Angola: Pembunuhan Keji Dilakukan Untuk Terapkan Protokol COVID-19

Aparat keamanan Angola yang ditugaskan untuk menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19 dilaporkan terlibat dalam kematian dari setidaknya 7 orang selama periode Mei – Juni 2020. Laporan tersebut bersumber dari investigasi Amnesty International dan Organisasi HAM Angola, OMUNGA. Para korban adalah anak dan remaja laki-laki, dengan korban paling muda berumur 14 tahun. Kami percaya bahwa angka kematian sebenarnya kemungkinan lebih tinggi.

Berdasarkan wawancara dengan teman-teman dan kerabat ketujuh korban serta saksi mata, Amnesty International dan OMUNGA telah mengumpulkan rincian tentang pembunuhan tersebut, yang menunjukkan aparat keamanan Angola menggunakan kekerasan di luar batas wajar dan di luar hukum berkali-kali untuk menegakkan protokol kesehatan COVID-19.

“Cerita-cerita yang kami dengar dari para kerabat dan saksi mata sangatlah mengerikan. Salah satu anak remaja tersebut ditembak di mukanya ketika ia terjatuh; ada pula yang ditembak bersama dengan teman-temannya oleh polisi ketika mereka sedang berlatih di suatu lapangan olahraga. Kondisi darurat bukanlah sebuah alasan terjadinya pelanggaran HAM,” kata Deprose Muchena, Direktur Amnesty International untuk Afrika Timur dan Selatan.

“Harus ada investigasi yang mendalam, independen, imparsial, transparan, dan efektif terhadap kasus pembunuhan ini. Para pelaku harus diadili dengan peradilan yang adil. Harus ada pemantauan untuk memastikan aparat keamanan Angola mengikuti standar pemenuhan HAM Internasional ketika menerapkan langkah-langkah pencegahan COVID-19.”

Amnesty International dan OMUNGA dapat memverifikasi pembunuhan terhadap ketujuh remaja dan anak laki-laki tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kami menerima laporan-laporan saksi mata tentang penggunaan kekerasan dan senjata api berlebihan oleh pihak kepolisian. Semua pembunuhan ini terjadi di daerah miskin dan kerap kali menarget kelompok masyarakat menengah ke bawah. Polisi Nasional Angola (Polícia Nacional de Angola – PNA) dan Angkatan Bersenjata Angola (Forças Armadas Angolanas – FAA) diduga kuat bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.

Pada tanggal 13 Juli malam, José Quiocama Manuel, seorang pengemudi motor taksi yang dikenal sebagai Cleide, ditembak oleh seorang anggota kepolisian ketika ia sedang pergi ke rumah temannya di daerah Prenda di kotamadya Luanda. Berdasarkan informasi saksi mata, pada tengah malam, terdengar teriakkan bahwa polisi akan datang. Clide dan Maurício, seorang anak laki-laki berumur 16 tahun, mencoba untuk bersembunyi, tapi seorang petugas kepolisian justru menembak mereka. Maurício ditembak di bahu dan masih hidup, tetapi Cleide langsung meninggal dunia.

Pada tanggal 4 Juli, Clinton Dongala Carlos yang berumur 16 tahun ditembak di bagian belakang badannya oleh polisi. Saat itu, Clinton hendak pulang dari acara makan malam di rumah tantenya yang berjarak 300 meter jalan kaki dari rumahnya di Kota Cacuaco, Provinsi Luanda. Berdasarkan informasi saksi mata, Clinton dikejar oleh segerombolan petugas keamanan, dua dari FAA dan tiga dari PNA. Salah seorang petugas tersebut menembak Clinton di bagian belakang badan ketika ia sedang berlari ke rumah.

Seorang saksi mata mengungkapkan ada seorang petugas yang meminta air kepada penduduk sekitar, kemudian disiramkan ke wajah Clinton yang sedang terbaring dengan luka tembak. Para tetangga, yang bersembunyi karena ketakutan, kemudian mendengar tembakan kedua. Ketika aparat penegak hukum tersebut meninggalkan tempat itu, para tetangga menemukan Clinton dengan luka tembak.

Pada tanggal 3 Juli, sekitar jam 7 pagi, seorang polisi menembak dan membunuh Mabiala Rogério Ferreira Mienandi, yang dikenal oleh keluarganya sebagai Kilson. Kilson sedang berada di lapangan olahraga dengan beberapa temannya. Mereka sedang bermain sepak bola dan menari. Berdasarkan laporan para saksi, saat itu sebuah mobil polisi menghampiri mereka, dan tanpa memberikan peringatan apapun polisi mulai menembak ke arah anak-anak tersebut. Mereka sontak segera berlari ke segala penjuru untuk bersembunyi dan melindungi diri. Namun, Kilson terkena peluru. Saksi mata menyebutkan ada tiga polisi yang keluar dari mobil dan menghampiri Kilson. Mereka kemudian menendang Kilson sebanyak tiga kali, lalu meninggalkan lokasi.

