Cerita Jurnalis Victor Mambor: Tak Gentar Mengungkap yang Benar

“Kalau kita tidak menulis, tidak mencatat, tidak merekam apa yang terjadi pada orang asli Papua, mungkin suatu saat kita ini orang asli Papua cuma tinggal cerita saja di dunia”

Saat kita mengandalkan berita sebagai sumber informasi yang akurat, jurnalis bekerja keras memburu informasi dari narasumber terdepan, medan yang sangat berisiko, bahkan ancaman dan teror dari pihak-pihak yang kepentingannya terganggu ketika fakta disajikan kepada masyarakat.

Tapi kenyataan itu tak membuat Victor Mambor, jurnalis asal Papua, menghentikan perjuangannya untuk menyibak kebenaran di Papua melalui jurnalisme yang akurat dan berpihak pada masyarakat yang tertindas. Victor pernah mengalami berbagai macam tekanan. “Sampai khatam,” tuturnya. Mulai dari kekerasan secara verbal, doksing, dan teror berbuntut yang mengancam diri dan keluarganya mulai dari pengrusakan mobil di tahun 2021 hingga bom yang meledak 5 langkah dari rumahnya baru-baru ini. Rentetan kasus kekerasan yang telah ia laporkan ke pihak berwajib itu tampaknya hanya menjadi berkas menumpuk di kepolisian. Victor tak pernah tahu siapa pelakunya dan apakah mereka akan diadili. Artinya impunitas terus langgeng sampai hari ini.

Victor sadar akan kompleksitas konflik di Papua. Namun penindasan, kemiskinan, dan rasa takut berkepanjangan yang dialami kebanyakan masyarakat Papua masih asing di mata publik. Bumi Papua yang menyimpan berjuta kekayaan alam menjadi daya tarik pihak-pihak bermodal bak pencari harta karun. Alih-alih mendatangkan kemakmuran bagi penduduk aslinya, kekayaan sumber daya alam dimonopoli oleh segelintir orang sedangkan rakyatnya tergusur, lapar, dan mati ditangan oknum.

Kenyataan itulah yang ingin Victor terus suarakan sebagai seorang jurnalis. Teror dan ancaman yang ia alami mungkin telah mati rasa dibandingkan nasib orang asli Papua yang setiap waktu berhadapan dengan rasisme, pemiskinan, dan konflik bersenjata. Sampai kapan ia tak tahu. Tapi Victor tak menyerah, dengan harap bahwa kebenaran yang dikuak suatu saat akan membawa perubahan.


Ini wawancara kami dengan Victor Mambor

Q: Bagaimana garis besar kondisi jurnalis di Papua, khususnya dengan konflik yang terjadi dan dalam situasi darurat? Apakah terdapat bahaya langsung yang mengancam mereka?

Baik terima kasih, kalau soal ini kayaknya kita harus pilah juga jurnalis-jurnalis ya. Artinya, ada jurnalis yang memang menjalankan tugas jurnalistik dengan risiko seperti yang disebutkan tadi. Ada situasi darurat saat menulis tentang kekerasan, konflik, HAM. Ada juga jurnalis yang menurut saya cuma cari aman saja. Jadi cuma menulis siaran press release yang berasal dari pemerintah dan aparat keamanan.

…ada jurnalis yang memang menjalankan tugas jurnalistik dengan risiko seperti yang disebutkan tadi. Ada situasi darurat saat menulis tentang kekerasan, konflik, HAM. Ada juga jurnalis yang menurut saya cuma cari aman saja. Jadi cuma menulis siaran press release yang berasal dari pemerintah dan aparat keamanan. 

Nah kalau yang pertama tadi ya memang situasinya kalau dibilang parah juga tidak, cuma mereka berada dalam situasi berisiko, ya. Artinya bisa dikriminalisasi, kemudian bisa mendapatkan kekerasan digital, atau kekerasan fisik, kekerasan verbal.

Sementara yang kategori kedua tadi saya lihat tidak ada risiko itu untuk mereka, mungkin ada tapi ya lebih pada risiko yang landai-landai saja. Jadi kalau menurut saya situasinya ada perbedaan antara dua kategori jurnalis tadi ya, gitu.

Q: Jurnalis yang berhadapan langsung dengan risiko itu apakah mengalami dampak emosional dan/atau fisik yang terlihat? Lalu apakah mereka mendapatkan akses layanan kesehatan?

