Mencari Keadilan Sampai Ditemukan: Korban Penghilangan Paksa Masih Hilang

Setiap 30 Agustus 2022, dunia memperingati Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa 2022. Korban penghilangan paksa direnggut haknya dan dipisahkan dari orang-orang yang mereka cintai. Di Indonesia, ribuan orang yang menjadi korban penghilangan paksa sejak 1965 masih hilang.

Apa itu penghilangan paksa?

Penghilangan paksa terjadi ketika seseorang ditangkap, ditahan, atau diculik di luar kehendaknya atau dirampas kemerdekaannya oleh pejabat pemerintah, kelompok terorganisir, atau individu, yang bertindak dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan pemerintah. 

Tindakan ini diikuti dengan penolakan mengungkap nasib atau keberadaan mereka, atau penolakan mengakui kemerdekaan mereka dirampas. Penghilangan paksa sering digunakan sebagai strategi menyebar teror di masyarakat.

Siapa pelakunya?

​Pejabat negara atau seseorang yang bertindak dengan persetujuan negara. Pelaku lalu menyangkalnya, atau menolak untuk mengatakan di mana korban berada.​

Penghilangan juga dapat dilakukan oleh aktor non-negara bersenjata, seperti kelompok oposisi bersenjata. ​

Siapa target penghilangan paksa?

Pembela HAM, saksi kasus pelanggaran HAM dan pengacara menjadi target yang paling terancam.​ 

Korban sering tidak pernah dibebaskan dan nasib mereka tetap tidak diketahui. Para korban sering disiksa dan banyak yang dibunuh, atau hidup dalam ketakutan dan trauma. Mereka tahu keluarga mereka tidak tahu di mana mereka berada, dan kecil kemungkinan ada orang yang datang untuk membantu mereka. Bahkan jika mereka lolos dari kematian dan akhirnya dibebaskan, bekas luka fisik dan psikologis tetap ada pada mereka.

Hingga kini, Wiji Thukul, Dedi Hamdun, Hendra Hambali, Abdun Nasser, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Sonny, Noval Alkatiri, Yani Afri, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin dan Ismail masih hilang. Mereka adalah 13 orang yang termasuk dalam puluhan ribu korban penghilangan paksa di Indonesia. Mereka hilang di bawah kepemimpinan ABRI kala itu, Wiranto.​

Penghilangan paksa adalah alat teror​.

Penghilangan paksa sering digunakan sebagai strategi untuk menyebarkan teror di masyarakat. Perasaan tidak aman dan ketakutan yang ditimbulkannya tidak terbatas pada kerabat dekat korban yang dihilangkan, tapi juga memengaruhi komunitas dan masyarakat secara keseluruhan.​

Penghilangan paksa membawa derita dan bahaya bagi keluarga​.

Keluarga dan teman korban mengalami penderitaan dalam menanti kepastian. Mereka tidak mengetahui apakah anak, ibu atau ayah mereka masih hidup. Mereka tidak tahu di mana dia ditahan, atau bagaimana mereka diperlakukan. Mencari kebenaran dapat membahayakan seluruh keluarga. Kerabat kerap hidup dalam ketidakpastian karena tidak tahu apakah orang yang mereka cintai akan kembali.​​

Laki-laki paling ditarget, perempuan mencari keadilan

Secara global, sebagian besar korban penghilangan paksa adalah laki-laki. Namun, perempuanlah yang paling sering memimpin perjuangan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada korban penghilangan paksa. Mereka berisiko mengalami intimidasi, penganiayaan dan kekerasan.​

Di masyarakat patriarkis, ketidakpastian diperparah undang-undang nasional yang tidak mengizinkan keluarga mendapatkan pensiun atau menerima jaminan sosial tanpa akta kematian.​

Korban penghilangan paksa ditahan sewenang-wenang​

Banyak korban penghilangan paksa ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang tanpa surat perintah penangkapan.​

Korban penghilangan paksa rawan penyiksaan

Korban juga berisiko tinggi disiksa karena mereka ditempatkan sepenuhnya di luar perlindungan hukum. Kurangnya akses korban ke upaya hukum menempatkan mereka dalam situasi yang menakutkan dan benar-benar tidak berdaya. ​

Para korban penghilangan paksa juga berisiko tinggi mengalami pelanggaran hak asasi manusia lainnya, seperti kekerasan seksual atau bahkan pembunuhan.

