Dari di-PHK sampai Memimpin Organisasi Buruh Nasional: Kisah Perempuan Pejuang Hak Buruh, Nining Elitos

Pembebasan rakyat tentu harus melibatkan pembebasan kaum perempuan. Tidak ada pembebasan sejati tanpa pembebasan kaum perempuan.

Sejak lama, buruh perempuan adalah kelompok yang kerap dipandang sebelah mata. Akibatnya, mereka sangat jarang menjadi anggota ataupun pemimpin serikat buruh. Sekilas, Nining Elitos, atau sering disapa Mbak Nining, mungkin tidak terlihat seperti sosok yang biasanya aktif dalam kegiatan serikat, apalagi memimpinnya. Selain merupakan seorang perempuan, ia adalah ibu dari tiga anak. Beban ganda (double burden) dari bekerja di pabrik dan mengasuh anak bisa menjadi faktor yang menghambat keterlibatan perempuan dalam gerakan buruh, tetapi hal ini tidak memadamkan semangat Nining. Terhitung dari tahun 1998, Nining telah memperjuangkan hak buruh dan hak asasi manusia pada umumnya selama 25 tahun. 

Perjuangan Nining dimulai di perantauan, saat ia pertama kali mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik tekstil Bekasi. Setelah melihat dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil di tempat kerja, Nining mulai aktif berserikat sehingga menjadi ketua serikat. Namun, ia di-PHK dua tahun kemudian karena lantang menyuarakan hak dan kepentingan buruh. Ia mendapatkan pekerjaan lagi di sebuah pabrik farmasi, tetapi kembali di-PHK karena aktif berserikat dan mempimpin unjuk rasa buruh. 

Akan tetapi, batu-batu sandungan itu tidak mengakhiri perjuangannya, melainkan membuka jalan untuk lebih terlibat lagi dalam aktivisme buruh. Pada tahun 2008, Nining dipilih sebagai Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) saat Kongres II mereka. Anak kedua dari delapan bersaudara yang dibesarkan dalam keluarga petani ini berhasil menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran peting dalam gerakan buruh, dan juga perjuangan hak asasi manusia bagi semua orang. 

Ini wawancara kami dengan Nining Elitos.

Q: Kenapa memilih untuk terlibat dalam aktivisme HAM, hak buruh, dan hak perempuan? 

Kenapa saya bisa terjun ke dunia kemanusiaan, lebih khusus lagi di perburuhan, tentu berangkat dari kondisi objektif yang saya alami pada saat itu. Saya adalah anak petani dari desa yang bermigrasi ke kota dan kemudian menjadi buruh, di mana saya dulu terpapar berbagai macam seruan bahwa kalau mau mengubah nasib ya memang harus berjuang secara ekonomi di kota-kota industri. Ketika sudah menjadi buruh, apa yang saya alami dan rasakan bersama kawan-kawan di pabrik-pabrik tempat kami kerja, apa yang kami bayangkan dan kemudian kami dapatkan itu berbeda sekali.   

Kekuasaan itu terdiri dari siapa saja? Ya, bagian eksekutif, yudikatif dan legislatif yang selalu mengorbankan hak kami setiap kali melahirkan sebuah kebijakan. Kenapa kita tidak bisa meningkatkan kesejahteraan? Karena produktivitas buruh kurang. Selalu dikatakan begitu. Saya sangat tidak sepakat dengan hal itu.

Dari situlah saya mulai curhat kepada teman-teman sesama buruh. “Kok kita menjadi pekerja seperti ini, sedangkan untuk membayar kost sudah habis?” Gaji pada saat itu 180.000 sebulan, sedangkan kontrakan harus bayar 5.000. Dari situasi itulah kami melihat kalau para pekerja sering diomeli dan dimarahi, yang seharusnya enggak kami alami di tempat kerja. Kayaknya kami sudah bekerja dengan kehati-hatian dan dedikasi, tapi kalau ada kekeliruan atau kesalahan, isi Kebun Ragunan langsung keluar semua. Enggak pantas kami terima itu. Dari situ sebenarnya sudah terjadi keresahan dan kegelisahan di antara kaum buruh, tetapi masih tahap curhat-curhatan karena pada zaman itu serikat buruh hanya ada satu, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). 

Kami mencoba mendatangi serikat untuk meminta solusi dari masalah yang kami hadapi. Paling tidak ada komunikasi dengan pihak perusahaan agar tidak ada perlakuan semena-mena. Hak-hak yang seharusnya kami dapatkan sebagai pekerja paling tidak kami terima. Misalnya, pada zaman itu gorengan sudah 200 perak harganya, tapi uang makan kami hanya 100 perak. Bayangkan 100 perak di zaman itu dapat apa?