Kalau dampak kesehatan misalnya kekerasan yang terjadi selama beberapa tahun ke belakang itu ada akses untuk visum atau menjalani pengobatan, ya. Tapi itu di kota ya, macam di Jayapura. Kalau di tempat-tempat pedalaman, akses itu ya ada tapi tidak maksimal, tidak optimal lah karena kekurangan tenaga medis, kekurangan obat-obatan.

Kalau di tempat-tempat pedalaman, akses itu ya ada tapi tidak maksimal, tidak optimal lah karena kekurangan tenaga medis, kekurangan obat-obatan.

Nah, kalau yang psikologis itu saya lihat belum, jadi ada beberapa wartawan yang mungkin terkena dampak aksi-aksi kekerasan baik secara verbal, fisik, itu jadi ya berkurang lah semangat jurnalistiknya. Ya mungkin karena takut, atau khawatir. Nah kalau akses untuk pemulihannya belum ada. Jadi ya kita lebih secara internal, atau secara kekeluargaan lah, kawan mungkin saja. Kalau pengobatan atau pemulihan secara profesional itu belum ada.

Q: Bagi jurnalis yang terdampak tadi selain mendapatkan akses kesehatan apakah memperoleh dukungan dari sesama jurnalis lain?

Ya biasanya ada bantuan gitu ya, jadi diadvokasi lah dilaporkan ke polisi sama-sama. Kemudian ke rumah sakit, melaporkan kasusnya ke polisi itu biasanya ada bantuan dari sesama jurnalis atau dari organisasi tempat mereka bergabung. Misalnya kalo anggota AJI ya anggota AJI, kalau anggota PBI ya anggota PBI bantu.

Q: Hambatan apa saja yang dialami saat meliput berita di Papua? Apakah hambatan itu hanya pada isu-isu tertentu saja atau secara garis besar memang semuanya sulit?

Secara umum ya semua susah ya kalau liputan di Papua, terutama di daerah konflik atau pegunungan. Kalau di kota-kota ini tidak terlalu banyak lah tantangan dan hambatannya. Paling hambatannya pada narasumber yang mungkin susah untuk ditemui, dikonfirmasi, ditanya. Tapi kalau untuk liputan di pegunungan, terutama di daerah konflik, itu hambatannya banyak sekali ya. Saya biasanya bilang kalau hambatan meliput yang pertama ya hambatan uang. Masalah dana ya. Itu mahal sekali liputan ke daerah-daerah begitu ya. Mungkin kalau ke daerah Wamena, Intan Jaya, ya kalau liputan bisa sampai 50 juta lah karena kita harus sewa pesawat, kemudian penginapan, makan. Terus…jadi hambatan itu secara umum itu tidak ada ya, tidak terlalu banyak untuk di kota. Paling hambatannya seperti yang lain-lain juga, narasumber. Tapi kalau kemudian kita meliput isu-isu tertentu seperti konflik di daerah pedalaman atau pegunungan, bukan cuma konflik saja tapi kesehatan, segala isu, kalau di pegunungan itu di pedalaman itu akan sangat sulit ya, banyak tantangannya. Yang pertama soal uang tadi ya kan, biaya untuk meliput. Kemudian, kita juga harus sehat ya, fisiknya harus kuat. Karena kondisinya di pegunungan itu ya dingin, kemudian makanan juga tidak seperti yang kita biasa makan. Jadi, kita harus siap juga dengan itu. Kalau fisik tidak kuat ya tidak bisa meliput juga ya. Kemudian berikutnya nyali, kalau di pegunungan, daerah pegunungan, dan situasi…terutama karena daerah konflik, memang harus punya nyali yang besar juga untuk meliput di situ.  Itu menurut saya kalau hambatan-hambatan meliput berita.

Q: Boleh diceritakan salah satu isu atau kasus yang paling sulit untuk diliput?

Waktu itu kita buat berita, meliput soal demo rasisme di Wamena tahun 2019. Menurut saya itu liputan yang cukup sulit karena tempat itu cukup jauh. Wartawan-wartawan lain juga kesusahan meliput di sana karena biayanya tadi.

sebenarnya bukan pedalaman tapi biaya ke sana juga cukup mahal, biaya di sana juga cukup mahal, tidak semua media bisa pergi ke sana. Kemudian pada saat itu situasi sangat tegang, masih tegang. Kemudian bolak-balik itu aparat keamanan dan pasukan-pasukan dikirim ke sana, pejabat-pejabat juga ke sana.

