Surat Terbuka: Usut Tuntas Dugaan Pelanggaran HAM 1 Desember 2022

Kepada Yth.

Ir. H. Joko Widodo

Presiden Republik Indonesia

Sekretariat Negara

Jl. Veteran No. 17-18, Kota Jakarta Pusat

DKI Jakarta, Indonesia (10110)

Hal: Dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam penanganan aksi 1 Desember 2022

Dengan hormat,

Melalui surat ini, Amnesty International menyesalkan terjadinya berbagai dugaan pelanggaran dan ancaman terhadap hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, jelang dan saat 1 Desember 2022, hari yang diperingati oleh banyak masyarakat Papua sebagai Hari Bangsa Papua. Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk mengusut seluruh dugaan pelanggaran HAM tersebut.

Berdasarkan informasi kredibel yang kami terima, rangkaian dugaan pelanggaran HAM terjadi pada insiden berikut ini:

  1. Pada 27 November 2022, setidaknya 15 orang peserta unjuk rasa damai di kawasan Terminal Pasar Wosi, Manokwari, Papua Barat, ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang oleh aparat gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang makar dan 12 lainnya dibebaskan;
  2. Pada 29 November 2022, seseorang yang mengaku anggota Kepolisian Resor (Polres) Kota Sorong diduga mengintimidasi seorang warga via telepon dan melarang segala atribut yang menampilkan pola bendera Bintang Kejora dalam unjuk rasa damai 1 Desember 2022 ;
  3. Pada 1 Desember 2022, di Kota Ternate, Maluku Utara, unjuk rasa damai menentang otonomi khusus (otsus), daerah otonom baru (DOB), dan militerisasi di Papua diwarnai penangkapan sewenang-wenang setidaknya delapan peserta aksi oleh anggota kepolisian setempat. Korban ditahan di Polres Ternate dan dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk tidak lagi menyampaikan pendapat setiap 1 Desember untuk mendesak kemerdekaan Papua sebelum akhirnya dibebaskan;
  4. Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), unjuk rasa damai di kawasan Universitas Katolik Widya Mandira diwarnai pemukulan, penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang. Sekelompok orang yang mengaku sebagai Organisasi Masyarakat Garuda menghampiri dan memukul peserta unjuk rasa damai hingga menyebabkan setidaknya 14 peserta unjuk rasa cedera. Alih-alih melindungi massa aksi dan menangkap terduga pelaku kekerasan, pihak kepolisian justru menangkap dan menahan para pengunjuk rasa secara sewenang-wenang di Polsek Kelapa Lima dan Polres Kota Kupang;
  5. Di Kota Sorong, Papua Barat Daya, Polres Sorong diduga menangkap, menahan, dan menginterogasi disertai penyiksaan dua peserta aksi unjuk rasa damai. Menurut keterangan pendamping hukum, satu orang dipukul di area belakang telinga kanan hingga bengkak dan seorang lainnya mengalami luka di bibir dan lutut kiri;
  6. Di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, pihak kepolisian menuduh peserta unjuk rasa damai membentangkan bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) di atas mobil pengeras suara dan memerintahkan bendera tersebut dicabut. Massa aksi menolak karena bendera yang terbentang bukan bendera OPM, melainkan bendera Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Tak lama berselang, aparat kepolisian memanjat mobil pengeras suara, mencoba merebut paksa bendera AMP dan KNPB, dan mendorong massa aksi yang mencoba menghalangi;
  7. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), anggota TNI, Polri, dan pejabat kampus diduga mengintimidasi mahasiswa Papua di Universitas Mataram dengan mendatangi rumah kontrakan, menginterogasi, mengambil gambar, dan melakukan pengintaian .

Sebagai negara pihak dalam berbagai instrumen HAM internasional, pemerintah Indonesia wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Sebagai Negara Pihak Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), pemerintah Indonesia wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak untuk untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat sebagaimana termaktub di Pasal 7 ICCPR, hak atas kebebasan berekspresi di Pasal 19 ICCPR, kebebasan berkumpul secara damai di Pasal 21 ICCPR, dan kebebasan berserikat di Pasal 22 ICCPR.

