80 Tahun Indonesia Merdeka: AKSI ingatkan bahaya Kemerosotan Republik

Menyambut 80 tahun Indonesia Merdeka, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengingatkan adanya bahaya ‘kemerosotan nasional’. Bahaya tersebut tercermin dari rusaknya sendi-sendi Republik, yakni hilangnya penghormatan harkat dan martabat manusia, penegakkan supremasi hukum, dan perlakuan setara bagi setiap anak bangsa. Padahal Indonesia pernah menjadi inspirasi dunia melawan kolonialisme melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Konferensi Asia Afrika 1955.

Namun, warisan sejarah itu hilang akibat pelumpuhan kesadaran kebangsaan selama 60 tahun pasca 1965. Warga Indonesia mewarisi trauma dan mengalami depolitisasi akibat gagasan kebangsaan berhenti sebatas diskursus pembangunan dan stabilitas keamanan yang berbasis ultra-nasionalisme. Bahkan warga Indonesia juga mewarisi kesenjangan ekonomi akibat dominasi segelintir orang terkaya yang menguasai setara kekayaan 50 juta orang.

Padahal kemerdekaan dari kolonialisme telah dikukuhkan dengan pesan Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pemerintah yang berkedaulatan rakyat dituntut melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Secara geohistoris dan geopolitik, Indonesia penting di mata dunia. Indonesia adalah penggagas sekaligus tuan rumah Konferensi Asia Afrika 1955. KAA menginspirasi gerakan kemerdekaan di banyak belahan dunia yang mengimajinasikan dunia yang lebih baik. Mengirim pelajar Indonesia berprestasi ke berbagai negara pada 1960an adalah upaya mewujudkan imajinasi ke-Indonesiaan tentang negeri yang bermartabat. Namun, Tragedi 1965 menghapus semua imajinasi itu.

Tahun 1965 menjadi tonggak perubahan rezim yang mengubah arah Indonesia dari negeri yang berwawasan pembebasan manusia menjadi negeri yang menindas kemanusiaan di bawah kendali militerisme Orde Baru, yang mengagungkan kekuatan fisik, simbol, dan penggunaaan kekerasan, termasuk kekerasan seksual kepada perempuan, sebagai cara pengendalian perempuan sekaligus mempertahankan kekuasaan. Upaya membangun bangsa terhenti dan terjadi pembalikan total kehidupan nasional. Revolusi berakhir dan berganti menjadi ‘pembangunan’ nasional’ semu.

Meskipun undang-undang subversif dicabut, kontrol penguasa atas rakyat terus berlanjut. Orde Baru membentuk sebuah Negara Keamanan Nasional yang otoritarian yang bahkan kini hidup Kembali. Akibatnya, rakyat kehilangan daulatnya untuk mengontrol kekuasaan. Sejalan dengan itu, kebijakan ekonomi terpusat telah menciptakan ketimpangan akut sekaligus korupsi sistemik dalam perusakan hutan, perampasan tanah, dan pengerukan tambang tanpa kontrol. Keadilan pun hanya menjadi halayan para korban dan rakyat pada umumnya.

80 tahun perjalanan negeri ini justru menuju penyengsaraan rakyat, jauh dari menyejahterakan rakyat. Pemimpin tak lagi berpikir menempatkan bangsa ini bermartabat dan sejajar dengan bangsa lain, tapi justru merampok kekayaan negeri untuk diri pribadi, kelompok. Potret suram ini diperparah dengan kaum cerdik pandai atau sejarawan yang mencoba memanipulasi ingatan dan sejarah dengan tidak menuliskan pengalaman kelam dan traumatik yang terjadi pada rakyat.

Pemerintahan era Reformasi gagal mengubah Negara Keamanan Nasional ala rezim Soeharto. Indonesia kehilangan kesempatan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Situasi seperti itu juga membuat 10 bulan Pemerintahan Prabowo Subianto dengan cepat menunjukkan ciri-ciri dan perangai Orde Baru, yaitu militeristik, penggunaan kekerasan, teror, mengabaikan hak asasi manusia, dan anti intelektual.

Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) yang peduli terhadap negeri ini berharap para pemimpin dan pemegang amanat rakyat tidak lagi mempermainkan suara rakyat, memanipulasi ingatan dan sejarah, dan fokus pada pembangunan negeri ini menuju kehidupan yang lebih bermartabat, adil, dan menjunjung hak asasi manusia.

Bersama ini AKSI menyatakan:

  1. Pemerintah Indonesia tengah mendorong Indonesia ke dalam kemerosotan nasional (national decline) dari segi kerakyatan, dengan hancurnya sendi-sendi pemerintahan demokratis yang kini digantikan oleh Negara Keamanan Nasional.
  2. Prinsip Negara Keamanan Nasional telah dibangun sejak pengambilalihan kekuasaan pada 1965 dan diteruskan pada masa 30 tahun sesudah Orde Baru, melalui pemusatan kekuasaan dan manipulasi undang-undang.
  3. Rakyat dilumpuhkan kesadaran sejarahnya serta kedaulatannya sebagai manusia yang berpikir sehingga melahirkan masyarakat yang pasif dan apolitis.
  4. Negara berdiri di atas infrastruktur impunitas, ketiadaan akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM yang berat masa lalu yang menanamkan ketakutan dan kecemasan bagi generasi muda melalui jargon ‘bahaya laten’, ‘ancaman asing’, dan ‘antek asing’, atas nama nasionalisme darurat yang agresif. Padahal, yang dibutuhkan Indonesia adalah nasionalisme kemanusiaan yang progresif.

Dengan demikian, AKSI menuntut:

  1. Mendesak pemerintah mencabut berbagai kebijakan yang membawa kemerosotan nasional, seperti kebijakan penulisan ulang sejarah, penetapan hari kebudayaan nasional, dan pemberian gelar kehormatan untuk orang-orang yang jelas telah merusak sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan di masa silam
  2. Mendesak pemerintah menghentikan praktik-praktik otoriter melalui kebijakan atau upaya lainnya yang mematikan sendi-sendi demokrasi, termasuk yang melumpuhkan fungsi partai politik dalam permusyawaratan perwakilan rakyat, seperti pembentukan Koalisi Indonesia Maju,
  3. Mendesak pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi melalui berbagai instrumen hukum dan tindak kekerasan aparat terhadap berbagai elemen masyarakat yang bersuara kritis.

Demikian pernyataan ini disampaikan di Jakarta, 14 Agustus 2025.