Waktu itu isunya tidak ada Orang Asli Papua yang meninggal atau yang mati sebagai korban. Kita waktu itu mau meliput itu, kita mau membuktikan mau melihat benar tidak pernyataan pemerintah. Waktu itu yang menjabat sebagai Kapolri masih Tito, dan dia jelas sekali bilang tidak ada Orang Asli Papua yang meninggal sebagai korban.

Nah, kemudian di satu sisi ada warga-warga pendatang lain juga yang memang terancam seperti orang-orang Padang yang paling banyak menjadi korban. Jadi kita berupaya untuk mencari bukti, benar tidak bahwa tidak ada Orang Papua yang meninggal, Orang Asli Papua sebagai korban dan bagaimana kita menenangkan orang-orang di Wamena terutama yang pendatang. Apalagi orang Padang, karena menurut kami orang Padang ini pelaku ekonomi paling dominan di Wamena, ya. Kalau mereka kemudian pergi semua, mereka sudah siap-siap pergi tuh bahaya untuk Wamena. Nah itu yang menurut saya agak paling sulit ya. Karena kita harus membuktikan, harus mencari narasumber sementara semua orang di kota itu sudah takut dan orang yang menjadi korban sudah tidak ada semua, sudah pergi. Jadi kita harus mencari-cari mereka. Belum lagi kita harus menghadapi tekanan dari aparat keamanan yang mencari-cari kita ya.

Karena kita harus membuktikan, harus mencari narasumber sementara semua orang di kota itu sudah takut dan orang yang menjadi korban sudah tidak ada semua, sudah pergi. Jadi kita harus mencari-cari mereka. Belum lagi kita harus menghadapi tekanan dari aparat keamanan yang mencari-cari kita ya.

Terus beberapa kawan-kawan yang memang baru pertama kali sampai di Wamena jadi menyesuaikan dengan Wamena itu agak sulit ya. Ada kendala lah di situ, tidak sulit ya, tapi ada kendala. Nah menurut saya itu liputan yang paling sulit. Karena pertama kita harus mencari bukti tadi, yang kedua kita harus menenangkan orang-orang di luar Papua. Kira-kira seperti itu kalau bicara soal liputan yang sulit ya.

Q: Apakah ada tekanan untuk memproduksi berita yang berpihak pada pemerintah atau pihak-pihak tertentu lainnya?

Ya awal-awal sih ada lah. Jadi sebenarnya kalau saya sendiri sebagai wartawan bisa dibilang  sudah khatam lah dengan tekanan-tekanan begitu.

Dari mulai ditindas verbal sampai kekerasan, doxing, dan segala macam sudah saya rasakan. Jadi saya tidak terlalu peduli juga ya. Mungkin yang lain-lain ada ya, tekanannya tuh ya model-model begitu. Tapi kalau sekarang saya lihat lebih banyak secara digital ya, seperti impersonifikasi, dan hacking ya. Jadi, lebih banyak ke hal-hal digital kalau tekanan yang dialami sekarang.

Tapi kalau sekarang saya lihat lebih banyak secara digital ya, seperti impersonifikasi, dan hacking ya. Jadi, lebih banyak ke hal-hal digital kalau tekanan yang dialami sekarang.

Saya sendiri tidak mau pusing lagi dengan hal itu ya. Artinya, bagi saya tekanan itu ya memang sebuah risiko ya. Jadi, apapun tekanannya, saya pikir tidak berpengaruh untuk saya. Kalau dulu ya mungkin ya, awal-awal. Tapi kemudian menurut saya mereka cuma mengganggu konsentrasi saya saja, merusak fokus saya saja untuk menulis tentang Papua, terutama tentang Orang Asli Papua ya. Kalau yang lain, kalau kawan-kawan lain mungkin masih ada. Jadi ada yang secara verbal, ada juga yang misalnya diberikan insentif lah, sebagai advertorial lah begitu ya. Jadi mereka bayar tuh berita-berita, kemudian kalau ada rilis yang mereka kirim dimuat, ya mereka berikan insentif atau kerja sama dengan media, itu menurut saya tekanan juga. Karena…ya boleh lah advertorial itu biasa dalam bisnis, tapi tidak membuat satu media atau seorang wartawan harus mengikuti atau menulis tentang itu saja, dari sudut pandang itu saja. Dia harus bisa secara independen mencari sudut pandang lain. Jadi, tekanannya model-model begitu sekarang.

