,” kata Wina dengan bangga.
Namun, tidak semua majikan bisa menerima pekerja yang tahu haknya. Anis bercerita tentang majikan yang terang-terangan menolaknya, “Saya tidak mau PRT yang pintar bicara seperti Anda. Saya mau cari PRT yang bodoh,” kata si majikan tanpa malu-malu. “Ya ampun, segitunya. Dikira kita ini bukan manusia?” keluh Anis.
Anis sebenarnya tak begitu terkejut. Setelah 21 tahun bekerja sebagai PRT, ia sudah tahu bagaimana dunia memandangnya, dan PRT seperti dia. Tapi yang lebih membuatnya marah adalah bagaimana sistem terus membiarkan ini terjadi.
“Saya pernah di-PHK tanpa pesangon, gaji nggak dibayar, cuma karena saya hamil. Seolah-olah PRT nggak boleh punya kehidupan sendiri.”
Saat itu, Anis tidak tinggal diam. Ia melaporkan kejadian itu ke JALA PRT, dan organisasi tersebut membantu mengirim surat somasi ke majikannya. “Baru setelah tiga kali surat somasi dikirim ke kedutaan, kantor, dan rumahnya, dia mau merespon. Akhirnya saya dapat empat bulan gaji, tiga bulan pesangon, dan satu bulan THR. Tapi kenapa harus ribet dulu? Kenapa harus pakai hukum dan pengacara dulu?”


Ribuan Kasus Kekerasan, Nol Perlindungan Hukum
Sayangnya, perlakuan buruk ini bukan kebetulan dialami Wina dan Anis saja. Relasi kuasa yang sangat timpang dengan pemberi kerja membuat PRT mana pun rentan terhadap perlakuan yang sewenang-wenang. Di balik pintu rumah-rumah di Indonesia, pekerja rumah tangga (PRT) terus menjadi korban kekerasan dan eksploitasi tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Masalah ini bukan hal baru. Sudah lebih dari 20 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diperjuangkan, tapi sampai hari ini belum juga disahkan. Sementara itu, kekerasan terhadap PRT terus terjadi. JALA PRT mencatat ada 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT dalam kurun waktu 2021-2024. Kekerasan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup kekerasan psikis, ekonomi, bahkan perdagangan manusia. Itu hanya yang terlapor—kenyataannya, bisa jadi jauh lebih banyak.
PRT Masih Rentan: Kekerasan, Upah Murah, dan Jam Kerja Panjang
Bekerja tanpa perlindungan hukum membuat PRT sering kali diperlakukan semena-mena. Mereka bisa dipecat kapan saja, ditahan gajinya, bahkan mengalami kekerasan fisik dan seksual tanpa ada mekanisme perlindungan yang jelas.
Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mengungkap bahwa antara 2019-2023, terdapat 25 kasus kekerasan terhadap PRT yang diadukan ke Komnas Perempuan. Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2020 mencatat bahwa 30% dari Anak dalam Bentuk Pekerjaan Terburuk (BPTA) adalah PRT anak.
Dalam dua kasus terakhir pada 2023-2024, PRT anak tidak hanya mengalami eksploitasi ekonomi, tetapi juga kekerasan seksual dan penyiksaan. Kasus-kasus ini kerap berakhir tanpa proses hukum karena laporan dicabut oleh orang tua atau wali korban—sebuah potret betapa lemahnya posisi PRT di hadapan sistem hukum yang ada.
