Daerah Otonom Baru Papua berpotensi langgar HAM?

DPR RI telah menerima Surat Presiden (Surpres) tentang Pembentukan DOB Provinsi Papua dari Pemerintah pada Selasa, 17 Mei 2022. Meski warga Papua menolak rencana ini dan melakukan aksi protes, pada 30 Juni 2022, RUU DOB Papua resmi disahkan oleh DPR menjadi UU.

Sebelumnya, revisi kedua UU Otsus telah mengatur kewenangan pemerintah pusat dan DPR untuk memekarkan daerah di Papua.

Apa tujuan pemekaran wilayah DOB?

Pada April 2022, pemerintah dan DPR sepakat melakukan pemekaran tiga provinsi baru di Papua: Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.

Sebelumnya, Pemekaran DOB di Papua telah ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003. Kata pemerintah, pemekaran wilayah diperlukan demi mengembangkan layanan pemerintahan dan mempercepat pembangunan di Papua.

Tapi, kenapa warga menolak rencana pemekaran wilayah?

Masyarakat, khususnya Orang Asli Papua yang terdampak kebijakan ini, tidak yakin kehadiran DOB akan benar-benar mensejahterakan mereka.

Menurut Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib, penolakan dapat berasal dari masyarakat di akar rumput, terutama Orang Asli Papua (OAP) yang merasa sama sekali tidak pernah mendapat manfaat dari Otonomi Khusus (Otsus) maupun DOB.

Padahal, jika tujuan pemekaran wilayah adalah untuk pembangunan, harusnya dalam proses tersebut, OAP dan masyarakat adat harus ditempatkan sebagai subjek pembangunan juga, bukan hanya objek. Artinya, proses ini harusnya melibatkan peran aktif masyarakat terdampak.

Sementara selama ini, hak ulayat masyarakat adat pun belum sepenuhnya dilindungi dan dijamin. Ada kekhawatiran kalau pemekaran wilayah bakal membuat hak masyarakat adat terancam dilanggar.

Aksi penolakan kebijakan DOB direpresi oleh aparat.

Pada 10 Mei 2022, terjadi aksi unjuk rasa menolak pemekaran DOB Papua di berbagai kota, termasuk Jayapura, Wamena, Yogyakarta, dan Denpasar.

Menurut keterangan yang diterima Amnesty dari peserta unjuk rasa dan wartawan lokal, aksi unjuk rasa tersebut diwarnai penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian. Bahkan, terdapat beberapa pengunjuk rasa yang terluka akibat tembakan meriam air. Tujuh orang aktivis juga sempat ditangkap dan dibawa ke Kantor Polresta Jayapura untuk diinterogasi.

Sebuah video menunjukkan polisi memukuli pengunjuk rasa damai di Jayapura dengan tongkat pemukul hanya karena mereka menolak membubarkan diri. Video lainnya menunjukkan penembakan meriam air dari jarak dekat terhadap pengunjuk rasa damai di Jayapura.

Terus, apa hubungan DOB dan Otsus?

Otonomi Khusus (Otsus) adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Wujudnya berupa UU dan kebijakan. Pada 15 Juli 2021, RUU Perubahan Kedua Otsus disahkan. Masalahnya, revisi kedua ini bikin pemekaran wilayah jadi lebih gampang.

Kenapa pemekaran bisa jadi lebih mudah?

Sebelumnya, pasal 76 UU Otsus menyatakan bahwa pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.

Sekarang, ketentuan tersebut ditambah ayat (2) yang menyatakan pemerintah dan DPR bisa melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom.

Perubahan ini dikhawatirkan bisa mengurangi partisipasi aktif warga yang terdampak kebijakan pemekaran wilayah.

Selain revisi kedua yang mengurangi partisipasi langsung dan bermakna dari Orang Asli Papua, pelaksanaan Otsus selama ini juga masih bermasalah.

Menurut MRP, sebanyak 20 kewenangan Otsus belum dijalankan negara. Salah satunya Pembentukan Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Bagaimana warga bisa percaya dengan kebijakan yang akan berdampak ke hidup mereka, kalau hak asasi manusia mereka belum dijamin dan dihormati?

Negara harus hentikan kekerasan terhadap Orang Papua, dan pastikan OAP bisa berpartisipasi secara bermakna dalam kebijakan tentang Papua.