Q: Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti agar tetap bisa menghasilkan berita yang akurat? Mungkin jika ada orang-orang yang ingin di-interview tapi takut akan adanya ancaman dari luar, apakah ada trik untuk mendapatkan jawaban yang akurat?

Ya pertama kita memang sudah membangun jaringan dari lama, antara lain jaringan masyarakat adat dan jaringan gereja. Itu menjadi resources utama kami kalau ada kejadian-kejadian. Jadi, kami misalnya tidak ada telepon pun ya kami tetap akan berusaha karena kami tahu biasanya pasti ada yang berusaha untuk keluar dari wilayah itu. Misal ada konflik di sini, mereka akan berusaha keluar untuk memberikan informasi ya. Kemudian cari tempat…kalau dari puncak mereka akan berusaha jalan ke Timika, atau misalnya dari Intan Jaya mereka akan berusaha turun atau ke Nabire untuk menyampaikan informasi. Nah kalau misalnya ada telepon ya kita bisa telepon langsung. Jad mungkin karena kita sudah cukup lama dalam situasi seperti ini jadi kita membangun jaringan itu ya, membangun kepercayaan. Jadi mereka pertama akan kontak kita pastinya. Kalau mereka tidak bisa kontak ya kita yang kesana, atau kita berusaha untuk dapat dari jaringan-jaringan gereja. Paling mungkin dan paling valid ya dari jaringan gereja ya. Jadi kita bisa telepon, atau misal memungkinkan untuk kita datang ya kita datang ke tempat itu, begitu.

Q: Pada situasi seperti apa ancaman paling banyak didapatkan? Misal pada isu spesifik apa, dan siapa pihak yang paling sering memberikan ancaman ini? Apakah mungkin dari pihak pemerintah atau perusahaan tertentu, atau ormas, dan lain-lainnya? Dan seberapa sering ancamannya?

Jadi ya biasanya soal kekerasan, kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Nah kalau misalnya mereka tidak setuju atau apa ya…tadi saya sudah bilang mereka akan segera menyebarkan rilis atau apa ke media-media, kemudian kalau hasil liputan kami itu berbeda dengan mereka, berbeda dengan rilis mereka, ya itu pasti akan ada ancaman ya. Nah cuma ancaman itu secara digital atau secara anonim, jadi kita tidak tahu siapa yang ngancam. Jadi ya ancaman itu ada tapi siapa yang mengancam atau siapa yang mengirimkan ancaman itu kita tidak tahu.

Q: Pada periode itu, misalnya pada saat ada satu rilis ini dan tidak sesuai, apakah ancamannya sering dilakukan?

Sering lah, pasti. Digital terutama. Ormas juga ada. Jadi waktu dulu juga saya sendiri yang mengalami ya. Karena kita memberitakan orang yang ditembak itu sebenarnya mata-mata karena punya pistol ya, kemudian ancamannya sampai mobil saya pun dirusak. Saya juga diancam akan dilaporkan ke polisi dan dewan pers. Seperti begitulah.

Q: Apa sebenarnya alasan-alasan yang digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk membungkam kebebasan pers di Papua?

Saya juga tidak tahu alasan mereka apa. Tapi kalau saya lihat ya mungkin menurut analisa saya, mereka menjaga kepentingan mereka saja. Saya tidak melihat mereka menjaga kepentingan NKRI. Mereka hanya menjaga kepentingan mereka saja. Kalau mereka menjaga kepentingan negara atau NKRI, oke. Tapi selama ini saya lihat mereka hanya menjaga kepentingan mereka saja. Jadi misalnya karena kita bisa membongkar, bisa menulis yang berbeda, misalnya tadi ada penjualan peluru atau apa. Nah ini ada orang-orang yang biasa jual peluru, yang mungkin kepentingannya terganggu ya. Jadi mereka akan mengancam. Tapi kalau mereka selalu bilang demi kepentingan negara lah NKRI lah, itu omong saja menurut saya. Mereka sebenarnya menjaga kepentingan mereka.