Kasus penyiksaan juga kerap terjadi bahkan awal tahun 2024 terdapat PRT asal NTT yang bekerja di Jawa Barat yang dikurung dan tidak diberi makan oleh pemberi kerja, juga 5 orang PRT yang berusaha kabur dari rumah pemberi kerja karena diduga mengalami penyekapan dan penganiayaan. Juni lalu bahkan terdapat PRT di Tangerang yang melakukan aksi bunuh diri dimana PRT ternyata merupakan pekerja anak yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Eksploitasi ini juga terlihat dari upah yang sangat rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2022, rata-rata upah PRT di Indonesia hanya Rp437.000 per bulan. Dengan jam kerja panjang, beban kerja berat, dan minimnya waktu istirahat, angka ini jauh dari standar upah layak. Perbandingan sederhana: seorang pekerja formal dengan upah minimum di Jakarta (Rp4,9 juta) mendapatkan lebih dari 11 kali lipat dari PRT. PRT bahkan hanya mendapatkan sekitar 9% dari angka tersebut, padahal banyak PRT yang bekerja di kota besar dengan biaya hidup tinggi

Pekerjaan domestik sering dianggap tidak membutuhkan keterampilan, sehingga “diwajarkan” dibayar murah tanpa jaminan perlindungan. Padahal, mereka penopang ekonomi. Tanpa pekerjaan domestik yang baik, pekerjaan publik tak bisa berjalan lancar.
RUU PPRT seharusnya bisa mengubah semua ini. Tapi setiap kali harapan itu terasa dekat, ia kembali ditarik mundur. Tahun lalu, RUU ini sudah masuk prolegnas. Kini, setelah pergantian pemerintahan, semuanya harus dimulai dari nol lagi. Anis lelah, tapi ia tak akan diam. Karena ia tahu, selama tak ada perlindungan hukum, majikan akan terus merasa berhak memperlakukan PRT sesuka hati. Upah rendah, jam kerja tak masuk akal, kekerasan yang tak pernah dihukum—semuanya akan terus terjadi.
“Masih banyak teman-teman saya yang mengalami kekerasan, baik fisik, ekonomi, maupun psikologis. Tapi mereka nggak berani melawan karena nggak ada perlindungan.”
Dan Anis tak ingin itu terus terjadi. Ia sudah 21 tahun bekerja sebagai PRT. Ia tahu betapa beratnya hidup tanpa perlindungan. Ia tahu bagaimana rasanya dianggap bukan siapa-siapa. Anis menyaksikan sendiri bagaimana politik membiarkan pekerja rumah tangga tetap tak terlindungi.
“Tahun lalu, sebelum pergantian pemerintahan, RUU PPRT sudah masuk Prolegnas. Tapi sekarang, mulai dari nol lagi. Saya sedih banget. DPR itu kan banyak majikannya, mereka takut kalau PRT punya hak.”
Sampai hari ini, PRT masih bekerja dalam ketidakpastian. Tanpa upah layak, tanpa jaminan kesehatan, tanpa jaminan hari libur, tanpa perlindungan dari kekerasan.
“Kadang saya sakit, meriang pas mau menstruasi, terus izin sehari. Langsung dibilang, ‘Bulan depan gaji kamu dipotong ya, karena kamu nggak masuk kerja.’ Apa mereka kalau kerja di kantor juga gitu, sakit dipotong gajinya?”
Bagi Anis, keberadaan RUU PPRT bukan sekadar soal peraturan, tapi soal keadilan. “Kalau RUU PPRT nggak disahkan, majikan akan terus semena-mena. Kekerasan akan terus merajalela. Upah layak? Juga nggak ada.”
Padahal menurut Wina, RUU PPRT juga menguntungkan pemberi kerja.
“Salah satunya ya soal BPJS ketenagakerjaan. Kalau RUU PPRT disahkan, semisal PRT mengalami kecelakaan di tempat kerja, majikan gak repot-repot ngeluarin uang banyak, kan ada asuransi yang tanggung,” kata Wina.
Belasan tahun, rasanya semua sudah dilakukan. Bersama dengan barisan serbet–sebutan gerakan solidaritas sesama PRT–mereka telah mengirimkan surat ke DPR, melakukan lobi, audiensi, sosialisasi, demonstrasi, hingga mogok makan dan merantai diri di depan gedung DPR RI. Tapi RUU PPRT mandek lagi.
Ulang-Alik RUU PPRT: Selangkah Lagi, Kenapa RUU PPRT Harus Mengulang dari Nol?
“Ini gimana proses legislasinya, negara ini kayak kacau.”
