Dosen Dipenjara Karena Pesan WhatsApp

Saiful Mahdi, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala di Provinsi Aceh, dijatuhi hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta atas tuduhan pencemaran nama baik setelah menulis pesan di sebuah grup WhatsApp yang mengkritisi proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil di universitas tersebut. Pada tanggal 2 September 2021, dia dijemput oleh pihak kejaksaan untuk menjalani masa hukumannya setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya. Amnesty International mendesak Presiden Republik Indonesia untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi karena ia dipenjara semata-mata karena mengekspresikan opininya.

AMBIL TINDAKAN: TULISKAN TUNTUTAN DALAM BAHASAMU SENDIRI ATAU GUNAKAN CONTOH SURAT INI

Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Sekretariat Negara
Jl. Veteran No. 17-18, Jakarta Pusat,
DKI Jakarta, Indonesia (10110)
Email: [email protected]
Twitter: @jokowi

Yth. Presiden Widodo,

Saya khawatir dengan kriminalisasi terhadap Saiful Mahdi, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala di Aceh, yang pada tanggal 2 September 2021 dibawa ke Lembaga Permasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh untuk mulai menjalani masa hukuman semata-mata karena menjalankan haknya atas kebebasan berekspresi secara damai.

Seperti yang mungkin Anda ketahui, Mahkamah Agung telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Saiful dan menguatkan hukuman yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Banda Aceh yang menyatakan ia bersalah melakukan pencemaran nama baik setelah menulis pesan di sebuah grup WhatsApp yang mengkritik apa yang dia duga sebagai kejanggalan dalam proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk dosen di fakultas teknik universitas tersebut. Dia dipidana berdasarkan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang telah berulang kali digunakan oleh pihak berwenang atau individu untuk membungkam orang-orang yang bersuara kritis.

Saya percaya bahwa Saiful Mahdi sejak awal tidak seharusnya dihukum semata-mata karena menyampaikan pendapatnya, sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, saya khawatir bahwa pemenjaraan Saiful Mahdi tidak hanya melanggar hak-haknya, tetapi juga mengancam kebebasan akademik di negara ini.

Saya memahami bahwa pada hari pertama dia dipenjara, tim hukum Saiful Mahdi mengajukan surat resmi yang meminta Bapak Presiden untuk memberi Saiful Mahdi amnesti.

Oleh karena itu, saya mendesak Bapak Presiden untuk segera memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi dan membebaskannya dari penjara. Saya juga meminta Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa hak atas kebebasan berekspresi sepenuhnya dan secara efektif dihormati, dilindungi, dipromosikan dan dipenuhi, termasuk dengan merevisi UU ITE sesuai dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum hak asasi manusia internasional.

Hormat saya,


TULIS SECEPATNYA HINGGA: 2 November 2021

INFORMASI TAMBAHAN

Pada Maret 2019, Saiful Mahdi, dosen jurusan statistika pada fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala di Aceh, mengirimkan pesan yang mengkritik hasil tes CPNS bagi dosen fakultas teknik di sebuah grup WhatsApp. Di antaranya, ia mengatakan, “Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin,” dan “Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble?”

Dia menulis pesan tersebut untuk menanggapi seleksi pegawai negeri sipil yang diadakan pada akhir tahun 2018 sebagai rekrutmen dosen di fakultas teknik universitas tersebut. Setelah tes berlangsung, Saiful Mahdi mendengar adanya dugaan penyimpangan dalam proses seleksi dari seorang dosen fakultas teknik yang telah bekerja di sana selama dua tahun dan mengikuti tes tersebut untuk mendapatkan status PNS. Ia menginformasikan kepada Saiful Mahdi bahwa seorang peserta ujian yang diduga tidak memenuhi kriteria administratif dapat mengikuti proses seleksi dan kemudian lulus ujian, sedangkan dirinya sendiri dinyatakan gagal meski mendapat nilai tertinggi di antara peserta ujian lainnya saat uji kompetensi.

Saiful Mahdi, yang telah bekerja di universitas tersebut selama 25 tahun, menganalisis nilai-nilai peserta tes dari fakultas teknik dan kemudian menyimpulkan bahwa ada kejanggalan dalam penilaian yang harus dipertanyakan ulang. Dia kemudian menulis kritik terhadap proses seleksi tersebut di sebuah grup WhatsApp yang beranggotakan sekitar 100 dosen universitas tersebut. Pesan yang dia tulis kemudian beredar di kalangan karyawan universitas dan akhirnya diketahui oleh dekan fakultas teknik, yang bukan merupakan anggota grup WhatsApp itu.

Dekan tersebut melaporkan Saiful Mahdi ke Senat, yang kemudian memanggilnya untuk dimintai klarifikasi pada tanggal 18 Maret 2019. Setelah itu, Senat mengirim surat kepada Saiful Mahdi pada tanggal 6 Mei 2019 yang menyatakan adanya pelanggaran kode etik dan meminta Saiful Mahdi untuk menulis surat permintaan maaf kepada jajaran pimpinan fakultas teknik terkait pernyataan yang ia buat. Namun, Saiful Mahdi menolak untuk meminta maaf dan mempertanyakan keputusan Senat karena dirinya belum pernah diperiksa dalam sidang etik atas kasus tersebut.

Pada tanggal 4 Juli 2019, Saiful Mahdi dipanggil oleh Kepolisian resor kota Banda Aceh sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh dekan fakultas teknik. Setelah diperiksa, dia ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE karena diduga mencemarkan nama baik dekan tersebut, meski Saiful Mahdi tidak pernah menyebut nama siapapun dalam pesan WhatsApp-nya. Kasus tersebut diadili dan pada tanggal 21 April 2020, Pengadilan Negeri Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta kepada Saiful Mahdi, meskipun tidak ada bukti yang dapat secara jelas menyatakan bahwa dia telah melanggar hukum. Dia mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, namun kemudian ditolak. Pada tanggal 29 Juni 2021, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Saiful Mahdi dan menguatkan vonis bersalah yang dijatuhkan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi Banda Aceh.

Pada tanggal 2 September 2021, pihak kejaksaan mengantar Saiful Mahdi untuk mulai menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh. Di hari yang sama, tim hukumnya mengirimkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo yang isinya meminta Bapak Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Menurut hukum di Indonesia, Presiden hanya dapat memberikan amnesti setelah meminta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

UU ITE, termasuk Pasal 27 terkait pencemaran nama baik, semakin sering digunakan untuk mengkriminalisasi orang yang secara damai menggunakan hak atas kebebasan berekspresi melalui sarana elektronik, seperti menulis pesan di aplikasi pesan instan atau berbagi pendapat di media sosial. Pihak berwenang Indonesia juga telah menyalahgunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, dan pembela hak asasi manusia yang mengkritik pemerintah secara damai. Dari Januari hingga Juni 2021 saja, Amnesty International mencatat setidaknya 39 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena diduga melanggar UU ITE.