Karena kalau benar-benar menjaga kepentingan NKRI ya semuanya itu harus berdasarkan aturan. Misalnya pengiriman pasukan, itu harus ada aturannya dan apa dasar hukumnya. Kan ini kirim-kirim saja tidak tahu kepentingan apa mereka di sana. Kemarin kan sebenarnya yang sempat, Panglima Andika bilang dia ditipu oleh anak buahnya itu, itu kan karena ada galian C di sana. Mereka bukan lindungi anggotanya atau lindungi masyarakat, mereka lindungi proyek mereka itu. Jadi seperti-seperti begitulah, itu banyak sekali lah. Mungkin baru sekali itu lewat Panglima, tapi hal-hal seperti itu banyak di Papua ini. Lindungi emas lah, segala macam lah, tambang, kayu lah. Kalalu ada kejadian mereka bilang melindungi negara, kepentingan negara. Padahal sebenarnya mereka melindungi mereka sendiri. Itu mungkin.

Lindungi emas lah, segala macam lah, tambang, kayu lah. Kalau ada kejadian mereka bilang melindungi negara, kepentingan negara. Padahal sebenarnya mereka melindungi mereka sendiri. 

Q: Apakah para pelaku kekerasan pada teman-teman jurnalis benar-benar diadili atau praktik impunitas ini masih terus dilanggengkan di sana?

Ya kalau menurut saya sih impunitas itu masih jalan. Kita melapor tapi tidak pernah selesai, tidak pernah ada kasus yang disidangkan, tidak pernah ada yang dihukum. Jadi menurut saya ya masih dilanggengkan lah, impunitas itu masih ada, masih langgeng.

Q: Apakah ada kekerasan berbasis gender yang menyasar jurnalis perempuan di Papua?

Biasanya itu ya kekerasan verbal. Itu ada beberapa kasus misalnya meliput di pengadilan kemudian diteriaki karena perempuan, kemudian…apa ya…kalau di lapangan wartawan-wartawan perempuan itu ya kadang-kadang diteriaki dengan hal-hal yang sebenarnya…apa ya…seksis lah. Jadi ya kalau kekerasan berbasis gender ya masih ada.

Q: Secara garis besar, apa yang menjadi ancaman terbesar bagi jurnalis dan jurnalisme, baik di Papua maupun di Indonesia?

Sebenarnya profesionalisme dan etika. Karena ini semakin banyak media, semakin mudah membuat media. Sementara regulasi-regulasi untuk membuat media juga masih terbatas. Dan karena semakin mudah orang membuat media jadi orang yang bekerja di media, jurnalisnya juga semakin mudah ya menjadi jurnalis.

Sementara kalau kita lihat, namanya jurnalis itu harus profesi, ada etikanya. Ini lebih sering tidak dipahami dan tidak dijalankan. Jadi menurut saya ancaman paling besar ya itu, profesionalisme dan etika. Karena dua hal itu misalnya tidak terpenuhi, maka jurnalisme jadi seperti sampah pada akhirnya. Karena ini informasi, kita banjir informasi tapi informasinya sampah saja sebenarnya. Dan itu akan membahayakan bagi kita semua ya.

Q: Apa yang menjadi motivasi Bapak dan teman-teman jurnalis lainnya untuk tetap memproduksi berita yang akurat di tengah berbagai ancaman dan intimidasi yang ada baik secara verbal maupun fisik?

Ini ya kalau saya secara pribadi, dan ini selalu saya tekankan kepada orang-orang yang kerja bersama saya, bahwa kami adalah orang Papua. Orang Papua jumlahnya berapa? Kalau kita tidak menulis, tidak mencatat, tidak merekam apa yang terjadi pada orang Asli Papua, mungkin suatu saat kita ini Orang Asli Papua ini cuma cerita saja di dunia ini.

Jadi, itu yang sebenarnya motivasi kami ya, selain kemudian hal-hal umum seperti penegakan hukum, HAM, kemudian demokrasi. Tapi secara utama, kami merasa kami kelompok yang…apa ya…apa lawannya dominan tuh?

Q: Yang lebih minoritas ya, Pak?

Ya, minoritas. Bahkan di tempat kami sendiri. Jadi kami harus keras juga, karena kami bukan kelompok yang suka kekerasan ya kami menyalurkannya dengan cara yang menggunakan jurnalistik, gitu. Dan orang harus tau ya, pertama karena banyak sesuatu yang tidak jelas di Papua ini. Jadi, banyak hal yang sangat remang-remang di Papua. Saya sendiri juga percaya bahwa masalah Papua ini bisa selesai, bisa dikurangi konfliknya itu kalau feeding informasi ke pemerintah itu, terutama di Jakarta itu betul dan komprehensif. Itulah yang membuat kami berupaya untuk memproduksi berita-berita yang memang komprehensif ya, mendekati kebenaran, akurat.

