Usut Tuntas Kekerasan dan Penembakan oleh Aparat Terhadap Warga Papua di Sentani 

SURAT TERBUKA

Jakarta, 11 Januari 2023 

Kepada Yth 
Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si 
Kepala Kepolisian Republik Indonesia 
Mabes Polri 
Jalan Trunojoyo No. 3, Jakarta Selatan 
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 

Hal: Usut Tuntas Kekerasan dan Penembakan oleh Aparat Terhadap Warga Papua di Sentani 

Melalui surat terbuka ini, Amnesty International mengecam aksi kekerasan dan pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan anggota kepolisian terhadap warga sipil di Papua. Berdasarkan informasi kredibel yang kami dapatkan, pada Selasa, 10 Januari 2023 terjadi kekerasan antara aparat keamanan Indonesia dengan massa pendukung Gubernur Papua Lukas Enembe yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan diberangkatkan ke Manado melalui Bandara Sentani. Akibat penangkapan itu, massa pendukung Lukas Enembe melakukan protes dan terjadi kekerasan di sekitar Bandara Sentani.  

Dalam peristiwa itu terjadi penembakan yang menelan dua korban jiwa dan setidaknya tiga korban luka berat. Korban tewas adalah Hermanus Kobari Enembe dan Amileki Enumbi. Sedangkan korban luka berat adalah Neiron Enembe, Kano Enembe, dan Segira Enembe. Aparat kepolisian setempat, seperti ditegaskan oleh Kapolres Jayapura, AKBP Frederickus W.A Maclarimboen, juga mengakui jatuhnya korban tersebut, namun mengatakan bahwa mereka adalah korban peluru nyasar. 

Pernyataan bahwa keempat warga itu adalah korban peluru nyasar menyiratkan bahwa aparat keamanan telah menembakkan peluru tajam tanpa mengikuti prosedur yang benar. Kami sangat memahami bahwa dalam aksi protes itu sejumlah warga membawa senjata tajam dan panah, namun tindakan aparat kepolisian haruslah tetap mengikuti prosedur dan proporsional. 

Atas kejadian itu, Amnesty International mendesak Pemerintah beserta jajaran penegak hukum untuk memproses para pelaku sesuai hukum yang berlaku serta mengadili mereka di lingkungan peradilan umum berdasarkan bukti yang cukup.  Kami juga mendesak Kapolri untuk melakukan evaluasi internal dan pengawasan yang lebih baik atas kinerja aparat kepolisian di Papua. Salah satu yang perlu dievaluasi adalah penggunaan kekuatan dalam penegakan hukum sesuai Kode Etik PBB untuk Petugas Penegak Hukum (1979) dan Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum (1990). Sebagai catatan, sejak Februari 2018 hingga Desember 2022, Amnesty mencatat setidaknya 63 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan termasuk polisi dan TNI dengan total 103 korban. 

Pembunuhan di luar hukum oleh aparat merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup, hak mendasar yang dilindungi oleh hukum HAM internasional yang diterima dan berlaku sebagai hukum nasional. Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) menegaskan setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya. Kegagalan akuntabilitas dan keadilan atas pembunuhan di luar hukum dan penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. 

Pelaku harus ditangani melalui sistem peradilan sipil, bukan hanya penanganan internal sebagai pelanggaran disiplin. Sanksi disiplin tetap bisa berlangsung saat proses hukum bergulir. Namun sanksi tersebut tidak menggantikan proses peradilan umum. Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM secepatnya, mendalam dan efektif lewat badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan maupun penghukuman terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban. 

Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. 

Hormat kami, 

Usman Hamid 
Direktur Eksekutif 

Tembusan: 

  1. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia 
  1. Komisi III DPR RI 
  1. Kompolnas RI