Ari dari JALA PRT
Kekecewaan itu terasa kuat di suara Ari dari JALA PRT. Sebagai bagian dari advokasi RUU PPRT sejak 2016, ia menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan ini hampir mencapai garis finish—hanya untuk kembali ditunda.
Sudah lebih dari 20 tahun ia dan kawan-kawannya menunggu pengesahan RUU Perlindungan PRT. 20 tahun. Itu lebih lama dari anak-anak yang PRT besarkan di rumah majikan, lebih lama dari waktu yang dibutuhkan untuk menjadi dokter atau insinyur. Tapi undang-undang yang seharusnya melindungi mereka masih menjadi janji kosong di meja parlemen.
Satu bulan lagi, tepatnya pada 21 Maret adalah momentum satu tahun disahkannya RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR. Dua tahun lalu, Presiden bahkan sudah mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan menunjuk kementerian yang bertanggung jawab untuk membahasnya.
Tapi setelah itu? Mandek.
RUU PPRT sudah melewati banyak tahapan: masuk Prolegnas, jadi prioritas tahunan, bahkan sudah menjadi RUU inisiatif DPR. Tinggal satu langkah lagi—tapi tetap tak kunjung disahkan. Sementara itu, RUU lain seperti IKN, Minerba, hingga perubahan di Polri melenggang cepat. Sebab, RUU PPRT masuk kategori non-carry over, yang berarti harus diulang dari nol dalam periode DPR berikutnya.
“Kemarin sempat terdistrak juga proses pengesahannya karena Pilpres dan Pilkada, ini juga perlu kita evaluasi sebagai gerakan yang mengadvokasi RUU ini” ujar Ari.
“Tapi kami tidak putus asa,” lanjutnya. Meskipun dua kali RDPU dengan JALA PRT ditunda, ada secercah harapan. Beberapa fraksi semakin solid mendukung: PKB, PKS, Nasdem, bahkan Golkar. Sayangnya, PDI-P masih belum jelas sikapnya.
“Masalahnya ada di tangan Ketua DPR, Puan Maharani, yang belum juga memberikan lampu hijau untuk mengesahkannya,” ujar Ari.

Legislator Masih Gagal Paham?
Namun, tantangan tak hanya datang dari rumitnya proses legislatif. Banyak anggota DPR sendiri tak benar-benar membaca RUU ini. Mereka khawatir majikan akan dikriminalisasi atau ada tuntutan upah minimum provinsi (UMP) untuk PRT—padahal, itu sama sekali tidak ada dalam draf RUU PPRT.
Kesalahpahaman seperti inilah yang membuat RUU ini terus tertunda. Dan ironisnya, banyak dari mereka yang berbicara sebagai majikan, bukan sebagai wakil rakyat.” Nanti jangan-jangan kita sebagai majikan dikriminalisasi. Jelas-jelas begitu. Dikit-dikit nanti dikomplain.” ujar salah seorang anggota DPR saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU PPRT pada 2020.
Bagi mereka, RUU PPRT dianggap menghilangkan “asas kekeluargaan dan gotong royong” dalam hubungan majikan-PRT.
Padahal jika ditelaah lebih dalam, justru relasi kerja tanpa aturan yang selama ini membuat pekerja rumah tangga dalam posisi lemah. “Persoalan selama ini mereka menikmati privilese dan takut itu hilang. Mereka bisa menyuruh PRT itu kapan saja, melayani kapan saja,” kata Ari.
“RUU PPRT ini menjadi hal yang mendesak betapa segala bias terjadi pada kawan-kawan PRT. Baik itu bias gender, bias kelas, bias ras, feodalisme, perbudakan modern. Semua itu terjadi pada kawan-kawan PRT—mereka tidak bisa berkata tidak.”
Lita Anggraini, Koordinator Nasional JALA PRT, dalam film Mengejar Mbak Puan.
RUU PPRT: Menguntungkan PRT, Menguntungkan Pemberi Kerja
Banyak yang berpikir bahwa RUU ini hanya akan membantu PRT. Padahal, majikan juga diuntungkan. Ari memaparkan setidaknya empat poin penting:
- Mencegah Konflik: Dengan adanya kontrak kerja yang transparan, baik pekerja maupun majikan tahu hak dan kewajibannya. Ini mengurangi potensi kesalahpahaman atau konflik di kemudian hari.