Saya sendiri juga percaya bahwa masalah Papua ini bisa selesai, bisa dikurangi konfliknya itu kalau feeding informasi ke pemerintah itu, terutama di Jakarta itu betul dan komprehensif. Itulah yang membuat kami berupaya untuk memproduksi berita-berita yang memang komprehensif ya, mendekati kebenaran, akurat.

Selalu kami berusaha untuk mematuhi semua aturan, etika, nilai-nilai, dan kaidah-kaidah dari pemerintahan itu untuk menyampaikan informasi yang benar-benar akurat. Serta tujuan kami ya tadi, kami memberikan feeding informasi yang baik dan benar kepada pemerintah sehingga mereka juga bisa mengambil kebijakan yang benar.

Karena selama ini feeding informasinya seperti begitu saja, jadi terlalu banyak tipunya juga. Propagandanya terlalu banyak sehingga kebijakannya pun salah.

Q: Apa harapan Bapak untuk keberlangsungan jurnalisme dan penegakan HAM di Papua? Dan dukungan apa yang dibutuhkan jurnalis di Papua, baik dari pemerintah, perusahaan media, maupun dari masyarakat pada umumnya?

Sebenarnya kalau harapan saya soal jurnalisme ya wartawan-wartawan ini harus profesional ya di Papua. Tapi untuk mencapai wartawan yang profesional juga itu tidak gampang. Ada pengaruh iklim pers sendiri ya, kalau di Papua ini iklimnya sangat tidak sehat ya, belum sehat betul. Jadi kalau iklim pers itu sehat ya wartawannya juga bisa dituntut untuk profesional ya. Kemudian soal penegakan HAM, saya pikir…harapan saya ya, kalau penegakan HAM itu sebenarnya harus dijalankan ya, harus dipraktekkan secara transparan dan akuntabel. Jadi…ya…mungkin dituntaskan agak sulit. Kalau agak sulit dituntaskan ya harus transparan saja bahwa benar ada kejadian ini, benar ada peristiwa pelanggaran ini, itu harus disampaikan secara transparan dan akuntabel.

Jadi ini kan banyak banyak dugaan tapi kemudian negara pun tidak bisa membantu untuk membuktikan dugaan itu, atau setidaknya mengakui lah bahwa itu ada. Kemudian, dukungan yang dibutuhkan oleh Papua ya seperti yang tadi saya bilang. Kami di Papua ini saya pikir, menurut saya persoalan pertama ya profesionalisme. Jadi, dukungan-dukungan apa yang dibutuhkan Papua ya bagaimana meningkatkan profesionalisme itu, entah lewat pelatihan, entah menciptakan iklim media yang sehat.

Saya sendiri ya selama ini terus melakukan pelatihan, dan mencoba membangun iklim yang sehat di tempat saya sendiri bekerja. Iklim pers yang sehat, memberikan gaji yang layak, kemudian memberikan THR, dan karena ya memang ini perusahaan ya dibuat seperti perusahaan. Bukan ini perusahaan kemudian dibuat seperti manajemen keluarga. Jadi, itu yang menurut saya, dukungan-dukungan itu yang diperlukan dari stakeholderstakeholder lain.

Q: Apa harapan Bapak pada orang-orang lain di luar Papua terkait isu penegakan HAM? Bagaimana orang-orang bisa mendukung perjuangan Bapak dan apa pesan yang ingin Bapak sampaikan pada pendukung Amnesty?

Kalau dari saya sebenarnya, kampanye. Kampanye yang cukup masif, terutama di kalangan masyarakat Indonesia di luar Papua. Bisa di mahasiswa dan masyarakat umum. Tapi saya melihat memang sudah ada kampanye tapi belum cukup masif. Belum cukup kuat tekanannya untuk membuat negara ini bergeming lah.

Artinya, negara ini bisa bertindak atau bersikap untuk menyelesaikan hal-hal ini. Itu yang menurut saya yang paling saya ingin pihak-pihak lain lakukan, ya. Karena itu juga saya sering membantu ya, memberikan informasi, memberikan data, dengan tujuan agar mereka bisa melakukan kampanye yang masif, yang kuat, untuk menekan negara ini menyelesaikan, menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Impunitas atas intimidasi terhadap jurnalis harus dihentikan.

Desak pihak kepolisian untuk segera lakukan penyelidikan, adili terduga pelaku melalui proses sesuai standar peradilan yang adil, lindungi korban, serta pastikan kasus serupa tidak terulang.