Larangan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya oleh siapa pun, kepada siapa pun, dalam keadaan apa pun bersifat absolut. Artinya, tidak ada pembenaran apa pun yang mampu menjustifikasi penyiksaan. Melanggar hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya dianggap sebagai tindakan yang merendahkan dan mencederai martabat setiap orang.

Sementara itu pembatasan yang sah terhadap kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai hanya dapat dilakukan jika berlandaskan pada undang-undang yang dirumuskan dengan memenuhi aspek-aspek partisipasi bermakna, memiliki tujuan yang jelas dan perlu, serta tidak berlebihan. Hal ini diatur dalam Komentar Umum Nomor 34 atas Pasal 19 ICCPR.

Lebih jauh lagi, Komentar Umum Nomor 37 atas Pasal 21 ICCPR menyatakan bahwa pembubaran suatu aktivitas hanya diizinkan jika kegiatan tersebut sudah tidak lagi damai atau jika ada bukti jelas adanya ancaman nyata terjadinya kekerasan yang tidak bisa ditanggapi dengan tindakan yang lebih proporsional seperti penangkapan terarah.

Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia pun telah menjamin penegakkan HAM. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya dijamin di Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM bahkan mengkategorikan penyiksaan sebagai pelanggaran HAM berat. Sementara itu hak atas kebebasan berpendapat dijamin di Pasal 28E ayat (3) dan 28F Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta Pasal 14 dan 25 UU HAM.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa melarang polisi bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, bahkan memaki-maki pengunjuk rasa. Perkapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum mengatur kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan juga menghargai prinsip praduga tidak bersalah.

Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian menyatakan bahwa kekuatan, dari yang paling tidak mematikan hingga senjata api, hanya boleh digunakan dalam situasi sangat diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan mengacu ke prinsip legalitas (semua tindakan kepolisian harus sesuai hukum yang berlaku), kebutuhan (menggunakan kekuatan hanya jika diperlukan dan mendesak), proporsionalitas (ancaman yang dihadapi dan kekuatan yang digunakan harus seimbang), kewajaran (mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat), dan mengutamakan pencegahan. Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia mewajibkan setiap anggota polisi untuk menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip HAM.

Atas dugaan pelanggaran dan ancaman terhadap HAM di atas, Amnesty International mendesak Presiden Joko Widodo untuk:

  1. Menyampaikan kepada publik bahwa terdapat dugaan pelanggaran dan ancaman terhadap HAM jelang dan saat peringatan 1 Desember 2022;
  2. Memastikan agar penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM dilaksanakan dengan segera, secara efektif, independen, dan imparsial, dan menjamin adanya tuntutan hukum terhadap para pelaku pada pengadilan sipil jika ada bukti-bukti yang layak dan cukup dalam persidangan yang memenuhi standar-standar peradilan yang adil tanpa adanya penerapan hukuman mati;
  3. Memastikan pembebasan segera dan tanpa syarat serta penghentian proses hukum terhadap mereka yang ditahan secara sewenang-wenang dan terjerat pasal makar hanya karena mengemukakan pendapat dan berkumpul secara damai;
  4. Menjamin para korban dan keluarganya bisa mendapatkan reparasi yang efektif dan menyeluruh sesuai dengan standar-standar hukum internasional;
  5. Meninjau penggunaan kekuatan dan senjata api oleh polisi dan aparat keamanan lainnya, termasuk taktik menghadapi kerumunan massa, penangkapan, dan penahanan, agar mematuhi standar-standar internasional, seperti Kode Etik PBB bagi Petugas Penegak Hukum dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatian Bapak kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Usman Hamid

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia

Tembusan:

  1. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
  2. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia
  3. Kepala Kepolisian Republik Indonesia
  4. Panglima Tentara Nasional Indonesia