Penghilangan paksa melanggar HAM!​

Setiap penghilangan paksa melanggar berbagai hak asasi manusia termasuk:​

  • Hak atas keamanan dan martabat seseorang ​
  • Hak untuk tidak menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat​
  • Hak atas kondisi penahanan yang manusiawi ​
  • Hak atas kedudukan setara di mata hukum ​
  • Hak atas pengadilan yang adil ​
  • Hak atas kehidupan keluarga ​
  • Hak atas kebenaran dan pemulihan​
  • Hak untuk hidup (jika orang yang dihilangkan dibunuh atau nasibnya tidak diketahui)​

Penghilangan paksa juga umumnya melanggar berbagai hak ekonomi, sosial dan budaya baik bagi korban maupun keluarganya:

  • Hak atas perlindungan dan bantuan kepada keluarga
  • Hak atas standar hidup yang layak
  • Hak atas kesehatan
  • Hak atas pendidikan

Baik Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002, dan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 2006, menyatakan bahwa, ketika dilakukan sebagai sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan pada penduduk sipil mana pun, “penghilangan paksa” memenuhi syarat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Keluarga korban berhak mendapat pemulihan dan menuntut kebenaran tentang hilangnya orang yang mereka cintai.

Gimana situasi global penghilangan paksa?

Penghilangan paksa merupakan masalah serius di Indonesia dan juga di banyak negara, di semua wilayah di dunia; dari Meksiko, Suriah, Bangladesh, Laos, Bosnia dan Herzegovina hingga Spanyol.

Awalnya banyak digunakan oleh kediktatoran militer, penghilangan paksa sekarang dilakukan di berbagai wilayah dunia dalam berbagai konteks. Tindakan tersebut biasanya dilakukan ketika konflik internal, terutama oleh pemerintah yang mencoba menekan lawan politik atau kelompok oposisi bersenjata.

  • Suriah

Setidaknya 82.000 orang telah menjadi sasaran penghilangan paksa di Suriah sejak 2011. Sebagian besar dari mereka telah menghilang ke dalam jaringan pusat penahanan pemerintah, tetapi lebih dari 2.000 orang hilang setelah ditahan oleh kelompok oposisi bersenjata dan kelompok bersenjata.

Di tengah kebrutalan dan pertumpahan darah konflik Suriah, penderitaan mereka yang hilang setelah ditangkap oleh pihak berwenang atau ditahan oleh kelompok bersenjata menjadi tragedi yang diabaikan secara internasional. 

Puluhan ribu keluarga telah mati-matian berusaha mengungkap nasib kerabat mereka yang hilang. Pada Juli 2018, pemerintah Suriah mengkonfirmasi kematian sedikitnya 161 orang yang diketahui telah dihilangkan secara paksa sejak awal konflik.

  • Sri Lanka

Korban penghilangan paksa di Sri Lanka merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, dengan setidaknya 60.000 hingga 100.000 orang hilang sejak akhir 1980-an.

Penghilangan massal orang-orang yang menyerah pada akhir konflik bersenjata di negara tersebut merupakan indikasi yang jelas dari pelembagaan praktik tersebut. Negara menyembunyikan nasib dan keberadaan mereka yang hilang.

Sri Lanka telah membuat beberapa kemajuan dalam masalah ini ketika mengkriminalisasi penghilangan paksa pada Maret 2018. Namun, pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk mendukung langkah-langkah ini dengan secara proaktif membantu keluarga yang terkena dampak untuk mengungkap kebenaran tentang apa yang terjadi pada kerabat dan orang yang mereka cintai.

  • Argentina

Kasus penghilangan paksa massal yang paling terkenal di abad ke-20 adalah kediktatoran terakhir di Argentina. Selama pemerintahan militer di negara Amerika Selatan antara 1976-1983, pasukan keamanan menculik sekitar 30.000 orang. Sebagian besar di antaranya masih belum ditemukan.