Sayangnya, berkonsultasi pada serikat tidak menyelesaikan masalah; bukannya dibantu tapi malah dimarah-marahi, kami akhirnya berpikir kalau kami enggak mungkin berdiam diri terkait hal-hal seperti ini. Akhirnya, kami mencoba untuk belajar bersama-sama dengan buruh-buruh dari pabrik lain. Dari situlah kami tahu tentang persoalan hukum perburuhan: apa yang boleh dilakukan perusahaan, apa yang tidak boleh, apa yang menjadi kewajiban kami, apa yang menjadi kewajiban perusahaan. Lalu, kami mulai mendalami persoalan organisasi serikat buruh. Karena di zaman itu belum ada keterbukaan tentang kebebasan berserikat, kami membentukkan istilahnya “gerakan di bawah tanah”, kelompok-kelompok kecil. Tapi, kami intens berdiskusi di luar untuk mengonsolidasikan permasalahan yang kami hadapi.  

Kemudian, tahun 2000 keluar Undang-Undang No. 21 tahun 2000, walaupun sebenarnya di tahun 1998-1999 kami sudah membuat serikat buruh mandiri. Serikat buruh garmen mandiri gitu, ya. Serikat itu tidak terafiliasi dengan apa pun karena itu urusan pabrik per pabrik, tapi kami punya jaringan, misalnya di Cibinong, Sunter dan juga Bekasi. Kami akhirnya mendaftarkan organisasi itu secara legal di tahun 2000, melalui pencatatan resmi kepada Dinas Tenaga Kerja.  

Kemudian, kami melawan kondisi yang tidak baik bahkan sampai melakukan pemogokan di tempat kerja sampai tengah malam. Pada saat itu, kami berhadapan bukan hanya dengan pihak manajemen ataupun orang-orang perusahaan yang menjadi suruhan, tapi juga dengan aparat. Dari perjuangan itu, 11 dari 13 tuntutan kami dipenuhi dan dibuatkanlah kesepakatan resmi yang ditandatangani oleh pemilik perusahaan. Terlebih lagi, produk garmen dan tekstil yang kami produksi pada saat itu kebanyakan diekspor untuk pembeli-pembeli ternama kayak Adidas.  

Itu sebenarnya kenapa saya memulai terjun di dalam gerakan. Karena memang kontradiksi yang dialami secara langsung itu sungguh dahsyat dan kami setiap hari berhadapan dengan persoalan itu. Mulai dari caci maki, bahkan hak-hak kita yang tidak diberikan, meski kita sudah memberikan dedikasi kita dan produktivitas yang tinggi. Waktu itu ada target per jam, misalkan 100 kaos. Kalau kami berhasil produksi 100 kaos dalam satu jam pada satu hari itu, misalnya, jika bekerja tujuh jam berarti 700 kaos. Nah, kalikan saja dengan berapa barisan yang ada. Kemudian, kalau hari ini mencapai target 100, besok ditambah 120 gitu. Besoknya ditambah target lagi, bahkan sampai 200, 300, 400.  

Saat saya berbicara tentang kenaikan upah dan pemenuhan hak, orang kerap beralasan bahwa buruh tidak produktif. Saya tidak sepakat karena saya adalah orang yang pernah bekerja di pabrik pada tiga kesempatan. Buruh itu enggak ada namanya datang ke perusahaan dan hanya membaca koran, main HP, bersolek atau kayak model pejabat-pejabat yang bisa mondar-mandir ke mana saja. Buruh pabrik harus selalu siap di lokasi tempat mereka bekerja. Mereka harus produktif setiap menit, apalagi yang menjadi operator. Mau buang air kecil pun mereka harus menahan diri, sehingga ada yang sering sakit pinggang. Selain upahnya rendah, mereka makan ala kadarnya. Coba lihat di pabrik-pabrik, mereka sarapan hanya nasi uduk yang 5.000 atau gorengan saja, bahkan sekadar mie.  