- Jaminan sosial: Jika PRT sakit atau mengalami kecelakaan kerja, BPJS yang menanggung. Pemberi kerja tak perlu panik atau mengeluarkan biaya besar.
- Meningkatkan Profesionalisme – Pekerja rumah tangga yang memiliki perlindungan hukum akan lebih loyal dan bekerja dengan tenang. Ketidakpastian sering kali membuat pekerja tidak maksimal dalam bekerja atau berpikir untuk pindah ke tempat lain.
- Libur satu hari dalam seminggu: Ini bukan hanya hak dasar, tapi juga meningkatkan kesejahteraan PRT agar lebih produktif saat bekerja.

Kenapa Kita Perlu Terlibat?
Pekerja Rumah Tangga (PRT) bukan sekadar “pembantu.” Mereka pekerja, sama seperti profesi lainnya, dan berhak atas perlindungan hukum. Sayangnya, hingga hari ini, hak-hak mereka masih terabaikan. Padahal, Konvensi ILO No. 189 Tahun 2011 dengan jelas menyatakan bahwa PRT berhak atas:
- Upah yang layak & jam kerja wajar: PRT berhak atas upah sesuai standar hidup dan jam kerja yang wajar. Kondisi kerja harus aman dan sehat, dengan akses ke fasilitas yang memadai.
- Cuti tahunan & cuti sakit berbayar: PRT berhak atas cuti tahunan dan cuti sakit yang dibayar. Cuti ini penting untuk istirahat dan pemulihan, serta untuk menjaga kesehatan mental dan fisik mereka.
- Jaminan sosial: PRT berhak atas jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan, pensiun, dan kecelakaan kerja.
- Hak atas perlindungan dari pelecehan dan kekerasan di Tempat kerja: PRT berhak atas tempat kerja yang bebas dari pelecehan dan kekerasan, baik fisik, verbal, maupun seksual. Mereka harus dilindungi dari majikan yang kasar, diskriminatif, dan mengeksploitasi.
- Hak berserikat & berunding: PRT berhak untuk berserikat dan berunding dengan majikan mereka untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan mereka. Mereka harus dapat menyuarakan pendapat dan aspirasinya tanpa rasa takut akan intimidasi atau pembalasan.
Tapi, tanpa payung hukum yang kuat, hak-hak ini hanya sekadar janji kosong. Itu sebabnya kita butuh RUU Perlindungan PRT (RUU PPRT) segera disahkan. Tidak dapat ditunda lagi.
Suara Kita Menentukan Nasib 10 Juta PRT
Kata siapa kita tidak bisa membantu? Kita bisa ikut mendorong perubahan dengan langkah-langkah sederhana tapi berdampak besar:
- Follow akun-akun Instagram advokasi seperti @JalaPRT, @AmnestyWikreti, dan @YLBHI. Dari sana, kita bisa terus update soal perjuangan PRT dan ikut menyebarkan informasinya.
- Ikut aksi Rabuan! Setiap minggu, PRT dan para pendukungnya berdiri di depan Gedung DPR RI, mendesak Ketua DPR, Puan Maharani, agar segera mengesahkan RUU PPRT. Jangan ragu untuk datang, berbincang, atau sekadar mendukung dari jauh.
- Bicarakan di media sosial! Post di Instagram, Twitter, atau WhatsApp story bisa membuat lebih banyak orang sadar akan urgensi ini.
- Tandatangani petisi! Suaramu penting untuk menekan pemerintah agar bertindak.
Terlebih jika kamu anak muda, meski tampak jauh, isu ini sebenarnya sangat relevan untuk kita. Generasi kita bisa jadi generasi terakhir yang mengakhiri rantai kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT. Kalau generasi sebelum kita masih sulit melepaskan kebiasaan lama, kita punya kesempatan besar untuk memastikan masa depan yang lebih adil bagi PRT.
Perubahan dimulai dari kita. Sekarang!