Pelanggaran HAM yang meluas dan sistematis terjadi dalam penyiksaan dan eksekusi di luar proses hukum dalam skala besar, termasuk “penerbangan maut” yang terkenal kejam di mana para korban dijatuhkan hingga tewas dari pesawat militer atau helikopter.

Amnesty International telah lama berkampanye untuk keadilan bagi para korban dan penghukuman para pejabat militer dan tokoh pemerintah yang dicurigai bertanggung jawab atas kejahatan. Sebagian besar dari mereka telah diadili di hadapan pengadilan sipil biasa dalam beberapa tahun terakhir.

Apa saja aturan yang melarang penghilangan paksa?

Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa mulai berlaku pada tahun 2010. Konvensi ini bertujuan untuk mencegah penghilangan paksa, mengungkap kebenaran ketika itu terjadi, dan memastikan para penyintas dan keluarga korban menerima keadilan, kebenaran, dan reparasi.

Konvensi tersebut merupakan salah satu perjanjian hak asasi manusia terkuat yang pernah diadopsi oleh PBB. Tidak seperti kejahatan lain di bawah hukum internasional, seperti penyiksaan, penghilangan paksa tidak dilarang oleh instrumen yang mengikat secara hukum universal sebelum Konvensi mulai berlaku pada tahun 2010.

Konvensi mendefinisikan kejahatan penghilangan paksa, menguraikan tindakan negara yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan, dan memuat mekanisme penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku.

Pelaksanaan Konvensi dipantau oleh Komite Penghilangan Paksa. Pada saat meratifikasi atau mengaksesi Konvensi, atau bahkan setelahnya, suatu negara dapat menyatakan bahwa ia mengakui kompetensi Komite Penghilangan Paksa untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi dari atau atas nama korban atau negara pihak lainnya. Komite juga memberikan interpretasi otoritatif dari Konvensi.

Apakah negara sudah berupaya memberi keadilan untuk korban?

Panitia Khusus DPR 2009 telah merekomendasikan kepada presiden untuk mencari 13 korban yang hilang pada 1997/1998. DPR juga memberi tiga rekomendasi lain:

– membentuk pengadilan HAM ad hoc,

– memberi kompensasi dan rehabilitasi bagi keluarga korban,

– meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Tapi, hingga kini belum ada rekomendasi yang dilaksanakan secara efektif untuk memberi keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Apa yang harusnya dilakukan negara?

  • Melakukan penyelidikan independen dan imparsial. Jika terbukti bersalah, pelaku dipidana dalam pengadilan yang adil tanpa hukuman mati.
  • Menetapkan penghilangan paksa, baik yang dilakukan oleh agen negara atau aktor non-negara bersenjata, sebagai tindakan kriminal menurut hukum nasional dan dapat dihukum dengan hukuman yang adil dan proporsional dengan tingkat kejahatan.
  • Menerapkan Konvensi Internasional dan menerima yurisdiksi Komite Penghilangan Paksa untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi dari atau atas nama korban dan negara pihak lainnya.
  • Memastikan korban dan keluarga korban menerima reparasi – ini termasuk kompensasi, rehabilitasi, restitusi dan jaminan bahwa kejahatan tidak akan terjadi lagi.
  • Mencegah impunitas dengan memastikan penyelesaian kasus kejahatan secara adil dan menghapuskan aturan atau mekanisme yang memungkinkan terjadinya impunitas.

Indonesia harus segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dan Statuta Roma.

Saat ini Indonesia sedang menjadi anggota Dewan HAM PBB (2020-2022).

Meratifikasi produk produk hukum internasional tersebut menjadi sebentuk tanggung jawab untuk memastikan adanya instrumen hukum yang dapat mencegah atau menindak kejahatan penghilangan paksa, sehingga kejahatan serupa tidak terulang lagi di masa depan dan secara konsisten menerapkannya dalam hukum dan praktik.

Keluarga korban butuh kejelasan atas hilangnya orang terkasih mereka.

Desak Pemerintah berkomitmen terhadap penghapusan praktik penghilangan paksa dengan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Suarakan desakanmu, mention @jokowi, @dpr_ri, dan @kemlu_ri.