Kalau kita bicara tentang kualitas, kami sering menyampaikan bahwa ada ketimpangan yang semakin menganga dan dilanggengkan oleh kekuasaan. Kekuasaan itu terdiri dari siapa saja? Ya, bagian eksekutif, yudikatif dan legislatif yang selalu mengorbankan hak kami setiap kali melahirkan sebuah kebijakan. Kenapa kita tidak bisa meningkatkan kesejahteraan? Aalasannya karena produktivitas buruh kurang. Selalu dikatakan begitu. Saya sangat tidak sepakat dengan hal itu. Boleh dicek bagaimana buruh-buruh cenderung datang bahkan sebelum jam kerja. Sekurang-kurangnya 10 sampai 20 menit mereka sudah harus masuk ke lokasi kerja dan siap-siap.  

Nah, itu yang sebenarnya membuat saya awalnya aktif dalam gerakan ini. Karena memang saya mengalami sendiri dan kemudian merasakan bagaimana  kita dibilang merdeka dan ruang kebebasan itu ada, tapi faktanya enggak. Mau buang air kecil saja nahan, mau buang air besar pun harus nahan kecuali kepepet sekali, dan itu pun juga dikasih waktu. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak antara tempat kerja dan toilet. Ditambah lagi, produktivitas rendah sering disebabkan oleh mesin yang usang atau rusak. Tapi itu tidak dihitung dan buruh selalu disalahkan padahal unsur-unsur lain tidak dilihat. 

Q: Isu hak ketenagakerjaan maupun isu hak asasi manusia secara umum apa saja yang saat ini penting untuk disuarakan? 

Hak asasi manusia artinya hak yang melekat dan tidak boleh dicabut ataupun dihalang-halangi. Pertama, persoalan kebebasan berserikat. Memang Indonesia sudah melakukan ratifikasi Konvensi ILO dan membuat Undang-Undang No. 21, tetapi buruh yang berserikat masih mendapatkan intimidasi dan kemudian dimutasi, di-PHK dan bahkan dilaporkan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan, atau dianggap mencemarkan nama baik. Hal-hal ini cukup sering terjadi. 

Saya yakin itu tidak hanya terjadi di tempat-tempat kerja, tapi di sektor-sektor lain, misalkan perkebunan lebih tragis lagi. Perbudakan manusia di atas manusia itu lebih dahsyat. Tempat tinggal mereka tidak layak, air bersih tidak ada, penerangan masih sangat minim dan fasilitas untuk transportasi juga harus ditanggung sendiri. Belum lagi pendidikan anak-anak mereka. Dengan gaji yang rendah, suami dan istri mau tidak mau harus bekerja di perkebunan. Setelah mereka berdua bekerja, anak mereka terbengkalai karena orang tua tidak bisa memberikan pendidikan yang maksimal, termasuk dalam proses tumbuh kembang anak. Itu yang terjadi. 

Perbudakan manusia di atas manusia itu lebih dahsyat. Tempat tinggal mereka tidak layak, air bersih tidak ada, penerangan masih sangat minim dan fasilitas untuk transportasi juga harus ditanggung sendiri. Belum lagi pendidikan anak-anak mereka.

Kemudian, penting untuk membicarakan tentang hak asasi manusia terkait kehidupan yang sehat dan cerdas di mana kita bisa mengembangkan diri. Dalam situasi hari ini tantangannya semakin sulit karena banyak regulasi yang justru memangkas hak-hak dasar, seperti jaminan kepastian kerja, upah yang layak, dan kebebasan berpendapat dan berkumpul. Ini tidak terjadi hanya di tempat kerja, tapi juga di tingkat kampus. Kriminalisasi terhadap warga yang bersuara semakin sering kami lihat, bahkan sampai kehilangan nyawa seolah-olah bukan apa-apa, padahal itu sudah melanggar hak yang paling mendasar.  

Misalnya, penanganan demo-demo menolak Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), Undang-Undang KPK dan Omnibus Law memakan lima nyawa. Orang menyampaikan pendapat di muka umum dengan berdemonstrasi malah direpresi dan ditangkap, bahkan sampai hilang nyawa. Ini seharusnya tidak boleh terjadi. 

Terakhir, kita bisa lihat bagaimana di dunia sepak bola, ratusan nyawa yang hilang saat tragedi Kanjuruhan juga tidak dianggap hal yang serius. Rakyat selalu dikasih tahu bahwa kita hidup di negara hukum dan semua harus patuh hukum. Tetapi sebenarnya hanya rakyat kecil saja yang patuh hukum, sedangkan yang punya kuasa tidak harus patuh hukum. Kenapa saya katakan seperti ini? Karena Omnibus Law itu lahir bukan karena kehendak mayoritas. Omnibus sendiri malah melanggar hukum. Pembuatan suatu regulasi atau undang-undang itu harus memenuhi syarat Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tapi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diabaikan dan pengesahan Omnibus Law dipaksakan.