“Otoritas negara telah menggunakan langkah-langkah penerapan darurat kesehatan dengan cara yang jelas-jelas pelanggaran HAM. Penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan harus menjadi jalan terakhir untuk segala sesuatunya dan harus sesuai dengan prinsip perlindungan HAM internasional, terutama tanggung jawab untuk menghormati dan melindungi hak atas kehidupan, integritas fisik dan keamanan seseorang. Hal tersebut sudah diatur dalam artikel 3 Kode Etik Aparat Kemanan PBB yang menyatakan bahwa aparat keamanan dapat menggunakan kekerasan dalam keadaan yang sangat diperlukan,” kata João Malavindele, Direktur Eksekutif OMUNGA.

“Tujuan utama dalam pencegahan penyebaran COVID-19 adalah untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi kehidupan. Ketika otoritas negara justru menyebabkan hilangnya nyawa, maka ini sangat bertolak belakang dengan fungsi tersebut.”

Pada 17 Juni Pagi, João de Assunção, usia 20 tahun, sedang menuju ke kamar mandi umum di desanya di daerah Palanca, provinsi Luanda, ketika ia dihentikan oleh seorang petugas PNA. João berkata bahwa dia akan pergi dan mengambil maskernya, tapi petugas meminta dia untuk melakukan aksi jungkir balik dengan sebuah senapan diarahkan ke wajahnya. João memberitahu petugas itu ia lelah dan sedang tidak sehat sehingga tidak bisa jungkir balik. Kemudian petugas itu malah menembak ke arah samping kepalanya untuk mengintimidasinya. João jatuh ke tanah. Warga setempat memberitahu bahwa João memiliki riwayat penyakit jantung dan hipertensi. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit Cajueiros, dan di sanalah ia meninggal dunia. Hasil otopsi belum diumumkan. 

Pada 5 Juni, malam hari, Altino Holandês Afonso, 15 tahun, pergi untuk mengunjungi nenek dan tantenya di sebuah kantin milik keluarga. Tak lama setelah kedatangannya, polisi mulai menembak di jalanan untuk membubarkan massa. Para saksi mata mengatakan kepada Amnesty International dan OMUNGA bahwa seorang petugas mengejar Altino yang mencoba melindungi diri ke rumah tantenya. Sesampainya di depan pintu rumah itu, aparat tersebut menembak Altino di bagian perut. Saksi mata juga melaporkan aparat yang menembak Altino sedang mabuk.

Korban termuda dalam investigasi Amnesty International dan OMUNGA adalah Mário Palma Romeu, yang dikenal dengan Marito, usia 14 tahun. Ia ditembak mati oleh aparat polisi pada tanggal 13 Mei pagi. Saat itu Marito sedang pergi membeli gula bersama ibunya di pusat perbelanjaan pantai Tombas, kota Benguela, Provinsi Benguela. Di saat dan lokasi yang sama, ada beberapa remaja laki-laki yang mulai melakukan kerusuhan, lalu polisi dipanggil untuk mengamankannya. Seorang aparat kepolisian kemudian menembak ke arah udara dua kali demi membubarkan kerumunan tersebut. Namun, tembakan kedua mengenai kepala Marito sehingga dia meninggal dunia di tempat.

Pada tanggal 9 Mei, beberapa aparat kepolisian menembak António Vulola, 21 tahun, yang dikenal dengan Toni Pi. Ia sedang menjamu kawan-kawannya untuk merayakan kelahiran anak pertamanya. Berdasarkan laporan saksi mata, sekitar jam 10 malam Toni Pi dan temannya André, ditemani dengan beberapa teman lainnya, pergi ke tempat pemberhentian transportasi publik. Ketika sedang kembali ke rumahnya, mereka melihat beberapa petugas PNA memukuli dan membubarkan anak-anak muda yang sedang berkumpul dan tidak memakai masker. Aparat keamanan menembaki mereka, dan Toni Pi mengalami luka tembak fatal di kepalanya.

Terdapat beberapa investigasi lebih lanjut tentang aparat negara yang diduga bertanggung jawab atas pembunuhan Mário, Altino, Clinton, Mabiala Kilson, João, António dan José Cleide. Asosiasi Mãos Livres saat ini masih melakukan bantuan hukum untuk memastikan dugaan pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut diinvestigasi dengan cepat, menyeluruh, independen, dan imparsial, dan mereka yang diduga bertanggung jawab akan diproses hukum. Mereka juga sedang mengusahakan agar keluarga korban mendapatkan keadilan dan pemulihan yang efektif, serta kompensasi yang layak.

“Aparat Angola harus memastikan investigasi dilakukan dengan segera, independen, dan imparsial. Aparat negara yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan tersebut harus bertanggung jawab dan keluarga-keluarga korban diberikan keadilan, kebenaran, dan reparasi,” kata João Malavindele.

“Tak seorangpun boleh merasa takut akan kehilangan nyawa mereka sendiri. Otoritas Angola harus memastikan para pelaku bertanggung jawab, terutama mereka yang mengambil hak hidup orang lain secara sewenang-wenang.”