Peradilan Anggota TNI yang Terlibat dalam Kematian Oktovianus Betera Harus Adil dan Terbuka

Merespon penetapan empat anggota Satgas Pamtas Yonif 516/Caraka Yudha sebagai tersangka kasus kekerasan terhadap warga Papua, Oktovianus Warip Betera, di desa Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Direktur Amnesty International Indonesia menyatakan:

“Kami mengapresiasi penetapan tersangka terhadap empat anggota TNI yang diduga melakukan kekerasan terhadap Oktovianus Betera hingga meniggal dunia. Proses ini adalah langkah baik untuk meninggalkan jejak impunitas pembunuhan di luar hukum yang selama ini menimpa warga Papua.”

“Meski demikian, kami tetap mendesak agar proses peradilan berjalan dengan adil dan terbuka. Negara harus bertanggung jawab atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terus berulang di Papua.”

“Kami juga meminta aparat penegak hukum untuk melindungi seluruh saksi, termasuk saksi ahli, dan keluarga korban dalam proses peradilan. Semua pihak, baik penuntut dan pembela, harus mendapatkan hak setara dalam ruang sidang.”

“Proses hukum harus dipastikan agar berakhir dengan keadilan. Bukan berakhir dengan ketiadaan hukum atau impunitas. Negara wajib mengakhiri impunitas atas kekerasan dan pembunuhan di Papua. Jika tidak, maka kejadian serupa akan terus berulang. Impunitas adalah ancaman serius bagi hak asasi manusia.”

Latar belakang

Pada tanggal 24 Juli 2020, warga Asiki, Boven Digoel, bernama Oktovianus Warip Betera (18 tahun) diduga dikeroyok oleh empat anggota TNI karena diduga mencuri. Sumber Amnesty di Papua mengatakan bahwa pihak TNI awalnya langsung memasukan jenazah Oktovianus ke peti mati kemudian peti tersebut dipaku sehingga menyulitkan keluarga korban untuk melihat jenazahnya. Keluarga akhirnya bisa melihat jenazah korban setelah ada desakan dari pemuka agama setempat.

Berdasarkan informasi yang diterima oleh Amnesty International Indonesia, Subden POM XVII/A Merauke telah menetapkan empat anggota satgas Yonif 516/Caraka Yudha sebagai tersangka kekerasan terhadap Oktovianus Betera.

Keempat anggota satgas tersebut adalah Serda DPJ, Serda NR, Pratu YKM dan Prada DD. Keempat tersangka dijerat Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan Jo. Pasal 359 KUHP terkait kealpaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

Ketika ada bukti-bukti relevan yang memadai maka tindak pelanggaran HAM harus diadili dalam pengadilan pidana yang memenuhi standar peradilan adil dan tidak menerapkan hukuman mati.

Hak atas peradilan yang adil dan terbuka telah dilindungi dalam hukum HAM internasional dan hukum nasional. Dalam hukum internasional, hak atas peradilan adil dan terbuka dijamin pada Pasal 14 dan 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal tersebut menjelaskan bahwa tuntutan terhadap seorang pelaku kejahatan berhak atas pesidangan adil dan terbuka oleh pengadilan kompeten, independen, dan tidak memihak.

Dalam kerangka hukum nasional, hak atas peradilan adil dan terbuka diatur pada Pasal 28D UUD 1945 dan Pasal 17 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak tersebut wajib diperoleh oleh kedua belah pihak demi menjamin keadilan dalam penuntutan para pelaku dan pemenuhan hak atas keadilan bagi keluarga korban.