Tapi di negeri kita ini hari ini, ada yang menjadi prioritas, ada yang tidak menjadi prioritas. Yang diprioritaskan adalah kepentingan para investor dan oligarki yang kemudian punya kuasa untuk mengatur bangsa kita. 

Mahkamah Konstitusi kan mendapatkan mandat dari dari Konstitusi. Itu saja dilanggar. Setelah disuruh memperbaiki dalam dua tahun dan tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis, daya tipunya ya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Padahal, rakyat pada saat itu menginginkan pencabutan Omnibus Law. Perppu pencabutan Omnibus Law, bukan Perppu yang melegitimasi Omnibus Law. Hal-hal ini bukan rahasia umum lagi, melainkan sudah terbuka dan terang-terangan. Tidak mematuhi Konstitusi dan melakukan pelanggaran hukum, tapi rakyat yang mempertahankan tanahnya kayak di Wadas, Sulawesi dan Sumatera agar tidak kehilangan sumber kehidupan dan karena mereka tidak ingin tanah itu dieksploitasi untuk kepentingan pemodal justru malah dipenjara, ditangkap dan bahkan dihadapkan dengan kekuatan aparat yang luar biasa. Kami benar-benar enggak tahu lagi di mana letak perspektif dan akal pemerintah soal rakyat. Padahal, mandat dari Konstitusi kan harus melindungi seluruh tumpah darah. Artinya, tidak boleh ada diskriminasi. Tapi di negeri kita ini hari ini, ada yang menjadi prioritas, ada yang tidak menjadi prioritas. Yang diprioritaskan adalah kepentingan para investor dan oligarki yang kemudian punya kuasa untuk mengatur bangsa kita. 

Q: Apa saja tantangan yang pernah Mbak hadapi sebagai buruh perempuan saat bersuara untuk membela HAM dan melakukan kerja kemanusiaan di lapangan? 

Tantangannya tentu adalah, seringkali, orang-orang yang selalu membela hegemoni dan mengkotak-kotakan isu, seperti ketika buruh membahas isu lingkungan, mahasiswa, masyarakat tani atau masyarakat adat. Ini banyak terjadi di perbincangan dunia maya.  

Persoalan lainnya adalah kualitas hidup. Buruh enggak dapat apa-apa. Selain kekurangan gizi, orang semakin ketakutan dan khawatir. Yang ada malah mati di rumah sendiri. Tanggung jawab negara adalah memprioritaskan kebutuhan hidup mereka, tapi kita bisa lihat biaya untuk kesehatan saja minim karena biaya yang lain menjadi prioritas. Ini adalah ketimpangan yang juga terjadi. 

Q: Tadi Mbak sudah sempat menjawab tentang mengapa kita harus merebut kembali kebebasan sipil kita, dan salah satu jalannya adalah mengandalkan kekuatan besar yang dimiliki buruh dan rakyat. Selain itu, apakah Mbak memiliki ide lain terkait cara merebut kembali ruang kebebasan sipil kita? 

Secara normatif, seharusnya para wakil rakyat mengedepankan kepentingan rakyat. Tapi kita enggak bisa menaruh harapan kepada kekuasaan hari ini, baik yang legislatif maupun eksekutif. Kita bisa lihat kalau Omnibus Law itu sudah memakan bukan hanya 1.000-2.000 korban, melainkan satu sampai dua juta yang terdampak. Di berbagai kota dan daerah terjadi pergerakan perlawanan yang luar biasa dari rakyat. Para pemegang kekuasaan justru malah menjadikan aparat sebagai garda utama untuk berhadapan dengan rakyat. Padahal, seharusnya aparat memberikan perlindungan terhadap rakyat. Mereka diklaim hadir untuk mengayomi, tapi pada praktiknya itu tidak terjadi.

Gerakan sosial itu adalah gerakan utama dalam situasi zaman sekarang agar bisa memiliki daya tekan terhadap kekuasaan yang semakin tidak memikirkan lagi apa yang menjadi kepentingan rakyat mayoritas. 

Selain itu, kita tidak boleh lagi memisahkan isu-isu atau kepentingan masyarakat antara petani, masyarakat adat, atau, misalkan, perempuan dan penyandang disabilitas. Kita kan semua punya masalah yang sama, yaitu sistem yang menindas dan menghisap. Cara untuk menghadapinya tinggal ada dua: formal dan informal. Jalur formal terkait dengan memasuki kontestasi politik. Kita sebaiknya memilih jalan keras, yaitu mengandalkan daya tekan yang luar biasa saat berurusan dengan para pemegang kekuasaan. Kalau ingin memasuki parlemen, saya rasa harapannya kecil. Kenapa? Karena kita bisa melihat sistem partai atau pun sistem Undang-Undang Pemilu. Rakyat hanya bisa memilih, tapi tidak bisa dipilih kecuali lewat partai-partai politik. Kita kan sudah tahu watak partai politik hari ini gimana. Saya masih meyakini bahwa gerakan sosial itu adalah gerakan utama dalam situasi zaman sekarang agar bisa memiliki daya tekan terhadap kekuasaan yang semakin tidak memikirkan lagi apa yang menjadi kepentingan rakyat mayoritas. 

Q: Setiap tanggal 1 Mei, seluruh dunia memperingati Hari Buruh. Apa yang menjadi harapan Mbak terkait situasi hak buruh terutama buruh perempuan? 

Persoalan perempuan sangat kompleks karena bebannya tiga kali lipat. Mereka harus menghadapi persoalan di keluarga, organisasi dan publik.

Persoalan perempuan sangat kompleks ya. Kompleks karena bebannya tiga kali lipat. Mereka harus menghadapi persoalan di keluarga, organisasi, dan publik. Itu memang tidak mudah bagi perempuan-perempuan yang bisa hadir pada kerja-kerja kemanusiaan. Tentu saja, masalah yang dihadapi perempuan tidak berdiri sendiri. Selain sistem, ada juga kekuasaan yang mengamini. Contohnya, masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan dalam pemberian upah karena perempuan hanya dianggap lajang, laki-laki tidak. Perihal jaminan sosial dan urusan kesehatan, ada kasus guru perempuan yang enggak bisa menjamin anak atau suaminya karena dia bukan dianggap sebagai pencari nafkah.

Budaya patriarki yang penuh dengan kekerasan masih cukup menyulitkan para perempuan di tempat kerja mana pun. Di pabrik, di perkebunan, di kantor atau di gedung-gedung yang mewah itu masih terjadi. Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan juga masih cukup tinggi, baik secara fisik maupun psikologis. Ruang-ruang aman untuk perempuan masih kecil karena mereka dianggap lemah dan penurut.

Memang kita harus kerja keras untuk mengubah anggapan di otak banyak orang bahwa perempuan itu tidak logis. Dulu, saya pernah lihat kutipan dari Rocky Gerung kalau anak bisa menjadi pintar karena tingkat kecerdasan perempuan. Jadi, tidak ada sumbangsih laki-laki di situ. Saya mengutip Rocky Gerung karena orang sering memandang perempuan sebagai tidak logis, tetapi laki-laki logis. 

Menurut saya, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan masih cukup tinggi. Untuk menanganinya, standar operasional di organisasi atau pun tempat kerja seharusnya tidak hanya membicarakan hak-hak normatif, tapi juga hak-hak kesehatan reproduksi dan ruang aman bagi perempuan, sehingga mereka punya kedudukan, kesetaraan, keadilan, kesejahteraan dan rasa aman. 

Pembebasan rakyat tentu harus melibatkan pembebasan kaum perempuan. Tidak ada pembebasan sejati tanpa pembebasan kaum perempuan.  

Memang ini enggak mudah karena pekerjaannya tidak harus dilakukan oleh perempuan semata, tetapi juga perlu mengajak para laki-laki dengan perspektif yang cukup maju untuk mengubah cara pandang terhadap perempuan agar mereka tidak lagi dijadikan sebagai objek. Itu sangat penting. Selanjutnya, harus ada keseriusan, baik di tempat kerja, organisasi-organisasi maupun serikat buruh, tentang standar operasional untuk menciptakan ruang aman buat perempuan.   

Kita harus ingat bahwa pembebasan rakyat tentu harus melibatkan pembebasan kaum perempuan. Tidak ada pembebasan sejati tanpa pembebasan kaum perempuan.  

Q: Apa pesan yang ingin Mbak sampaikan untuk para buruh, masyarakat, dan suporter Amnesty yang menghadapi tekanan dari sistem perusahaan dan pemerintah yang melanggengkannya?

Di sektor mana pun, ayo terus berserikat atau berorganisasi. Dengan berorganisasi, hal yang sulit bisa kita hadapi, dari yang kecil sampai yang besar. Lebih lanjut lagi, tetaplah berupaya untuk terlibat dalam kerja-kerja di sektor lain atau bersolidaritas.